17.000 Pulau, 300 Kelompok Etnis, dan 1.300 Suku: Apakah Keberagaman Indonesia Harus Selalu Membawa Konflik?

17.000 Pulau, 300 Kelompok Etnis, dan 1.300 Suku: Apakah Keberagaman Indonesia Harus Selalu Membawa Konflik?

Hai, teman-teman semua! Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga selalu dalam kondisi yang sehat ya. Karena jumlah kasus aktif COVID-19 di Indonesia masih meningkat, tetap jaga kesehatan dan selalu ikuti protokol kesehatan yang dianjurkan ketika keluar rumah ya, teman-teman. Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas seputar konflik yang bisa terjadi karena perbedaan yang ada menurut psikologi sosial, apa penyebabnya, dan bagaimana cara agar kita bisa menguranginya.

Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara dengan banyak keanekaragaman, baik dari segi bahasa, budaya, suku, dan lainnya. Dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di sekujur daratan Indonesia serta didiami oleh 300 etnis yang memiliki kebudayaannya masing-masing, tidak jarang bahwa perbedaan yang ada menimbulkan konflik-konflik sosial antar kelompok budaya. Seperti yang dikatakan oleh Kuncoro (2021), “benturan” sebagai hasil dari perbedaan tersebut disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia akan perbedaan yang ada. Salah satu contoh kasus ekstrem dari adanya prasangka negatif serta diskriminasi di Indonesia adalah kerusuhan yang terjadi saat tragedi Mei 1998, di mana komunitas beretnis Tionghoa menjadi sasarannya. Sebelum lanjut, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu mengenai stereotipe, prasangka (prejudice), serta diskriminasi.

Stereotypes, prejudice, dan discrimination: Bedanya apa?

Konflik sosial kerap terjadi karena adanya sebuah gambaran mengenai kelompok tertentu yang dinamakan stereotipe, dan biasanya “benturan” ini terjadi karena terdapat stereotipe negatif. Myers (1983) mendefinisikan stereotipe sebagai sebuah generalisasi mengenai suatu kelompok yang membedakan kelompok tersebut dari kelompok lainnya tetapi tidak selalu akurat. Selain itu, prasangka atau prejudice diartikan sebagai sikap negatif terhadap kelompok tertentu (Watson & Frank, 1984). Jika sebuah stereotipe menimbulkan emosi dan perasaan yang negatif, maka prasangka kemudian terbentuk.

Walaupun sering disamakan dengan prasangka, diskriminasi adalah hal yang berbeda. Kuncoro (2021) kembali menerangkan bahwa prasangka berkaitan dengan sikap (attitude) sedangkan diskriminasi sudah berupa tindakan (action). Diskriminasi pun merupakan perlakuan negatif terhadap suatu kelompok tertentu (Watson & Frank, 1984). Ketika sikap negatif terhadap orang atau kelompok lain memicu sebuah tindakan, itu sudah termasuk diskriminasi. Bahkan, Kuncoro (2021) mengatakan bahwa diskriminasi sebenarnya adalah prejudice in action. Contoh dari prasangka dan diskriminasi bisa berupa menjauhi, merendahkan, menghina, atau bahkan menyerang pihak lain berdasarkan ras (rasisme), jenis kelamin (seksisme), usia (ageisme), dan orientasi seksual (homofobia) yang dimiliki.

Jadi, apa saja penyebabnya?

Ada banyak teori di luar sana yang menjelaskan kemunculan prasangka dan diskriminasi. Secara luas, kedua hal ini dapat hadir dalam kehidupan bermasyarakat karena pembelajaran sosial (social learning) dan konformitas terhadap norma sosial (Lumen, n.d.). Manusia tidak terlahir dengan kebencian terhadap manusia lain, tetapi hal tersebut didapatkan dari orang-orang sekitar kita. Misalnya, anak-anak mulai diajarkan stereotipe dan prasangka mengenai kelompok tertentu oleh orang tua, guru, atau teman mereka. Ketika prasangka dan diskriminasi tertentu mulai tertanam dan menjadi kebiasaan di masyarakat, tekanan sosial untuk mengikutinya pun menjadi semakin kuat.

Kalau begitu, apa yang bisa kita lakukan untuk menguranginya?

Cherry (2020) memberikan beberapa cara yang bisa kita terapkan untuk mengurangi serta melawan prasangka dan diskriminasi di Indonesia:

  • Mengajarkan dan melatih empati, khususnya terhadap orang-orang dari kelompok sosial yang berbeda
  • Meningkatkan dukungan serta kesadaran masyarakat mengenai norma sosial yang tidak didasarkan pada prasangka
  • Lebih sering berinteraksi dengan orang-orang dari kelompok sosial yang lain
  • Menunjukkan inconsistencies yang ada pada sikap orang-orang yang berprasangka negatif
  • Mengesahkan kebijakan yang mengharuskan perlakuan yang adil dan sama terhadap semua kelompok masyarakat

Sekian pembahasan kali ini seputar stereotipe, prasangka, dan diskriminasi yang dapat terjadi dengan adanya perbedaan. Semoga topik ini dapat memperkaya teman-teman semua dengan wawasan baru dan kemudian bisa menerapkannya untuk menyejahterakan kehidupan bangsa dan negara ya! Stay healthy, stay safe, dan stay sane ya kalian semua. Sampai jumpa di artikel selanjutnya!

Referensi:

Cherry, K. (2020, Juni 17). How people’s prejudices develop. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-prejudice-2795476

Kuncoro, J. (2021). Prasangka dan diskriminasi. Proyeksi: Jurnal Psikologi, 2(2), 1-16. http://dx.doi.org/10.30659/jp.2.2.1-16

Lumen. (n.d.). Prejudice and discrimination. Lumen Learning. https://courses.lumenlearning.com/wsu-sandbox/chapter/prejudice-and-discrimination/

Myers, G. D. (1983). Social psychology. McGraw-Hill Education.

Watson, L. D., & Frank, J. (1984). Social psychology. Scot Foresman.

 

Penulis: Marshanda Jeanette Mariane Massie

Marshanda Jeanette Mariane Massie