The Dopamine Effect: Bagaimana Algoritma Media Sosial Mengeksploitasi Psikologi Manusia

Media sosial kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, mempermudah komunikasi dan menyediakan hiburan tanpa henti. Namun, di balik kenyamanan tersebut, terdapat strategi tersembunyi dari perusahaan teknologi untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Salah satu strategi utama yang digunakan adalah manipulasi efek dopamin—zat kimia di otak yang berkaitan dengan perasaan senang dan motivasi—yang sengaja dipicu oleh algoritma agar pengguna terus berinteraksi dengan platform. 

Algoritma media sosial menganalisis perilaku pengguna, seperti konten yang disukai, durasi penggunaan, dan interaksi dengan akun tertentu. Dari data ini, sistem menyajikan konten yang dianggap paling menarik dan relevan. Setiap kali pengguna menerima notifikasi, like, komentar, atau konten yang sesuai minat, otak melepaskan dopamin. Lonjakan dopamin ini menimbulkan rasa senang dan menciptakan siklus adiktif, di mana pengguna terdorong untuk terus mengulangi pengalaman tersebut—mirip dengan mekanisme kecanduan pada mesin slot (Valkenburg et al., 2022). 

Efek dari strategi ini sangat terasa, terutama di kalangan remaja dan anak muda. Mereka menjadi lebih rentan terhadap kecanduan digital, mengalami gangguan konsentrasi, kesulitan tidur, hingga peningkatan risiko masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Fitur seperti infinite scrolling turut memperparah kondisi ini dengan terus-menerus menawarkan konten baru, menciptakan harapan akan “reward” sosial berikutnya. Akibatnya, aktivitas di dunia nyata—seperti belajar, bersosialisasi langsung, atau beristirahat—terasa kurang menarik dibandingkan interaksi digital (Alter, 2017). 

Lebih jauh lagi, penggunaan media sosial yang berlebihan juga berdampak pada menurunnya respon otak terhadap “reward” alami. Pengguna yang terlalu sering mencari validasi secara digital cenderung kehilangan kepuasan terhadap pencapaian nyata. Hal ini dapat merusak kepercayaan diri dan mendorong kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, yang umumnya hanya menampilkan sisi positif kehidupan (Twenge & Campbell, 2018). 

Oleh karena itu, memahami cara kerja algoritma dan efek dopamin menjadi penting agar kita bisa membangun pola penggunaan media sosial yang lebih sehat. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain membatasi waktu penggunaan, menonaktifkan notifikasi yang tidak penting, serta menyaring jenis konten yang dikonsumsi. Dengan cara ini, kita dapat mengurangi ketergantungan digital dan menjaga kesehatan mental di tengah kemajuan teknologi yang pesat. 

 

Referensi: 

Alter, A. (2017). Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked. Penguin Press. 

Valkenburg, P. M., Beyens, I., Pouwels, J. L., van Driel, I. I., & Keijsers, L. (2022). Social Media Use and Adolescents’ Self-Esteem: Heading for a Person-Specific Media Effects Paradigm. Journal of Communication, 72(1), 56–78. 

Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2018). Associations between screen time and lower psychological well-being among children and adolescents: Evidence from a population-based study. Preventive Medicine Reports, 12, 271–283. 

Dewi Chaireia