Tiga Budaya Jawa yang Terancam Punah

Jawa merupakan salah satu wilayah Indonesia yang kaya akan budaya, yaitu unsur yang berkaitan dengan cara hidup seseorang atau sekelompok masyarakat. Mulai dari makanan yang sedap, tarian daerah yang beragam, lagu daerah yang unik, rumah adat tradisional, pakaian adat yang indah, dan sebagainya. Budaya adalah aspek yang sangat luas. Budaya juga merupakan bagian yang dominan dari identitas suatu daerah, termasuk kawasan-kawasan di Jawa.

Jawa terdiri dari banyak daerah dimana masing-masing daerah tersebut mempunyai kebudayaan dan adat istiadat khas yang membedakan mereka satu dengan yang lain. Keunikan budaya tersebut menjadi kebanggaan para penduduk daerah tersebut. Tanpa adanya eksistensi budaya, identitas daerah dan bangsa menjadi tidak sempurna. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita, generasi muda dan rakyat daerah untuk melestarikan budaya-budaya yang ada. Sebelumnya, kita harus mengetahui budaya apa saja yang terancam punah agar kita bisa belajar melestarikannya. Berikut dipaparkan budaya-budaya yang terancam punah.

  1. Sisingaan

Sisingaan yang juga dikenal dengan nama ‘Gotong Singa’ adalah seni pertunjukan rakyat Subang yang menggunakan dua sampai empat boneka singa, kepala boneka singa tersebut terbuat dari kayu dan bambu yang dibungkus kain dan digunakan sebagai properti ketika menari. Pada bagian punggung boneka singa terdapat tempat duduk yang dapat diduduki oleh anak-anak ketika pertunjukan berlangsung.

Seni ini umumnya ditampilkan oleh laki-laki dalam sebuah kelompok yang dibagi menjadi beberapa peran. Yang pertama, delapan orang bertugas untuk menggotong dua boneka singa. Yang kedua, pemain instrumen musik waditra bertugas memainkan dua buah gendang besar, sebuah terompet, tiga buah bonang, gong kecil, dan krecek. Yang ketiga, pengguna jajangkungan, jajangkungan merupakan tongkat kayu setinggi tiga sampai empat meter. Pemain-pemain yang berpartisipasi dalam pertunjukan seni ini memakai busana yang distingtif, yaitu celana pangsi, iket semplak, baju taqwa, dan alas kaki tarumpah atau salompak.

Dalam menampilkan kesenian unik ini, harmonisasi dan koordinasi merupakan aspek-aspek yang sangat penting untuk dilatih agar pertunjukan dapat berjalan dengan lancar. Kesenian Sisingaan biasanya ditampilkan pada siang hari yang durasinya tergantung pada luas area kampung yang dikelilingi. Seni ini bertujuan untuk menyambut tamu agung, melantik kepala desa, dan perayaan hari besar lainnya.

Seni Gotong Singa diciptakan sekitar tahun 1840 di daerah Ciherang yang dekat dengan Subang. Dalam sejarahnya, Sisingaan merupakan simbol kebencian warga Subang terhadap penjajahan Belanda dan Inggris yang mendirikan perusahaan perkebunan swasta untuk mengeksploitasi perkebunan di Subang. Kekesalan warga Subang terhadap penjajahan tersebut dicerminkan dalam sebuah seni, yaitu Gotong Singa. Dalam pertunjukannya, ada dua boneka singa yang ditunggangi dan diduduki oleh anak kecil. Pada kesenian ini, singa merupakan simbol atau tanda dari kedua negara tersebut sementara anak kecil melambangkan warga Subang. Gerakan anak kecil yang menduduki singa ini menggambarkan bahwa rakyat Subang menolak adanya praktik kolonialisme yang dilakukan Belanda dan Inggris.

Seni Gotong Singa ini mempunyai nilai estetika dalam kehidupan masyarakat. Namun, sayangnya pada zaman sekarang, seni ini terancam punah. Oleh karena itu, kita harus mulai melestarikannya. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam seni Sisingaan, seperti ketertiban, gotong royong, dan kerjasama.

  1. Rampak Gendang

Dalam Bahasa Sunda, ‘rampak’ mempunyai arti bersama-sama, sedangkan gendang merupakan instrumen musik Gamelan Jawa yang digunakan untuk mengatur irama lagu. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa Rampak Gendang adalah suatu seni tradisional yang memainkan gendang atau kendang dalam jumlah banyak secara bersamaan. Seni ini muncul sekitar tahun 1970 dan mempunyai fungsi yang sangat dominan dalam aspek seni budaya. Gendang seringkali digunakan sebagai pengiring pertunjukan seperti pada tari Jaipong, selain itu, pencak silat juga menggunakan gendang sebagai iringan.

Kata ‘kendang’ terdiri dari ‘ke’ dan ‘ndang’ yang berarti cepat, hal ini sesuai dengan perannya yaitu untuk mengatur tempo. Pada seni Rampak Gendang, terdapat dua alat musik yang dipadukan dengan gendang untuk memperkaya harmoni dan melodinya, yaitu suling khas Sunda dan gong. Dalam menampilkan pertunjukan ini, para pemain harus memiliki keterampilan khusus yaitu takjub, keselarasan, dan kekompakan yang baik satu dengan yang lain agar dapat bekerjasama dalam menciptakan irama yang harmonis. Tidak jarang juga para pemain menggunakan trik-trik tertentu untuk membuat penonton terkagum. Misalnya, berjalan memutar dengan cepat, tetapi tetap sempat kembali ke posisi untuk memukul gendang.

