Krisis Kehidupan Perempuan di Afghanistan akibat Pemerintahan Taliban
Peran Wanita Afghanistan yang Terkurung dalam Masyarakat
Kasus-kasus hak asasi manusia telah ada selama beberapa dekade. Kejahatan terhadap nyawa manusia, penindasan, dan kekerasan tidak dianggap tabu. Pada kenyataannya, kasus-kasus criminal serta kasus-kasus hak asasi manusia tidaklah berbeda, namun memiliki prinsip-prinsip dan prosedur hukum yang sama yang harus diikuti. Perdagangan manusia, kekerasan terhadap perempuan, dan pembantaian menjadi sekian banyak masalah yang berkaitan dengan kasus-kasus hak asasi manusia. Hal ini terjadi pada wanita yang berada di Afghanistan.
Afghanistan menjadi salah satu negara yang terdapat kekerasan terhadap perempuan sehingga permasalahan ini menjadi signifikan. Wanita adalah korban terbesar dari efek ini karena banyaknya contoh diskriminasi dan konflik yang sedang berlangsung di negara Afghanistan. Akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja sangat terbatas. Selain itu, perempuan di Afghanistan menjadi korban kekerasan, termasuk pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, dan perdagangan perempuan. Kesempatan mereka untuk mendapatkan akses keluar menjadi sangat terbatas. Bahkan untuk memiliki pekerjaan merupakan suatu hal yang mustahil bagi mereka.
Beberapa raja dan politisi Afghanistan kehilangan nyawa dan posisi mereka sebagai akibat dari perjuangan hak-hak perempuan, menurut bukti sejarah (Ahmed-Ghosh, 2003). Kehidupan mayoritas perempuan dan laki-laki di Afghanistan dibentuk oleh interaksi antara Islam, budaya, dan agama. Melalui ajaran sekularisme, kebangsaan, etnisitas, faktor sejarah, sosial, dan ekonomi. Norma-norma gender di Afghanistan secara historis didorong oleh faktor politik, sosial, ekonomi, geografis, dan sejarah, yang memiliki dampak signifikan terhadap akses perempuan terhadap hak-hak demokratis dan kewarganegaraan yang setara. Diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan terjadi di mana-mana selama rezim Taliban. Setiap manusia yang merdeka memiliki hak dasar untuk bekerja, pendidikan, dan perawatan kesehatan, yang semuanya ditolak oleh perempuan (Rafii et al., 2022).
Hal yang terjadi setelah Taliban berhasil mengambil alih Afghanistan, yang seharusnya dapat memperbaiki situasi perempuan di negara tersebut menjadi sebaliknya. Pada saat Taliban mengambil alih kekuasaan, kehidupan perempuan Afghanistan semakin terpuruk karena mereka tidak diberi kebebasan untuk bekerja di sektor publik. Perempuan Afghanistan dikurung di rumah secara paksa. Kegiatan yang sebelumnya dilakukan dengan lumrah, menjadi terlarang akibat adanya peraturan ketat yang mengarah pada kebebasan perempuan. Ketika Taliban terus melarang wanita dari kehidupan public, terdapat beberapa Wanita yang menyuarakan pendapat mereka terkait peraturan yang tercipta. Namun, yang mereka dapatkan hanyalah ancaman yang mengarah pada kematian.
Kekerasan terhadap perempuan di Afghanistan menjadi lebih buruk oleh norma-norma masyarakat yang merugikan perempuan dan lemahnya penegakan hukum di negara tersebut. Menurut data Universitas Dinamika Bangsa (UNAMA), terdapat tujuh kebiasaan yang merugikan perempuan di Afghanistan. Tujuh hal tersebut termasuk kawin paksa, Baad yang merupakan Tradisi tradisional di Afghanistan untuk menyelesaikan sengketa antara suku Pashtun dengan suku-suku lain, pernikahan di bawah umur, mahar yang tinggi, pemaksaan menjanda, hak waris, serta pembatasan hak-hak perempuan. Kelanjutan dari adat istiadat kuno ini mempengaruhi kehidupan perempuan dan dapat membahayakan hak asasi dan kemerdekaan mereka.
Menurut Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), kekerasan terhadap perempuan merupakan penghalang bagi partisipasi perempuan dalam kesetaraan dasar dengan laki-laki dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kesetaraan hak dan penghormatan terhadap martabat dan nilai kemanusiaan perempuan dan laki-laki di bidang politik, sosial, budaya, dan ekonomi negara. Selain menambah kesedihan akan potensi perempuan untuk mengabdi pada bangsa dan kemanusiaan, hal ini selalu menjadi penghalang bagi kemakmuran masyarakat.
konvensi telah disahkan, negara diharuskan untuk membela hak-hak semua perempuan di negara mereka. Kekerasan fisik adalah bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi terhadap perempuan di Afghanistan. Diskriminasi terhadap perempuan Afghanistan menunjukkan rendahnya penghargaan terhadap perempuan, yang dianggap sebagai masalah yang serius untuk ditindak.
References:
Detikcom, T. (2024, August 28). Perempuan Afghanistan semakin dibungkam Taliban. Detiknews. https://news.detik.com/internasional/d-7513980/perempuan-afghanistan-semakin-dibungkam-taliban
Hasrat-Nazimi, W. (2024, August 28). Taliban semakin bungkam perempuan Afganistan lewat UU baru. dw.com. https://www.dw.com/id/taliban-semakin-bungkam-perempuan-afganistan-lewat-uu-baru/a-70060366
Hussaini, A. (2024, August 29). Afghanistan: Taliban larang perempuan bersuara dan perlihatkan wajah di tempat umum. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cn4927xx774o
Mistika, G., & Nurhasanah. (n.d.). View of DISKRIMINASI LEMBAGA LEGITIMASI SURVIVORS OF GENDER-BASED VIOLENCE (SGBV) TERHADAP HAK KEBEBASAN PEREMPUAN DI AFGHANISTAN. https://sophisticated.fusa.uinjambi.ac.id/index.php/ppi_uinjambi_2022/article/view/2/1
Ndruru, T. T. H. (2023). KEKERASAN DAN PENINDASAN TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN DI AFGHANISTAN. Upbatam. https://www.academia.edu/106410635/KEKERASAN_DAN_PENINDASAN_TERHADAP_HAK_HAK_PEREMPUAN_DI_AFGHANISTAN