Buddha dan Kekekalan

Written by. Leaane Pingkan

Buddha mengungkapkan tiga sifat atau corak kehidupan. Penderitaan (dukkha), ketidakkekalan (annica), dan tanpa inti (anatta). Salah satu dari inti ajaran Buddha adalah annica, yang berarti tidak ada yang kekal atau abadi di dunia ini. Dalam Mahaparini­bbana Sutta tertulis:

Anicca vata sankhara – uppada vaya dhammino
Uppajjitva nirujjhanti – tesam vupasamo sukho

Segala sesuatu yang terbentuk tidaklah kekal, timbul dan tenggelam sifatnya; setelah muncul akan hancur dan lenyap. Terbebas darinya adalah kebahagiaan tertinggi.

Itulah kata-kata Sakka, Raja para dewa, katakan ketika Sang Buddha wafat. Salah satu ayat Pali ini masih dibacakan para bhikkhu dalam upacara pemakaman Buddhis di negara-negara aliran Therawada hingga saat ini, mengingatkan umatnya bahwa hidup tidaklah abadi.

Dunia terus berputar, waktu terus berjalan, begitu juga dengan proses menuju ketidakkekalan yang menyungkupi segala yang hidup di dunia ini. Tidak ada yang dapat lari dari kebenaran ini walaupun mereka rupawan, cantik, berkuasa, kaya, jelek, miskin, atau hina; manusia, keadaan, material, semua terus berjalan dan berubah, dan ini berlangsung sangat cepat. Ketidakmampuan untuk melihat kebenaran dan rasa kemelekatan terkadang membuat semua terasa abadi. Namun begitu, Buddha membabarkan bahwa dengan memperoleh pembebasan pikiran yang dimiliki oleh seorang Buddha-lah yang dapat menebus tiga corak kehidupan yang sudah disebut.

Jīranti ve rājarathā sucittā atho sarīnaṁ pi jaraṁ upeti. Sataṁ ca dhammo na jaraṁ upeti, santo have sabbhi pavedayanti.

Kereta kerajaan yang indah sekalipun pasti akan lapuk, begitu pula tubuh kita akan menjadi tua. Namun ajaran (Dhamma) orang-orang suci tidak akan lapuk. Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan kebaikan. (Dhammapada, Syair 151)

Hal-hal seperti kebahagiaan, kesedihan, dan penderitaan batin tidaklah kekal. Semua akan berlalu pada saatnya. Lahir, menjadi tua, sakit, dan mati juga merupakan contoh dari kehidupan yang bersifat tidak abadi. Umat Buddhis harus dapat melihat realita ini agar tidak berputar-putar dalam perubahan yang tidak dikehendaki.

Hidup bersifat dinamis. Ini satu-satunya fakta yang kekal dari hidup ini. Perubahan pasti selalu berlangsung dan terjadi. Namun pemahaman akan ketidakkekalan ini tidak dapat diartikan sebagai bentuk kepasrahan diri yang dapat menjerumuskan diri menuju bahaya. Melainkan untuk berusaha sebaik-baiknya dan sungguh-sungguh dalam hidup untuk lepas dari penderitaan duniawi dan selalu siap dalam menghadapi perubahan yang terjadi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Bhagava bersabda; “Dengan penuh perhatian (sati) hendaknya seseorang merenung dengan pengertian yang benar, bagaimana mengembangkan perhatian benar. Menurut Buddha apabila seseorang merenung badan jasmani (kaya) sendiri dengan sungguh-sungguh, dengan pengertian benar dan sadar, ia akan dapat mengatasi keinginan duniawi, ketidak senangan dan penderitaan batin. Kemudian ia merenungkan segala bentuk perasaan (vedana), pikiran (citta), dan objek-objek pikiran, dengan sungguh-sungguh dengan pengertian benar dan sadar, ia akan dapat mengatasi keinginan duniawi, ketidak senangan dan penderitaan batin”.

Beberapa hal yang dapat kita lakukan adalah menjaga dan melaksanakan sila, melakukan kebajikan, mengikis karma, dan melepaskan karma. Kita juga dapat melatih diri untuk berpikir dan bersikap selayaknya umat Buddhis seharusnya, menghilangkan sifat duniawi seperti ketamakan dan kemalasan.

Nothing lasts forever. That’s the tragedy and the miracle of existence – that everything is impermanent. Everything changes. All we can do is make the best of the time we have. And go down shooting, naturally.” – Mira Grant

Tidak ada yang kekal di dunia ini. Hidupmu, masalahmu, fisikmu. Jadi hidup dan berusahalah dengan sungguh-sungguh.

Referensi:

Leaane Pingkan