Mengenal Quite Quitting dalam Generasi Strawberry

Pernakah kamu mendengar istilah quite quitting? Atau bahkan belum tahu sama sekali apa itu Generasi Strawberry?! Yuk, kita bahas bersama!

“Gue mati-matian pengen WORK LIFE BALANCEEE!”

“Lu jangan bicara sama gue tentang kerjaan saat weekend ya…”

“Pokoknya aku hanya pengen ngerjain sesuai jobdesk!”

Sudah liat 3 dialog di atas? Apakah kamu tahu bahwa dialog tersebut termasuk beberapa tanda kalau kamu quite quitters?

Quite quitters menjadi nama panggilan bagi orang yang menerapkan quite qutting. Quite qutting merupakan tindakan yang tidak ingin bekerja dengan usaha yang lebih, melainkan hanya sebatas memenuhi kewajiban atau bisa dikatakan “pas pas-an aja”, tidak lebih dari itu (Daugherty, 2022). Jika diartikan secara mentah-mentah dalam Bahasa Indonesia mungkin terdengar seperti keluar dari pekerjaan, tetapi arti yang sebenarnya lebih seperti membatasi diri dalam pekerjaan. 

Kira-kira ciri-cirinya seperti apa sih?! Berikut ciri-cirinya menurut Daugherty (2022) dan CNN Indonesia (2022)

  1. Tidak ingin berkontribusi lebih atau bekerja melebihi tanggung jawab 
  2. Kurangnya antusias dalam bekerja
  3. Jarang bersosialisasi dalam lingkungan pekerjaan

Istilah quite quitting baru muncul dan dibahas di sekitaran wilayah Amerika pada tahun 2020-an serta disebarluaskan oleh media termasuk media sosial hingga viral yang diduga faktornya karena Pandemi COVID-19 dan juga tumpang tindih dengan hustle culture mentality. Istilah quite quitting juga diiringi oleh fenomena great resignation yang mana dalam jangka waktu tertentu, banyak pekerja mengundurkan diri dari pekerjaannya dengan berbagai alasan termasuk untuk memberikan jeda dalam hal karier. Konsep quiet quitting sendiri sudah ada dari sejak dulu dan juga pernah dibahas oleh beberapa warga Tiongkok dengan istilah yang berbeda yaitu “lying flat”. Di Indonesia sendiri, sejak pandemi COVID-19 ada beberapa perusahaan yang menerapkan PHK baik secara massal ataupun individual yang menyebabkan beberapa karyawan dituntut untuk bisa memegang tanggung jawab di luar dari jobdesk yang diberikan. 

Yup! benar sekali, beberapa faktor yang diduga adalah burnout dan kurangnya kepuasaan dalam pekerjaan yang membuat banyak pekerja pun mengira bahwa untuk menghindarinya, bisa dengan cara menerapkan quite quitting. Quite quitting bisa terjadi pada siapa saja terutama pada generasi muda sekarang atau disebut sebagai generasi strawberry. Itu karena kebanyakan dari generasi muda ingin bisa bekerja secara fleksibel dan lebih memperhatikan masalah mental sehingga untuk mencegah burnout dan mengalami kesakitan secara mental, mereka memilih quite quitting yang mana untuk mencapai “life balance. Quite quitting bisa juga menjadi sebuah tanggapan terhadap karakteristik positif dan negatif yang dimiliki oleh generasi strawberry.

“Jadi, bisa dikatakan bahwa quite quitting muncul sebagai reaksi perlawanan dengan hustle culture.”

Sampai sekarang quite quitting menjadi perdebatan bagi banyak orang, apakah itu hal yang baik atau tidak. Di sisi tertentu, quite quitting membuat banyak orang untuk lebih memikirkan prioritas yang lebih penting daripada pekerjaan, seperti keluarga, mental health, kesehatan fisik dan sebagainya sehingga banyak orang mengatakan bahwa quite quitting merupakan salah satu jalan menuju work-life balance. Akan tetapi, ada beberapa pandangan yang melihat quite quitting sebagai tindakan yang merugikan jika dilakukan terus-menerus, yang mana perusahaan bisa melihat quite quitters tidak menunjukkan potensi maksimalnya dan seakan-akan lebih tertarik untuk stagnan daripada berkembang dan bisa merujuk pada resiko “dipecat”. 

“Kalau gitu gimana dong biar bisa fleksibel dan work-life balance, tapi tetap memberikan kontribusi yang lebih?”

Ada beberapa solusi menarik yang diberikan oleh CNN Indonesia dan Forbes, yakni:

  1. Seimbangkan hustle culture dengan quite quitting
  2. Bentuklah komunikasi terhadap sesama rekan kerja, staff, atau lingkungan pekerjaan
  3. Perusahaan sebaiknya menghargai work-life balance setiap pekerja
  4. Mengetahui batasan dan mengenali kemampuan diri sendiri

Pada solusi terakhir di atas mungkin terkesan ambigu, tetapi yang dimaksudkan adalah sebagian orang mengambil pekerjaan/jobdesk yang terlalu jauh dari kemampuannya sehingga menyebabkan beban besar terhadap dirinya sendiri dan bisa memengaruhi kesehatan fisik serta mental. Belum lagi, jika katakan saja drop yang mana hal ini bisa memengaruhi perusahaan atau kinerja lainnya sehingga pengenalan kemampuan dan batasan diri diperlukan. 

Sebenarnya masalah quite quitting dan solusi yang telah diberikan juga sangat relate dan berlaku tidak hanya sebatas pada perusahaan, karyawan, dan sebagainya. Sebagai mahasiswa-mahasiswi tentunya juga akan diperhadapkan dengan berbagai tugas, kewajiban, proyek, dan masih banyak lagi yang terkadang membuat kita lelah dan itu hal yang wajar. Akan tetapi, hal yang tidak wajar ketika manusia sudah tidak ingin berkembang dan menyerah.

“Semua manusia bisa capek, bahkan robot pun perlu di maintenance

 

Referensi:

Daugherty, G. (2022, November 02). What Is Quite Quitting-and Is It a Real Trend? Investopedia. https://www.investopedia.com/what-is-quiet-quitting-6743910#toc- examples-of-quiet-quitting

Tapper, J. (2022, Agustus 6). Quite quitting: why doing the bare minimum at work has gone global. The Guardian. https://www.theguardian.com/money/2022/aug/06/quiet- quitting-why-doing-the-bare-minimum-at-work-has-gone-global

CNN Indonesia. (2022, September 19). Quiet Quitting: Apa Salahnya Kerja Sesuai Argo dan Pulang Tenggo? CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya- hidup/20220915153914-284-848365/quiet-quitting-apa-salahnya-kerja-sesuai-argo- dan-pulang-tenggo

Windham-Bradstock, C., & Forbes Human Resources Council. (2022, Oktober 12). Three Solutions To Quite Quitting. Forbes. https://www.forbes.com/sites/forbeshumanresourcescouncil/2022/10/12/three- solutions-to-quiet-quitting/?sh=3339ff055f1b

Penulis: Kevin Jonathan Japar