Risiko Sosial dalam Krisis Pengungsi di Jerman
Eskalasi krisis pengungsi di Jerman bukanlah hal baru untuk dibicarakan. Namun demikian, isu ini menciptakan situasi krusial yang memosisikan Jerman pada pilihan yang cukup sulit, antara menerima pengungsi atau mementingkan stabilitas domestik. Berbicara mengenai stabilitas domestik, hal ini tidak hanya mengenai masalah jumlah pengungsi yang terus meningkat, melainkan eskalasi krisis tersebut berpengaruh pula pada sikap ambivalen masyarakat yang berpotensi menimbulkan risiko sosial, seperti kesenjangan dan konflik. Tentunya, dalam situasi seperti ini, mengambil kebijakan bukanlah perkara mudah.
Berkaitan dengan kebijakan Jerman, Dr. Marcus Engler dalam tulisan berjudul “Germany in the Refugee Crisis – Background, Reactions and Challenges”, mengungkapkan bahwa hingga saat ini solusi implementasi pan-European yang diajukan oleh Pemerintah Federal Jerman dan tujuan untuk distribusi pencari suaka yang lebih adil antarnegara anggota Uni Eropa merupakan hal yang tidak memungkinkan. Hal ini berkaitan dengan jumlah pencari suaka di Jerman yang sangat besar. Sejak tahun 2015, sekitar 476,649 permintaan suaka telah diajukan. Bahkan terdapat ribuan pendatang yang tidak secara formal mendaftar untuk suaka. Adapun menurut data BAMF 2016, jumlah pendatang mencapai 1.091.894 pencari suaka yang telah teregistrasi ke sebuah sistem bernama EASY. Sebagian besar permintaan tersebut merupakan pencari suaka yang berasal dari Suriah, Irak dan Afghanistan atau dari kawasan Balkan Barat. Jumlah tersebut secara signifikan berpengaruh pada sikap ambivalen sosial masyarakat Jerman. Berdasarkan hasil polling mengenai respon terhadap tantangan penerimaan pengungsi, sebagian masyarakat menujukkan respon positif dan dukungan. Menurut survei, lebih dari 10% masyarakat dengan respon positif, menyambut dengan baik pengungsi, mengumpulkan donasi, dan memberikan bantuan makanan di penampungan darurat, serta menawarkan bantuan untuk belajar bahasa.
Disisi lain, terdapat gerakan masyarakat yang memprotes keberadaan pengungsi, termasuk membakar tempat tinggal pengungsi. Menurut Federal Criminal Office, di tahun 2015 terdapat 924 tindakan kejahatan, mengakibatkan banyaknya pengungsi yang terluka. Adapun salah satu penyebab tindakan tersebut dapat dilihat melalui munculnya dilema sosial dari pengalokasian beberapa tempat untuk menampung pengungsi, misalnya pada Februari 2015, resor swasta kota Olpe disewa oleh para pejabat di North Rhine-Westphalia untuk menampung 400 migran. Di Braunsbedra, seorang pemilik apartemen, Marcus Skowronek mengeluarkan puluhan orang yang menyewa di apartemennya untuk memberikan tempat bagi migran. Hal ini dikarenakan jaminan pemerintah yang akan membayar lebih dari 2 juta euro setahun (lebih besar dari harga sewa yang diterima) atas tindakannya tersebut. Bahkan, di LÜbbecke, guru dan murid diharuskan untuk mengosongkan Realschule (sekolah menengah dengan 150 siswa) dalam waktu kurang dari 24 jam agar dapat digunakan untuk menampung sebanyak 300 migran (Kern, 2015).
Selain pada jumlah pengungsi dan pengalokasian tempat, masalah krusial yang dihadapi Jerman saat ini berkaitan dengan ancaman keamanan. Hal ini dikemukakan oleh Head of the Federal Criminal Police Office, Holger Muench, bahwa situasi keamanan semakin buruk dengan meningkatnya jumlah pengungsi. Terdapat beberapa laporan penyerangan senjata tajam dan dugaan keterlibatan pengungsi dalam organisasi teroris (Batchelor, 2015). Ancaman keamanan juga terjadi melalui serangan teror di Pasar Natal Berlin yang dilakukan oleh Anis Amri, seorang warga Tunisia yang permohonan suakanya ditolak oleh Jerman (Huggler, et.al., 2016). Setelah serangan tersebut, menurut survei, 61% masyarakat Jerman berasumsi bahwa masuknya pengungsi akan meningkatkan ancaman terorisme dalam negeri. Adapun terjadinya ancaman tersebut semakin mempengaruhi sentimen negatif terhadap pengungsi yang mana 67% masyarakat Jerman melihat penanganan Uni Eropa cukup buruk dalam menghadapi krisis pengungsi (Poushter, 2016).
