Kebijakan Maritime Silk Road dalam One Belt One Road Tiongkok

Pada tahun 2013, Presiden Tiongkok, Xi Jinping, mengumumkan gagasan One Belt One Road (OBOR). OBOR adalah inisiasi strategi geopolitik Tiongkok dengan pemanfaatan jalur transportasi dunia sebagai jalur perdagangan yang tersebar di kawasan Eurasia. Adapun visi OBOR adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan perwujudan modernisasi Tiongkok di tahun 2020 dengan meningkatkan intensitas perdagangan dengan penyediaan fasilitas infrastruktur, baik darat maupun laut, yang memadai diseluruh kawasan yang ditargetkan (Kemendag, 2016:10). Terdapat 5 (lima) tujuan utama OBOR, yaitu koordinasi kebijakan; konektivitas fasilitas; perdagangan bebas; integrasi finansial, dan; ikatan antar masyarakat. Terdapat dua komponen utama dalam OBOR, yaitu transportasi darat dan laut. Transportasi darat disokong oleh Sabuk Jalur Sutra Ekonomi (Silk Road Economic Belt), sedangkan Jalur Sutra Maritim (MSR) berperan sebagai penyokong transportasi laut.

        MSR berperan sebagai salah satu instrumen yang menghubungkan Tiongkok dengan negara Asia hingga Eropa. Titik jalur trans-regional MSR akan menghubungkan rute darat dan laut dan mengembangkan jaringan infrastruktur di kawasan Eurasia. Perencanaan kerjasama strategis ini juga mencakup beberapa negara kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, Afrika, dan Eropa. Jakarta termasuk sebagai salah satu titik penting dalam menghubungkan perdagangan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara. Inisiasi MSR ini bersifat inklusif, yang berarti bahwa setiap pihak yang terlibat dapat membentuk MSR sehingga sesuai dengan kepentingan ekonomi mereka. Bagi Indonesia, MSR akan berpotensi besar untuk meningkatkan tren perdagangan dan sejalan dengan agenda Indonesia untuk menjadi PMD.

        Rute MSR dimulai dari Quanzhou, Tiongkok hingga ke Rotterdam, Belanda. Sedangkan rute darat dimulai dari Luoyang hingga ke Hamburg, Jerman. Terdapat 5 (lima) jalur konektivitas dari MSR, yaitu:

  1. Menghubungkan Tiongkok ke Eropa melalui Asia Tengah dan Rusia
  2. Menghubungkan Tiongkok dengan Timur Tengah melalui Asia Tengah
  3. Menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Samudera Hindia
  4. Menghubungkan Tiongkok dengan Eropa melalui Laut Tiongkok Selatan dan Samudera Hindia
  5. Menghubungkan Tiongkok dengan Samudera Pasifik Selatan melalui Laut Tiongkok Selatan

     Rute transportasi MSR didukung oleh insfratruktur jalur laut dengan pelabuhan yang memadai di setiap titiknya. Kualitas infrastruktur sangat berdampak pada biaya transportasi, maka dari itu Tiongkok pun menggencarkan pembangunan infrastruktur yang memadai. Singkatnya, kualitas infrastruktur yang baik akan memudahkan transportasi barang, yang kemudian menyebabkan menurunnya biaya transportasi, dan berdampak menurunnya biaya barang (Kemendag, 2016:13).

 

           Dapat dilihat pada peta diatas bahwa proyek yang dicanangkan untuk masing-masing negara berbeda-beda. Indonesia termasuk dalam jalur MSR yang terbaru (21st Century Maritime Silk Road), sedangkan negara lainnya seperti Kazakhstan dan Uzbekistan termasuk dalam projek pembangunan jalur pipa yang menyalurkan minyak dan gas alam, yang merupakan jalur Sabuk Jalur Sutra Ekonomi. Hampir seluruh projek-projek tersebut sepenuhnya didanai oleh Asian Infrastructure Investment Bank  (AIIB) dan The Silk Road Fund, yang berinvestasi pada projek di setiap negara terkait. The Silk Road Fund telah menyiapkan 40 milyar USD khusus untuk mendanai proyek tersebut. Ketersediaan dana dan tekad Tiongkok menjadi pendorong kuat dalam merealisasikan MSR (Kemendag, 2016:11). Namun di sisi lain, dengan adanya developing dan less-developed countries dalam inisiasi ini, pembangunan projek di negara tersebut akan sangat bergantung pada investasi Tiongkok.

       Untuk memenuhi strategi kawasan ini, Tiongkok mengerahkan berbagai kerjasama bilateral dengan setiap negara yang ditargetkan. Mekanisme bilateral memang tergolong lebih mudah diimplementasikan, karena lebih cepat untuk direalisasikan, namun kerjasama bilateral yang demikian dilakukan Tiongkok saling bertumpangtindih dan menghasilkan apa yang disebut dengan “noodle bowl syndrome” atau yang disebut juga dengan “spaghetti bowl effect”, yaitu keadaan dimana seiring banyaknya perjanjian kerjasama bilateral, maka semakin rumit pula aturan dan resikopun semakin besar.

Referensi

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2016. Laporan Akhir Maritime Silk Road. Jakarta.

Nur Yasmin