REVISI RUU TNI: Menjaga Stabilitas Negara atau Mengembalikan Dwi Fungsi TNI?
Jakarta – Pada 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan dan menetapkan Revisi Undang Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 yang membahas terkait Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan tugasnya melewati undang-undang Republik Indonesia. Pembahasan mengenai RUU TNI ini telah dimulai sejak Februari 2025 dan melibatkan banyak elemen pemerintah maupun sipil. Adanya perubahan ini dikarenakan kekhawatiran pemerintah akan peran TNI di tengah ancaman keamanan kontemporer yang makin kompleks, seperti kejahatan transnasional, serangan siber, dan ancaman terorisme. Namun, dibalik niat pemerintah untuk memperkuat pertahanan negara, revisi ini telah menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya militer ke ranah sipil, hal yang dianggap sebagai hilangnya atau ancaman terhadap demokrasi yang telah dibangun pada aksi Reformasi 1998 yang telah membatasi peran TNI dalam politik praktis.

Kritik terhadap revisi undang undang ini datang dari berbagai pihak masyarakat, mulai dari aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), hingga masyarakat sipil yang memiliki rasa trauma dari dominasi militer pada masa Orde baru (Orba). Banyak organisasi masyarakat menilai bahwa perubahan UU TNI ini dapat berpotensi untuk menjadi kemunduran bagi demokrasi, terutama jika pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas kepada militer dalam operasi keamanan dalam negeri tanpa adanya pengawasan yang transparan dan fleksibel.
Pada 11 Maret 2025 Komisi I DPR secara resmi mengesahkan pembentukan Panitia Kerja (Panja) RUU TNI, keanggotaan ini diisi oleh 18 individu yang berasal dari berbagai Fraksi; 4 dari Fraksi PDI-P, 3 dari Fraksi Golkar, 2 dari Fraksi NasDem, 1 dari Fraksi PKB, 2 dari Fraksi PAN, dan 1 dari Fraksi Demokrat. Setelah dibuatnya pantia kerja (Panja) oleh Komisi I DPR RI, komisi tersebut mengadakan rapat panita kerja (panja) pada 14-15 Maret 2025 di suatu hotel bintang lima, yaitu Fairmont Hotels yang berada di Senayan, Jakarta. Rapat tersebut berlangsung maraton dan tertutup bahkan berlangsung hingga malam hari sehingga para anggota dewan harus menginap di hotel tersebut. Rapat tersebut membahas beberapa klausul-klausul yang ada di dalam RUU TNI, adapun beberapa poin penting klausul-klausul Revisi Undang Undang ini adalah:
1. Kedudukan TNI
Sufmi Dasco Ahmad Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan DPP Partai Gerinda menyebutkan bahwa pasal 3 yang mengatur mengenai kedudukan TNI terutama ayat 2 yang menyebutkan: “Kebijakan dan Strategi pertahanan, serta dukungan administrasi yang berkaitan dengan aspek Perencanaan Strategis TNI itu berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan.” Ini dapat mengakomodasi administrasi TNI yang lebih strategis dan lebih terata.
2. Penambahan Kewenangan dan Tugas TNI
UU TNI Pasal 7 Ayat 2 yang mengatur tentang kewenangan dan tugas TNI juga mengalami revisi. TNI yang sebelumnya memiliki 14 tugas pokok diubah menjadi 16. Dua tugas pokok yang ditambahkan adalah; Pertama, TNI kini memiliki kewenangan untuk membantu dan menanggulangi ancaman siber. Kedua, TNI dapat melindungi dan menyelamatkan warga negara Indonesia serta kepentingan nasional di luar negeri. Penambahan dua tugas pokok ini diharapkan dapat mampu adaptasi dan meningkatkan peran strategis TNI dalam menghadapi ancaman global yang makin kompleks.
3. Perluas Pos Jabatan Sipil untuk Prajurit Aktif
UU TNI pasal 47 yang mengatur pos jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI aktif juga mengalami revisi. Sebelumnya TNI hanya dapat menduduki 10 lembaga / Kementerian, namun revisi ini mengubah menjadi 14 lembaga / kementerian yang dapat diduduki prajurit aktif TNI. Lembaga baru yang dapat diduduki oleh TNI antara lain adalah Badan Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terrorisme, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).
4. Perpanjangan Usia Pensiun
Pasal lain yang direvisi juga adalah Pasal 53 UU TNI yang membahas tentang usia pensiun prajurit TNI. Sebelumnya pasal 53 menyebutkan bahwa usia pensiun TNI paling tinggi adalah 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama. Namun revisi undang undang mengatur sejumlah perubahan yang diantara lain adalah
- Ayat 1 yang menyebutkan prajurit melaksanakan dinas hingga batas masa pensiun.
- Ayat 2 yang mengatur ketentuan rinci usia pensiun dimana usia pensiun tamtama dan bintara diubah menjadi 55 tahun, perwira sampai dengan kolonel 58 tahun, perwira tinggi bintang satu 60 tahun, perwira tinggi bintang dua 61 tahun, dan perwira tinggi bintang tiga 62 tahun.
- Ayat 3 yang mengatur bahwa prajurit aktif yang menduduki jabatan fungsional dapat melaksanakan dinas keprajuritan hinga usia 65 tahun.
- Ayat 4 menyebutkan bahwa perwira tinggi bintang empat dapat memperpanjang masa dinasnya sesuai dengan kebijakan dan arahan presiden.