Tidak hanya itu, potensi ancaman di Jerman yang lebih tinggi sangat mungkin terjadi dengan melihat kembali tingkat risiko dari mayoritas asal pengungsi dengan indeks penilaian tingkat risiko krisis humaniter dan bencana dalam negeri (Indeks: 0-10), yaitu Suriah (6,9), Irak (6,9), dan Afghanistan (7,8) (INFORM, 2017). Hal ini dikarenakan penilaian risiko pada negara asal pengungsi akan memberikan indikasi risiko pada negara yang menerima pengungsi tersebut (UNHCR, 2014).
Menghadapi masalah yang terjadi, posisi Jerman menjadi lebih rentan terutama dengan pengakuan Merkel bahwa dia telah kehilangan kendali dalam menghadapi krisis pengungsi di Jerman (Osborne, 2016). Pengakuan tersebut diungkapkan oleh Merkel dalam merespon terdapatnya pengungsi ilegal, arus pengungsi yang sangat tinggi, meningkatnya tindakan kriminal mencapai 142.500 kejahatan oleh migran (Robinson, 2016), timbulnya konflik sosial dan kebutuhan kapasitas tanggap darurat yang lebih besar melalui dukungan dari Frontex European Border Agency mengenai batas wilayah.
Selain itu, salah satu masalah yang sangat signifikan terlihat adalah ekspektasi dari penerimaan pengungsi untuk berkontribusi dalam menghadapi masalah penurunan usia produktif melalui jaminan pekerjaan bagi pengungsi yang hingga saat ini belum memberikan tanda positif. Sebagai contohnya, perusahaan Deutsche Post DHL yang merupakan perekrut terbesar, hanya menerima 102 pengungsi. Hal ini dikarenakan sekitar 80% pengungsi tidak memenuhi syarat pendidikan, tidak dapat membaca serta menulis, dan terlebih lagi tidak dapat berbicara dalam bahasa Jerman (Conolly, 2016). Merkel juga mengakui bahwa cara yang telah diambil Jerman kurang tepat dan mengharapkan peningkatan kerjasama dengan Uni Eropa terutama berkaitan dengan bantuan pembangunan untuk negara-negara yang bermasalah (Kirscbaum dan Shalal, 2016).
Berdasarkan tinjauan singkat sebelumnya, dapat dilihat bahwa eskalasi krisis pengungsi mengakibatkan risiko sosial secara signifikan di Jerman. Mempertimbangkan situasi tersebut, pilihan mitigasi risiko dapat diklasifikasikan pada tiga tingkat (internasional, regional dan domestik). Adapun pilihan mitigasi risiko tersebut secara implisit dibagi atas dua obyektifitas (risiko sosial bagi pengungsi dan/atau masyarakat Jerman), sebagai berikut:
- Internasional
- Tahun 2012, Jerman terlibat dalam skema resettlement UNHCR. Beberapa kebijakan humaniter pengungsi Jerman termasuk peningkatan dalam skema aturan penerimaan, yang mana pengungsi dapat masuk secara legal ke Jerman dengan selamat.
- Pada 20 Maret 2013, Jerman bekerjasama dengan UNHCR dalam memberikan perlindungan sementara kepada lebih dari 5000 pengungsi Suriah dalam kerangka humanitarian admission programme yang akan berfokus pada pengungsi dengan kebutuhan kemanusiaan, pengungsi yang memiliki hubungan dengan Jerman dan pengungsi yang mampu untuk membuat kontribusi dalam membangun tempat asal mereka dan mengakhiri konflik di Suriah (UNHCR, 2013).
- Regional
- Tahun 2013, Pemerintah Federal Jerman telah mempromosikan solusi pan-European untuk mengatasi krisis pengungsi, termasuk kebijakan untuk mendistribusikan pencari suaka di seluruh Eropa.
- Jerman mendukung program kerjasama antara Uni Eropa dan Turki. Dalam kerjasama ini, Turki akan membawa kembali seluruh pengungsi Suriah yang secara ilegal memasuki Yunani. Sebagai gantinya, pengungsi tersebut yang kembali ke Turki akan diterima oleh Uni Eropa melalui resettlement atau humanitarian admission schemes. Adapun dalam implementasinya, program tersebut terbatas untuk 72000 orang dan bersifat sukarela.
- Domestik
- Pada September 2015, Merkel menerapkan kebijakan Open Door Policy yang juga menjadi dasar pemerintah untuk menerima pengungsi dari Hongaria.
- Salah satu implementasi kebijakan humaniter pengungsi di Jerman, sekitar bulan Mei 2013 dan Juni 2014, yakni pemerintah memutuskan untuk membuat sebesar 20.000 tempat bagi pengungsi yang berasal dari negara krisis akibat perang. Pengungsi akan diberikan izin tempat tinggal untuk 2 tahun pertama dan diperbolehkan bekerja secepatnya. Selain itu, bagi pengungsi Suriah diperbolehkan membawa keluarga, dengan komitmen untuk menanggung biaya akomodasi dan tempat tinggal mereka sendiri. Di akhir 2015, sekitar 20.000 orang menerima cara tersebut.