Dalam pementasan, pemain Rampak Gendang menggunakan formasi yang unik, yaitu pada barisan paling depan, masing-masing pemain memegang satu gendang gede atau gendang indung, dan dua gendang kulanter yang berukuran kecil. Para pemain gendang minimal terdiri dari lima orang dan menggunakan pakaian tradisional khas Sunda, yaitu ikat kepala atau udeng, takwa, dan sinjang. Sementara itu, pemain karawitan (gamelan) berada di belakang atau di samping pemain gendang. Para pengrawit juga bertugas memberikan aba-aba kepada  pemain gendang untuk memulai pertunjukan. Pertunjukan seni Rampak Gendang ini tidak hanya berupa memainkan gendang sambil duduk diam, tetapi juga melakukan gerakan yang melibatkan anggota tubuh lainnya secara energetik seperti menghentak. Misalnya, berteriak-teriak agar penonton dan suasana menjadi lebih ceria dan bersemangat.

Rampak Gendang sering ditampilkan untuk menyambut tamu negara. Durasi pertunjukkan biasanya berkisar antara tiga sampai lima belas menit. Bagi masyarakat, seni Rampak Gendang mengandung nilai-nilai harmonis, sikap gotong royong, akur, dan kebahagiaan atau keceriaan. Selain itu, seni ini juga menjadi hiburan bagi rakyat. Namun, seperti halnya Sisingaan, seni unik ini juga hampir punah. Oleh karena itu, untuk menjaga kekayaan seni dan budaya nusantara, kita harus melestarikannya! Cara pelestarian seni ini dapat dilakukan dengan banyak cara, antara lain mengingat seni ini dan menerapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pada kehidupan sehari-hari kita.

  1. Tarawangsa

Tarawangsa adalah kesenian musik dari Jawa Barat yang memiliki keunikan pada alat musiknya, yaitu menggunakan instrumen yang digesek. Kata ‘Tarawangsa’ berasal dari tiga kata, yaitu ‘ta’ yang berasal dari kata ‘meta’ dalam bahasa Sunda yang berarti pergerakan, ‘ra’ yang bermakna api yang agung, dan yang terakhir ‘wangsa’ memiliki arti bangsa. Maka dari itu, Tarawangsa mempunyai arti kisah kehidupan bangsa matahari. Dengan kata lain, Tarawangsa adalah kesenian yang ditampilkan untuk menyambut hasil panen padi yang sangat bergantung pada sinar matahari.

Dahulu kala, Tarawangsa di Rancakalong hanya dipertunjukkan pada acara syukuran panen yang disebut Rubuh Jarami Entep Pare. Hal ini dikarenakan latar belakang masyarakat Sunda yang mayoritas mata pencahariannya adalah sebagai petani, sehingga kesenian ini diciptakan sebagai upacara dan kegiatan pertanian. Dalam setiap upacara, Tarawangsa memainkan peran penting sebagai pengiring upacara untuk mendatangkan Dewi Sri.

Dalam pelaksanaan Tarawangsa, terdapat tiga tahap yang wajib dilakukan. Yang pertama adalah Ngalungsurkeun atau perawalan acara dengan 7 orang yang menurunkan pangkonan, yaitu sejenis gabah. Lalu, dilakukan proses menjemput Dewi Sri atau Nyi Pohaci dimana terdapat 7 orang yang membentuk formasi lingkaran, di dalam lingkaran tersebut ada satu orang ibu-ibu. Terakhir, Nginebkeun, yaitu tahap dimana pangkonan dikembalikan ke tempat semula.

Nah, sekarang, kita sudah mengetahui beberapa dari budaya-budaya yang hampir punah. Kita sebagai rakyat dan generasi yang muda Indonesia harus melestarikan budaya tersebut agar tetap hidup dan tidak terlupakan di masyarakat. Mari kita melestarikan seni budaya yang unik tersebut!

Penulis: Angelina Seraphine

Editor: Chelsea Angelica

Sumber:

https://bpkpenabur.or.id/jakarta/smak-1-penabur/berita/karya-siswa/3-budaya-jawa-yang-terancam-punah

https://uun-halimah.blogspot.com/2008/09/sisingaan-kesenian-tradisional.html

http://encyclopedia.jakarta-tourism.go.id/post/rampak-gendang–seni-pertunjukan?lang=id#:~:text=Kesenian%20rampak%20gendang%20dipertunjukan%20untuk,irama%20gamelan%2C%20kecuali%20gamelan%20degung.

https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/rampak-gendang-dari-indonesia-untuk-dunia/

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/tarawangsa-kesenian-tradisional-kabupaten-sumedang/

https://www.kompasiana.com/enopiani/5cb338e695760e3427536ed2/tarawangsa-kesenian-buhun-asal-rancakalong-kabupaten-sumedang?page=all

Tags: