Stoicism untuk Menurunkan Overthinking

Kesehatan mental menjadi isu yang ramai dibahas di era modern saat ini. Permasalahan-permasalahan di kehidupan manusia di masa ini memang semakin kompleks, ditambah lagi manusia harus beradaptasi dengan keadaan baru. Salah satu contoh perubahan hidup terbesar yang dialami oleh manusia saat ini adalah terjadinya pandemi COVID-19. Walaupun kini keadaan sudah jauh membaik, manusia merasakan perubahan yang mengharuskan untuk beradaptasi dengan keadaan baru, seperti menjaga jarak, menggunakan masker, menghindari kontak fisik berlebihan, dan selalu menjaga kebersihan (Kesehatan, 2020). Contoh fenomena seperti ini tidak dapat dipungkiri memancing munculnya pikiran negatif dan overthinking. Rasa takut dan khawatir karena memikirkan sesuatu hal secara berlebihan akan membuat seseorang tidak tenang dalam menjalani hidupnya.

Overthinking termasuk ke dalam  psychological disorder karena menimbulkan kecemasan pada seseorang. Overthinking juga dikenal sebagai paralysis analysis, yaitu keadaan ketika seseorang memikirkan suatu permasalahan secara terus-menerus tanpa menemukan solusinya (Fakhir, 2019). Maka dari itu, perilaku overthinking bisa menjadi suatu hal yang menghambat seseorang untuk melakukan fungsi hidup sehari-hari dengan baik karena pikirannya selalu disibukkan dengan masalah-masalah yang tidak ada ujungnya (Sofia et al., 2020). Terkadang, masalah yang dipikirkan oleh para overthinker juga cenderung terdistorsi atau tidak sesuai kenyataan, sehingga hanya berupa kekhawatiran tanpa dasar saja. Oleh karena itu, seseorang memerlukan metode untuk mengatasi overthinking, salah satu cara yang efektif adalah menerapkan stoicism.

Menurut Wagstaff dan Rowledge (1995), stoicism atau ketabahan adalah daya tahan seseorang terhadap rasa sakit atau kesulitan, dengan tidak menunjukkan perasaan yang sesungguhnya dan tidak mengeluh. Kunci dari terbentuknya stoicism adalah denial atau penyangkalan, suppression atau penekanan, dan pengendalian emosi. Stoicism dapat membantu orang-orang yang memiliki perilaku overthinking untuk dapat mengelola pikiran dengan cara lebih tertata, mengelola kecemasan berlebihan dengan bijaksana (Febrian, 2023).

Orang-orang yang mengalami overthinking biasanya sulit melepaskan diri dari kecemasan, dan seringkali terperangkap dalam pikiran mereka sendiri. Melalui stoicism, seseorang dapat belajar mengelola emosinya terlebih dahulu, kemudian berusaha melepaskan diri dari kecemasan dengan cara menyangkal atau menekan rasa cemas dan pikiran buruk tersebut. Melalui stoicism, seseorang juga dapat belajar untuk fokus terhadap hal-hal yang dapat dikendalikan dan tidak memikirkan hal yang berada di luar kendali. Dengan begitu, pikiran bisa fokus pada hal yang dapat dilakukan dan fokus menjalani kegiatan sehari-hari tanpa rasa khawatir yang berlebihan.

REFERENSI

Fakhir, R. M. (2019). Dampak Buruk Overthinking Bagi Psikologis Dan Kesehatan. JurnalPosMedia.Com. http://jurnalposmedia.com/overthinking-dan-dampak-buruknya/

Febrian, E. A. (2023). Stoikisme: Obat Untuk si Overthinker? Literaksi: Jurnal Manajemen Pendidikan, 1(1), 130–134. https://literaksi.org/index.php/jmp/article/view/133

Kesehatan, K. (2020). Promosi Kesehatan Adaptasi Kebiasaan Baru. In http://promkes.kemkes.go.id/download/eqik/files79362ADAPTASI%20KEBIASAAN%20B ARU_FINAL.pdf.

Sofia, L., Ramadhani, A., Putri, E. T., & Nor, A. (2020). Mengelola Overthinking untuk Meraih Kebermaknaan Hidup. Plakat. https://doi.org/10.30872/plakat.v2i2.4969

Wagstaff, G. F., & Rowledge, A. M. (1995). Stoicism: its relation to gender, attitudes toward poverty, and reactions to emotive material. Journal of Social Psychology, 135(2), 181–184. https://doi.org/10.1080/00224545.1995.9711421

Gloria