- Kebijakan untuk mendukung integrasi pengungsi. Sebagai contoh, pada September 2014, diberlakukan kebijakan dengan mempersingkat larangan kerja bagi pencari suaka dari sembilan menjadi tiga bulan.
- Pada Oktober 2015, pemerintah Jerman mengeluarkan Kebijakan Suaka Paket I untuk menyediakan kontribusi besar pemerintah federal dalam membiayai akomodasi pengungsi dan termasuk prosedur untuk mengakselerasi pencari suaka.
- Dikarenakan paket I dirasa tidak mencukupi oleh pemerintah federal, maka pada November 2015, Jerman mengeluarkan Kebijakan Suaka Paket II yang menekankan pada penerimaan khusus. Dalam implementasinya, BAMF akan diberikan waktu satu minggu untuk mengambil keputusan mengenai pencari suaka yang diterima atau ditolak.
- Di Berlin, Institut untuk Pengembangan Kota, Industri Perumahan dan Asosiasi Peminjaman (Berliner Institut für Städtebau, Wohnungswirtschaft und Bausparwesen), memberikan gagasan untuk mendorong warga Jerman yang memiliki pendapatan lebih tinggi agar membeli rumah lebih mahal, sehingga rumah yang tidak terlalu mahal dapat diberikan kepada para migran. Hal tersebut mengingat dari terdapatnya 285.000 izin bangunan, hanya 56.000 izin bangunan yang sesuai dengan para migran.
Beberapa upaya diatas merupakan pilihan yang diambil oleh Jerman untuk memitigasi risiko dari eskalasi krisis pengungsi, dan secara spesifik, mitigasi risiko sosial antara masyarakat Jerman dan pengungsi. Meskipun demikian, pilihan yang diambil oleh Jerman dinilai belum efektif, mengingat jumlah pengungsi yang masuk semakin besar dan mulai timbulnya konflik sosial. Sehingga, penting untuk mengnyinergikan tujuan antara pemerintah dan masyarakat sebagai landasan dalam mengambil keputusan secara obyektif.
Tidak hanya mengenai budaya dan bahasa untuk mengintegrasikan masyarakat dengan pengungsi, melainkan pertimbangan keputusan (pilihan yang diambil) lebih kepada pilihan rasional mengenai keuntungan dan kerugian yang akan masyarakat terima dalam realitanya menjadi dasar membangun kepercayaan masyarakat kepada pemerintah (institusi) serta mencegah terjadinya dilema sosial, yaitu kondisi dimana individu menempatkan kepentingan pribadi yang dihadapkan dengan kepentingan bersama.
Dengan demikian, mitigasi risiko sosial akan berada pada seputar pertanyaan dengan pilihan yang kontradiktif, yaitu akan melanjutkan kebijakan yang telah dipilih atau tidak? Apa risiko selanjutnya diantara pilihan tersebut (bagi masyarakat Jerman dan/atau pengungsi)? dan bagaimana upaya integrasi sosial antara masyarakat dan pengungsi dapat meliputi konsiderasi terhadap kepentingan pribadi dan bersama?
Referensi
Batchelor, Tom. 2015. German Policy Chief Warns of Security Threat from Thousands of Migrants Entering Europe, dalam http://www.express.co.uk/news/world/615642/Migrant-crisis-security-threat-German-police-chief, diakses pada 03/01/2016 pukul 19.04.
INFORM. 2017. Index for Risk Management: Results, dalam http://www.inform-index.org/,
diakses pada 03/01/2017 pukul 19.33.
Kern, Soeren. 2015. Germany: Migrants In, Germans Out. Gatestone Institute.
Kern, Soeren. “Germany’s New “Integration Law”.” Gatestone Institute. Diakses pada 04 Januari 2017. https://www.gatestoneinstitute.org/8145/germany-integration-law.
Kirschbaum, Erik, Shalal, Andrea. 2016. Merkel Admits Mistakes Made in Germany, EU with Refugee Crisis. Germany: Reuters.
Huggler, Justin, Rothwell, James. 2016. Berlin Terror Attack: Tunisian Suspect was
Investigated Over Earlier Terror Plot, dalam http://www.telegraph.co.uk/news/2016/12/20/berlin-market-attack-suspect-named-23-year-old-asylum-seeker/, diakses pada 03/01/2016 pukul 19.07.
Robinson, Julian. 2016. Angela Merker under more Pressure over Refugee Policy as it is Revealed Migrants Committed 142. 500 Crimes in Germany during the First Six Months of 2016, dalam http://www.dailymail.co.uk/news/article-3893436/Angela-Merkel-pressure-refugee-policy-revealed-migrants-committed-142-500-crimes-Germany-six-months-2016.html, diakses pada 03/01/2016 pukul 00.38.
UNHCR. 2013. Temporary humanitarian admission programme for Syrian refugees (THAP). Berlin.
_______. 2014. Risk Analysis and Monitoring – Refugee Emergencies, dalam https://emergency.unhcr.org/entry/53463/risk-analysis-and-monitoring-refugee-emergencies, diakses pada 01/01/2017 pukul 4.35.