Kritik dan Pasal Bermasalah
Dilansir dari CNN dan Amnesti International, pada saat berlangsungnya rapat pantia kerja (panja) terdapat aksi penolakan dari organisasi masyarakat Koalisi Reformasi Sektor Keamanan. Andrie Yunus Koordinator Komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan (KontraS) dan 2 orang anggota lainnya mengeruduk rapat yang tengah berlangsung tersebut. Mereka dengan tegas menyatakan penolakan terhadap pembahasan dan substansi revisi UU TNI tersebut.
Koalisi ini menilai bahwa RUU TNI masih mengandung pasal yang dianggap bermasalah. Pertama, RUU TNI pasal 47 mengenai perluasan TNI pada lembaga sipil adalah bentuk dari dwifungsi TNI. Perluasan jabatan di bidang Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah penempatan yang tidak tepat karena TNI yang seharusnya menjadi pertahanan negara mendapatkan tempat dan fungsi sebagai aparat penegak hukum. Koalisi ini menilai bahwa RUU ini seharusnya mengurangi jabatan TNI aktif di lembaga / kementerian sipil. Koalisi ini juga mendesak untuk semua prajurit TNI yang berada diluar 10 lembaga yang diperbolehkan pada pasal 47 ayat 2 harus mundur salah satu nama yang koalisi ini kritik adalah Letkol Teddy Indra Wijaya yang menurut koalisi ini telah melanggar ketentuan dalam UU TNI mulai dari terlibat kampanye politik hingga pengangkatannya menjadi Sekretaris Kabinet Merah Putih.
Koalisi ini juga menilai bahwa RUU TNI pasal 7 juga menyimpang dikarenakan banyaknya penambahan tugas operasi militer selain perang yang terlalu meluas seperti penanganan masalah narkotika yang seharusnya dilaukan oleh penegak hukum dan bukan TNI. Koalisi ini menilai penanganan narotika harusnya dilakukan dengan menekankan aspek medis dan dilakukan proporsional bukan represif. Koalisi ini berpendapat bahwa perlibatan TNI dapat menyebabkan peneganan narkotika menjadi “war model” dan bukan “criminal justice system model” lagi, hal ini menjadi berbahaya dikarenakan dapat membuka potensi untuk kekuasaan yang berlebihan.
Bukan hanya penambahan kekuasaan yang meyimpang, Pasal 7 ayat 2 ini juga menyebutkan bahwa perlibatan militer dalam operasi militer selain perang juga tidak lagi memerlukan persetujuan DPR. Koalisi ini berpendapat bahwa hal ini dapat menyebabkan konflik kewewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya bagi aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah dalam negeri.
Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga membuat petisi untuk menolak revisi RUU TNI. Petisi ini bersisi tentang pasal pasal revisi yang bermasalah berdasarkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang diajukan oleh pemerintah. Petisi penolakan RUU TNI ini telah mendapatkan atensi yang besar melewati sosial media, dilansir dari Kompas sejak 20 Maret 2025, bahwa sudah ada 29.554 warga yang sudah menandatangani petisi yang menolak RUU TNI tersebut.
Kritik dan penolakan bukan hanya dari organisasi masyarakat namun juga dari Mahasiswa dimana pada tanggal 19 Maret hingga 20 Maret 2025 mereka menolak adanya Revisi Undang – Undang TNI dan menyebutkan bahwa uang pajak yang berasal dari rakyat telah digunakan oleh pemerintah secara sewenang-wenangnya. Menurut mahasiswa, ada kemungkinan dimasa depan uang pajak tersebut akan digunakan untuk merampas hak rakyat.
Dampak Internasional
Dilansir dari Reuters, keikutsertaan militer terhadap diplomasi keamanan yang akan membuka banyak kerjasama internasional dan membuka peluang aliansi militer dan partisipasi internasional bagi Indonesia. Tetapi di satu sisi, ini akan menciptakan ketegangan regional dan dapat mengubah citra demokrasi Indonesia di dunia. Militerisasi politik dapat memengaruhi pandangan negara lain terhadap Indonesia dimana ruang demokrasi negara kita semakin sempit. Seperti yang kita ketahui, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sangat mengutamakan prinsip demokrasi mereka yang kokoh dalam melakukan hubungan internasional.
Dikutip dari The Guardian TNI juga akan terlibat dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Langkah ini ditakutkan dapat membuka intervensi militer yang akan menghambat kerjasama antarnegara. Di Asia Tenggara, Indonesia akan lebih fokus dalam masalah keamanan dan mengahadapi isu seperti sengketa Laut China Selatan. Selain keamanan, kebijakan ekonomi juga akan terpengaruhi oleh RUU TNI. Investor asing dan negara-negara mitra ekonomi akan berpikir dua kali untuk menjalin kerjasama karena stabilitas ekonomi dan politik yang akan berbeda dan potensi risiko yang besar.
Kesimpulan
Revisi Undang Undang TNI ini yang bertujuan untuk meningkatkan peran strategis militer dalam menghadapi tantangan global juga menimbulkan kehawatiran akan potensi akan kesimpangan, penyalahgunaan kekuasaan, kemunduran demokrasi, dan tumpang tindih kewewengangan dengan lembaga sipil. Berbagai kritik telah menunjukan pentingnya pengawasaan ketat terhadap implementasi undang – undang ini agar tidak menghilangkan prinsip – prinsip demokrasi yang telah dibangun sejak 1998.