[SOCIAL CONNECT] Mengenal Stigma dan Diskriminasi pada Kesehatan Mental

Halo, Socconians!

Saat ini di Indonesia isu kesehatan mental masih menjadi sesutau yang tabu. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat akan isu kesehatan mental di negara ini kian meningkat. Hal ini terlihat dari mulai maraknya kampanye, organisasi, ataupun komunitas yang membahas tentang isu tersebut.

Socconians tahu gak, sih*,* meskipun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental ini sudah banyak dibicarakan oleh masyarakat, ternyata diskriminasi dan stigma masih belum luput melingkupinya. Sebenarnya, apa dan bagaimana diskriminasi dan stigma yang melekat pada isu kesehatan mental itu? Yuk, simak penjelasannya.

Apa Itu Stigma?

Stigma adalah sebuah pandangan atau pikiran negatif yang ditujukan kepada seseorang ataupun kelompok berdasarkan perilaku yang dianggap menyimpang terhadap sebuah nilai atau kebiasaan. Stigma diciptakan oleh masyarakat ketika mereka melihat ada sesuatu yang dianggap berbeda karena hal yang tidak sewajarnya.

Apa Itu Diskriminasi?

Diskriminasi adalah sikap membeda-bedakan secara sengaja terhadap golongan-golongan yang berhubungan dengan kepentingan tertentu yang disebabkan oleh prasangka dan juga stereotip. Diskriminasi cenderung dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.

Stigma dan Diskriminasi pada Kesehatan Mental di Indonesia

Kita semua tahu bahwa kesehatan mental tidak kalah penting dari kesehatan fisik. Ada banyak sekali jenis gangguan mental, misalnya depresi, bipolar, gangguan kecemasan, gangguan makan, OCD, dan yang lainnya. Gangguan mental tersebut dapat terjadi pada siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.

Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat Indonesia akan isu kesehatan mental mulai meningkat. Isu ini seakan-akan menjadi topik penting yang kerap diperbincangkan publik, terutama di media sosial. Melalui media sosial, orang-orang dapat berekspresi dengan bebas dan menyuarakan pentingnya kesehatan mental. Satu di antaranya dengan menceritakan hal yang dirasakan selama ia mengalami gangguan mental. Sayangnya, selain mendapatkan respons positif yang berupa dukungan, tidak jarang juga tindakan tersebut mengundang komentar negatif yang bernadakan hujatan kepada orang-orang yang mengalami gangguan mental.

Pernahkah kamu menjumpai komentar yang kurang lebih berisi “Mungkin ia kurang ibadah” pada sebuah unggahan yang berisikan seseorang yang sedang melakukan percobaan bunuh diri? Atau komentar yang berisi “Ah, orang zaman dulu gak ada yang pernah ngalamin, kok. Anak sekarang aja yang terlalu berlebihan”. Nah, hal itulah yang kita sebut sebagai stigma terhadap gangguan kesehatan mental. Meskipun kesehatan mental sudah banyak diperbincangkan, tetapi tetap saja masih banyak orang yang merasa bahwa itu adalah sesuatu yang tabu

Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap kesehatan mental ini biasanya akan menimbulkan sikap diskriminasi, seperti kata-kata hinaan yang dilontarkan kepada si penderita ataupun keluarga, pengucilan yang bersifat menghindari si penderita, serta perasaan malu yang timbul dari lingkungan terdekat. Selain diciptakan masyarakat, ternyata, stigma juga bisa datang dari dalam pikiran si penderita itu sendiri, lho! Misalnya, mereka merasa ketakutan akan dijauhi oleh masyarakat karena sifatnya yang berbeda.

Penderita gangguan kesehatan mental yang mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat akan mengalami kondisi yang semakin buruk. Banyak dari mereka yang enggan mencari bantuan ataupun pengobatan lebih lanjut karena merasa malu atas perlakuan tidak wajar dari orang-orang di sekitarnya. Mereka merasa tidak memiliki kerabat dekat yang mengerti terhadap sesuatu yang dialaminya sehingga mereka lebih memilih untuk terus memendam perasaannya. Parahnya lagi, tidak sedikit penderita gangguan mental yang akan melakukan kekerasan fisik hingga percobaan bunuh diri.

Nah, sekarang Socconians sudah lebih paham tentang stigma dan diskriminasi pada kesehatan mental, kan? Terlepas dari itu semua, gangguan kesehatan mental bukanlah aib yang memalukan, lho! Social Connect hadir untuk menyampaikan serta memberikan informasi tentang pentingnya kesehatan mental sehingga stigma dan diskriminasi bisa berkurang dan orang-orang dapat lebih menghargai sang penderita. Socconians juga bisa saling mendukung teman-teman yang sedang mengalami gangguan mental dengan bergabung grup komunitas Social Connect di Telegram, ya!

Tentang Social Connect

Social Connect adalah salah satu komunitas kesehatan mental terbesar di Indonesia yang hadir untuk membangun akses terhadap informasi dan pengetahuan kesehatan mental kepada siapa pun! Mimpi kami sangat sederhana, yakni menciptakan Indonesia yang inklusif sehingga orang-orang bisa bercerita dan berdiskusi tentang kesehatan mental tanpa takut akan stigma dan diskriminasi.

Tentang Djiwa

Social Connect meluncurkan Djiwa sebagai salah satu alternatif untuk mengoptimalkan tidur dan mencapai kebahagian dalam hidup. Aplikasi berbasis website ini diluncurkan pada 17 April 2021 dan dibuka untuk umum sejak 20 April 2021 secara gratis. Akses Djiwa sekarang di sini.

Tim Penulis dan Penyusun

Ditulis oleh Ayu Shafa Azzahra sebagai Media Relations Analyst di Social Connect. Penulis berada di bawah supervisi tim Media & PR Special Project. Tulisan ini sudah di-review secara bahasa dan kesesuaian dengan konteks informasi oleh Delisti Putri Utami sebagai Editor Tata Bahasa di Social Connect. Apabila terdapat kesalahan pengejaan nama, tempat, dan lainnya silakan hubungi kami untuk direvisi.

Kontak

Admin Social Connect | Senin—Jumat 09.00—17.00 WIB

halo@socialconnect.id | 0812 8467 3071

Kencana Tower, Mezzanine Floor Jl. Raya Meruya Ilir No.88 Business Park Kebon Jeruk,

RT. 001 RW. 005 Kel. Meruya Utara Kec. Kembangan Jakarta Barat 11620

Sumber: https://www.notion.so/socialconnect/Mengenal-Stigma-dan-Diskriminasi-pada-Kesehatan-Mental-88a3aa6ef6754652855a2681ecb45f70