Kesetaraan Gender di Indonesia

APA ITU KESETARAAN GENDER?

Kata Gender Equality atau kesetaraan gender berasal dari 2 kata, yaitu gender dan equality. Gender memiliki arti jenis kelamin dan kata equalitymemiliki arti suatu keadaan yang setara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kata gender equality memiliki makna suatu keadaan setara yang tidak dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Keadaan setara yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama tanpa membedakan jenis kelamin. Kesetaraan gender dimaknai sebagai keadaan dimana perempuan dan laki-laki memiliki kondisi yang setara untuk dapat merealisasikan haknya secara penuh sebagai manusia dan untuk dapat memberikan kontribusi, serta memperoleh manfaat dari pembangunan. Oleh sebab itulah kesetaraan gender menjadi bagian dari target pembangunan bagi negara-negara yang mengalami pembangunan yang tinggi seperti Indonesia.

Kondisi yang ideal dalam pembangunan manusia yang diharapkan adalah kelompok penduduk laki-laki dan perempuan memiliki akses yang sama dan setara untuk berperan dalam pembangunan, memegang kendali atas sumber daya pembangunan yang ada, serta menerima manfaat dari pembangunan yang setara dan adil. Maka dari itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri. Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Selain itu, dengan adanya kesetaraan gender, perempuan akan lebih dihargai dan dihormati. Bila kesetaraan gender tercapai, mereka dapat berkarya, belajar, dan berpendapat tanpa perlu takut akan reperkusi dari budaya patriarki yang masih hadir di kebanyakan masyarakat Indonesia.

KETIMPANGAN GENDER

Namun sebaliknya, ketimpangan gender adalah kondisi di mana terdapat ketidaksetaraan genderantara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Ketidaksetaraan gender disebabkan oleh akses, partisipasi dan kontrol yang tidak seimbang bagi perempuan dalam mencapai sumber daya; ketidakadilan dalam pemberdayaan perempuan. Ketidakadilan tersebut dapat dikategorikan menjadi enam bentuk: 1) Beban Ganda, mengaitkan tanggung jawab tertentu kepada satu gender walaupun tanggung jawab tersebut juga dapat dilakukan oleh gender lainnya. Contoh: Mengasuh anak dan memasak dilakukan oleh istri sementara istri juga bekerja di luar rumah, sedangkan suami hanya bekerja saja tanpa mengerjakan tugas rumah tangga. 2) Marginalisasi, perempuan tidak dapat melakukan atau berkontribusi dalam suatu aspek atau bidang pekerjaan tertentu karena stigma negatif yang sudah melekat cukup lama pada mereka. Contoh: Pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan (gedung, jalan, dsb) bisa dibilang campur tangan perempuan cukup minim, karena perempuan dianggap lemah secara fisik dan psikologis. 3) Kekerasan, terjadi karena perempuan dianggap lemah dan/atau dipandang sebagai objek seksual. Kekerasan ini meliputi: kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan psikologis. 4) Pelabelan, “cap” atau stereotipe yang melekat pada gender tertentu yang belum tentu benar Contohnya, ucapan seperti: “Perempuan adalah individu lemah.”, “Perempuan tidak bisa ngoding.”, “Laki-laki tidak boleh menangis.”, dsb. 5) Diskriminasi Gender, tindakan pembedaan yang membatasi kebebasan individu karena jenis kelamin. Contohnya: Perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, perempuan tidak boleh menjadi wanita karir, laki-laki tidak boleh melakukan pekerjaan rumah tangga, dsb. 6) Subordinasi, anggapan bahwa peran satu jenis kelamin lebih rendah dibanding yang lain (premis tersebut cenderung menimpa perempuan).

PENGKAJIAN KETIMPANGAN GENDER DI INDONESIA

Untuk mengukur apakah kesetaraan gender sudah tercapai atau belum di Indonesia, BPS melakukan kajian pengukuran Indeks Ketimpangan Gender (IKG) pada tahun 2017 sampai 2020 menggunakan data dari rentang tahun 2015—2019 untuk tingkat nasional dan daerah. Sebelumnya, UNDP pernah melakukan kajian serupa, yaitu Gender Inequality Index (GII) yang berlangsung dari tahun 2000 sampai 2019. Namun, metodologi yang digunakan GII dinilai kurang relevan terhadap kondisi pembangunan di indonesia sehingga BPS mengadopsi metodologi GII untuk menciptakan IKG agar penghitungan indeks lebih akurat.

Perbedaan antara metodologi IKG dan GII terletak pada indikator yang digunakan. Dalam hal ketimpangan kesehatan, hanya dihitung dari penduduk perempuan, menggunakan indikator proporsi perempuan kawin atau pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan tidak di fasilitas kesehatan sebagai faktor risiko kematian ibu melahirkan, sedangkan fertilitas remaja didekati dengan banyaknya perempuan kawin atau pernah kawin usia 15- 49 tahun yang melahirkan hidup pertama pada usia kurang dari 20 tahun. Dimensi pemberdayaan dihitung dari proporsi penduduk laki-laki dan perempuan dengan syarat pendidikan minimal SMA dan proporsi laki-laki dan perempuan yang menduduki kursi di parlemen. Sementara, dimensi pasar kerja dihitung dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK).

Dalam membaca indeks pada IKG, semakin tinggi nilainya maka semakin tinggi juga tingkat ketimpangan gender. Berdasarkan hasil penghitungan, IKG Indonesia masih cukup tinggi, tetapi trennya mengalami penurunan dari 0,466 di tahun 2015 menjadi 0,421 di tahun 2019. Penurunan tersebut lebih disebabkan membaiknya keterwakilan perempuan di parlemen dari 17,3 persen menjadi 20,5 persen dan menurunnya proporsi persalinan tidak di fasilitas kesehatan yang pada tahun 2015 sebesar 22,4 persen turun menjadi 14,1 persen di tahun 2019. Selain itu juga ditunjukkan dengan menurunya disparitas TPAK antara laki-laki dan perempuan.

SIMPULAN

Dengan paparan informasi di atas, menurut kami, kesetaraan gender di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Walaupun adanya tren penurunan indeks pada Indeks Ketimpangan Gender, fakta bahwa masih adanya ketimpangan gender, terutama ketidakadilan dalam pemberdayaan perempuan, tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Harapan kami, tentu saja, dengan membaca artikel ini, pembaca dapat lebih mengerti tentang kesetaraan gender dan ketimpangan gender sehingga lebih aware dengan budaya patriarki yang cenderung mengekang perempuan akan segala haknya dan menciptakan lingkungan tidak sehat mengakibatkan sulitnya perempuan mendapatkan kesempatan yang setara dengan laki-laki.

SUMBER REFERENSI:

BPS. (2020, November 23). “Kajian Penghitungan Indeks Ketimpangan Gender”. Diakses pada tanggal 12 Desember 2021 melalui Badan Pusat Statistik (bps.go.id)

KEMENPPPA. “GLOSARY KETIDAKADILAN GENDER”. Diakses pada tanggal 12 Desember 2021 melalui KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK (kemenpppa.go.id)

Agnes Vera Yanti Sitorus. (2016, Januari 01). “DAMPAK KETIMPANGAN GENDER TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA”. Diakses pada tanggal 12 Desember 2021 melalui 52829-ID-dampak-ketimpangan-gender-terhadap-pertu.pdf (neliti.com)

Lovina Anabelle Citra, Kevin Christian, Ilham Hadi Shahputra, dan Rico Frenaldi Tokanto