A Statistical Analysis of Military Involvement in Indonesian Civilian Governance from the Suharto Era to the 2025 TNI Law Amendments and How it Affects the Country 

Keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil Indonesia merupakan fenomena yang telah berlangsung lama dan kompleks. Sejak era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, militer tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan, tetapi juga berperan besar dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial. Konsep Dwi Fungsi ABRI menjadikan militer sebagai aktor utama yang turut menentukan arah kebijakan negara. Praktik ini menyebabkan ketimpangan dalam struktur kekuasaan, di mana supremasi sipil cenderung dikesampingkan demi stabilitas yang dikendalikan oleh kekuatan bersenjata. 

Pada masa Orde Baru, militer menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kekuatan militer tidak hanya berada di balik layar, tetapi juga mengisi kursi-kursi penting dalam lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Sejumlah besar kepala daerah merupakan perwira aktif atau purnawirawan TNI, menunjukkan pengaruh mendalam militer dalam birokrasi sipil. Herdi Sahrasad menyebut kondisi ini sebagai praetorianisme, yaitu ketika militer menjadi aktor politik utama yang memegang kekuasaan secara eksesif. 

Reformasi 1998 menandai titik balik penting dalam relasi sipil-militer. Tuntutan mahasiswa dan masyarakat sipil menekankan pada penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan penguatan kontrol sipil atas militer. Meski TNI dan Polri dipisahkan, dan TNI mulai menjalankan reformasi internal, banyak pengamat menilai perubahan tersebut belum menyentuh substansi kekuasaan militer yang telah mengakar. Paradigma baru yang diusung Wiranto – seperti role sharing dan pengaruh tidak langsung dianggap hanya bersifat kosmetik, tanpa membongkar struktur dominasi yang sesungguhnya. 

Meskipun secara formal peran politik TNI telah dikurangi, tren menunjukkan peningkatan keterlibatan kembali militer dalam ranah sipil. Data dari LIPI menunjukkan bahwa sekitar 18% kepala daerah adalah purnawirawan militer. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya proses remiliterisasi birokrasi sipil, terutama karena militer tetap mempertahankan jaringan teritorial yang kuat serta akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi di daerah. 

Revisi Undang-Undang TNI tahun 2025 menjadi titik krusial dalam diskursus hubungan sipil-militer. Kompas (2025) mencatat bahwa revisi ini memperluas mandat TNI untuk menjalankan tugas-tugas non-perang, seperti pengamanan objek vital nasional, penanggulangan bencana, dan tugas diplomatik. Ketentuan ini bersifat multitafsir dan berpotensi menyuburkan kembali dominasi militer dalam kehidupan sipil. Ketiadaan mekanisme persetujuan dari Presiden dan DPR untuk penugasan tersebut menjadi celah bagi praktik intervensi militer tanpa pengawasan yang memadai. 

Revisi UU TNI membawa risiko serius terhadap stabilitas demokrasi Indonesia. Pengaburan batas antara fungsi militer dan sipil akan melemahkan prinsip dasar demokrasi, yakni supremasi sipil atas militer. Jika tidak diimbangi dengan kontrol hukum dan institusi yang kuat, maka relasi sipil-militer akan kembali ke pola lama yang hierarkis dan otoriter. Hal ini juga membuka peluang kembalinya pendekatan keamanan untuk mengatasi konflik sosial dan politik, yang dapat mengerdilkan ruang kebebasan masyarakat sipil. 

Dominasi militer dalam urusan sipil juga berdampak pada sentralisasi kekuasaan, ketimpangan pembangunan, dan keterbatasan partisipasi masyarakat. Di masa lalu, pendekatan militeristik terhadap konflik di Papua, Aceh, dan Maluku justru memperbesar ketegangan. Krisis ekonomi dan politik yang ditimbulkan oleh sistem Orde Baru memperkuat argumen bahwa pembangunan yang dikawal oleh militer cenderung abai terhadap prinsip keadilan sosial, partisipasi rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi. 

Dalam menghadapi tantangan ini, dibutuhkan penguatan institusi sipil, supremasi hukum, dan keterlibatan masyarakat dalam mengawasi peran militer. Revisi kebijakan harus menjamin bahwa segala bentuk pelibatan militer dalam urusan sipil dilakukan secara transparan dan akuntabel. Tanpa reformasi substansial, Indonesia terancam kembali terjerumus ke dalam dominasi militer yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional. 

 

Referensi:

Gatra, S. (2025, March 17). Revisi UU TNI dan Relasi Sipil-Militer. KOMPAS.com. Retrieved from https://nasional.kompas.com

II.Praetorianisme Orde Baru & Dampaknya Pada Relasi Sipil-Militer Era Reformasi (1999-2004). (2016, July). Konfrontasi: Jurnal Kultur, Ekonomi Dan Perubahan Sosial (Vols. 3–2, pp. 25–56). Retrieved from http://www.konfrontasi.net/index.php/konfrontasi2 

Kenneth