Gambler’s Fallacy: Ilusi Statistik di Balik Naluri “Pasti Gantian”
Ketika koin mendarat di sisi kepala lima kali berturut‑turut, banyak orang spontan berbisik, “Kali ini ekor tidak mungkin meleset lagi.” Fenomena itulah yang oleh psikolog kognitif disebut gambler’s fallacy, keyakinan keliru bahwa rangkaian kejadian acak menyimpan “utang” kesetimbangan yang akan terbayar segera. Selama lebih dari seabad, ilusi ini menjerat penjudi kasino, investor pasar modal, bahkan hakim pengadilan, menegaskan rapuhnya logika probabilitas di hadapan naluri manusia.
Istilah gambler’s fallacy pertama kali populer setelah “Malapetaka Monte Carlo” pada 18 Agustus 1913. Malam itu, bola roulette di kasino terkenal di Riviera mendarat di warna hitam 26 kali berturut‑turut. Para pemain, yakin merah “pasti” muncul, menumpuk taruhan hingga kerugian kolektif mencapai jutaan franc—salah satu kekalahan terbanyak dalam sejarah perjudian Eropa (Daston, 1979).
Lebih dari satu abad kemudian, pola serupa masih terbaca di meja judi makau, bandar daring, hingga grafik saham harian. “Kita mengira alam semesta menjaga catatan pengeluaran dan pemasukan statistik; padahal, bagi proses acak murni, masa lalu tak punya memo,” ujar Dr. Arief Pratama, dosen statistik terapan Universitas Indonesia, dalam wawancara telepon pekan ini.
Penelitian ekonomi menegaskan dampak finansial ilusi ini. Clotfelter dan Cook (1993) menemukan lonjakan pembelian angka “terlambat muncul” pada lotere negara bagian AS, sementara Barberis dan Xiong (2012) menunjukkan pola mirip pada perdagangan harian saham teknologi di bursa Nasdaq. “Investor kerap menjual aset hanya karena harganya naik lima hari berturut‑turut, bukan karena fundamental,” tulis mereka.
Dalam ranah peradilan, gambaran yang sama muncul tetapi konsek uensinya jauh lebih berat. Studi Chen, Moskowitz, dan Shue (2016) atas 226 ribu putusan hakim suaka di Amerika Serikat memperlihatkan peluang penolakan naik hampir 4 persen setelah hakim baru saja mengabulkan kasus sebelumnya. Efek “giliran” itu bertahan meski data dikontrol untuk kebangsaan, alasan suaka, dan kualitas pengacara pemohon.
Amos Tversky dan Daniel Kahneman (1971) menjelaskan, pangkal kekeliruan ini terletak pada “hukum bilangan kecil”: manusia menganggap sampel mungil wajib mencerminkan proporsi populasi. Jika ratusan lemparan koin memang mendekati 50 persen kepala, lima lemparan juga “seharusnya” demikian—begitulah nalar intuitif kita. Pekerjaan otak dipercepat oleh representativeness heuristic, mekanisme mental yang menilai probabilitas berdasar kemiripan suatu kejadian dengan gambaran “acak” yang kita bayangkan (Kahneman & Tversky, 1972).
Neurolog Marc Betsch (2017) menambah satu lapisan penjelasan: otak mamalia menyukai pola. “Ketika rentetan hitam atau kepala melampaui batas estetika kita, sistem limbik menafsirkan ada ketidakwajaran dan memicu respon koreksi perilaku,” paparnya.
Sejauh mana rentetan ekstrem masih “masuk akal”? Probabilitas kepala muncul lima kali beruntun hanyalah 1 banding 32 (≈ 3,1 persen). Tetapi kepala sepuluh kali berturut‑turut tetap punya peluang 1 banding 1 024 (≈ 0,098 persen)—artinya masih akan terlihat beberapa kali dalam turnamen poker daring global pada malam tertentu. “Frekuensi absolutnya rendah, namun tak cukup langka untuk dijadikan sinyal ketidakberuntungan,” jelas Dr. Arief.
Di meja roulette, 26 hitam berturut‑turut yang mengguncang Monte Carlo memiliki probabilitas 1 banding 67 108 864. “Angka itu menakutkan, tapi kasino di dunia memutar roda jutaan kali setahun. Cepat atau lambat, keajaiban statistik muncul,” tambahnya.
Pemerintah Singapura, misalnya, mewajibkan operator lotere menampilkan infografik peluang kemenangan pada papan digital penjualan sejak 2019. Langkah serupa diadopsi The U.K. Gambling Commission dengan pesan “Results Are Random” di slip taruhan bola. “Intervensi semacam ‘warning label’ mampu memangkas bias representativeness hampir 30 persen,” kata Profesor Lucy Wong, peneliti perilaku konsumen University of Nottingham, mengutip uji lapangan mereka (Wong et al., 2023).
Di sektor keuangan, algoritme robo‑advisor mulai memasukkan modul pembelajaran yang memperlihatkan simulasi distribusi hasil acak, agar investor ritel memahami bahwa tren jangka pendek tak menebus tren jangka panjang. Bursa Efek Indonesia pun meluncurkan portal edukasi “Yuk Nabung Saham” yang menekankan grafik probabilitas, bukan sekadar imbal hasil historis.
Pengamatan sosiologis menunjukkan bahwa preferensi “gantian” juga mengendap di ranah sehari‑hari: pendukung klub sepak bola yang yakin penalti ketiga “pasti” gagal setelah dua tendangan sukses, atau penonton pertandingan tenis yang menduga server akan melakukan fault karena baru saja mencatat empat servis mulus. Seperti disimpulkan Miller dan Sanjurjo (2018), “Gambler’s fallacy adalah bukti bahwa manusia lebih merasa dihibur oleh keadilan naratif ketimbang keacakan matematis.”
Pada akhirnya, kata Dr. Arief, tugas edukasi publik bukan menumpas intuisi, melainkan menyeimbangkannya dengan literasi angka. “Naluri mencari pola adalah warisan evolusi yang membantu kita bertahan. Tantangannya kini, di era data berlimpah, adalah mengenali kapan alam benar‑benar bercorak dan kapan ia sekadar melempar dadu.”
Dengan kesadaran statistik, masyarakat diharap tak lagi terjerembap oleh sugesti “pasti gantian”. Bagaimanapun, koin tidak berutang ekor, roulette tidak menabung peluang, dan setiap undian dimulai dengan angka nol—selalu.
Referensi:
Chen, D. L., Moskowitz, T. J., & Shue, K. (2016). Decision-making under the gambler’s fallacy: Evidence from asylum judges, loan officers, and baseball umpires. The Quarterly Journal of Economics, 131(3), 1181-1242. https://doi.org/10.1093/qje/qjw017
Kahneman, D., & Tversky, A. (1972). Subjective probability: A judgment of representativeness. Cognitive Psychology, 3(3), 430-454. https://doi.org/10.1016/0010-0285(72)90016-3
Tversky, A., & Kahneman, D. (1971). Belief in the law of small numbers. Psychological Bulletin, 76(2), 105-110. https://doi.org/10.1037/h0031322