Mengingat Kembali Sejarah Pembantaian Srebrenica

Latar Belakang

Duka yang mendalam pernah menyelimuti Kota Srebrenica, Bosnia dan Herzegovina. Hal tersebut dilatarbelakangi pada peristiwa genosida pembunuhan massal yang dilakukan secara brutal kepada masyarakat sipil muslim Bosnia. Bagaimana tidak, masyarakat sipil muslim Bosnia, yang bisa dikatakan tidak bersalah, pada akhirnya dibunuh tanpa ampun dengan keji. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh konflik perebutan kekuasaan hingga wilayah (Reditya, 2021). Dalam hal ini, terdapat sisi Republik Sosialis Bosnia dan Herzegovina yang ingin memproklamasikan kemerdekaannya. Di sisi lain, ada suatu dominasi yang dilakukan pada Bosnia, baik dari segi ekonomi maupun politik, yang didalangi oleh Serbia. Lalu, adanya perbedaan pada etnis, agama sampai letak posisi strategis yang dimiliki Bosnia, baik secara ekonomi maupun  politik,  juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya tragedi pembantaian massal ini (Prabowo, 2020).

(Spanduk mengenai tragedi pembantaian Srebrenica di jembatan sebagai pengingat) Sumber: Pinterest

 

Hukum-hukum yang dilanggar oleh Serbia

Aksi pembantaian yang dilakukan oleh Pasukan Serbia telah melanggar hukum HAM (Hak Asasi Manusia) dan tuntutan dijatuhkan kepada pimpinan tentara Serbia Ratko Mladic atas dasar kejahatan perang yang terjadi di Bosnia. Pengadilan Kejahatan Perang PBB menyatakan Ratko Mladic bersalah atas kejahatan yang telah dilakukannya. Selain itu, Mladic juga mendapatkan julukan “Jagal dari Bosnia”.  Hakim menyatakan Ratko divonis atas dasar 10 dari 11 tuduhan, yaitu pembunuhan, pemukulan, dan pemerkosaan yang menyebabkan 100.000 orang tewas, 2,2 juta pengungsi, dan sebanyak 8.000 anak laki-laki dan pria muslim terbunuh. Oleh karena itu, tiga hakim pengadilan internasional PBB menjatuhkan hukuman untuk Ratko Mladic hukuman penjara seumur hidup. Keputusan tersebut disambut dengan baik oleh masyarakat muslim Bosnia karena pada akhirnya mereka mendapatkan keadilan atas apa yang terjadi pada mereka beberapa tahun sebelumnya (Deutsche Welle, 2017). Setelah hakim menjatuhkan keputusannya Mladic mengajukan banding ke pengadilan  Den Haag, Belanda, tetapi hakim Prisca Matimba Nyambe menolak seluruh pengajuan banding Ratko Mladic (Utomo, 2021).

Empat orang mantan tentara Serbia juga ikut divonis atas pelanggaran HAM berat yang mereka lakukan di bawah komando Ratko Mladic, vonis penjara 43 tahun dijatuhkan oleh hakim kepada Stanko Kojic, 19 tahun ke Vladimir Golijan, dan 40 tahun ke Franc Kos dan Zoran Goronja. Jaksa penuntut mengatakan bahwa Ratko Mladic menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat terjadi pembantaian etnis muslim Bosnia (VOA Indonesia, 2012). Selain itu, Serbia telah melanggar hukum humaniter internasional karena tindakan pembantaian yang dilakukan terhadap etnis muslim Bosnia merupakan pelanggaran kemanusiaan yang juga terkandung dalam konvensi Jenewa 1949 dan termasuk dalam kejahatan perang yang diatur dalam hukum humaniter. Pembantaian Srebrenica dikategorikan sebagai pelanggaran berat karena tujuan dari pembantaian ini adalah untuk memusnahkan kelompok Muslim Bosnia (Mumtazinur, 2018). Hukum Den Haag secara lebih rinci menjelaskan seorang komando bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi selama perang berlangsung, dijelaskan dalam Pasal 3 Konvensi Den-Haag ke-IV mengenai hukum dan kebiasaan perang darat bahwa tanggung jawab yang terjadi selama perang secara langsung maupun tidak ditanggung oleh komandan perang (Mewoh, 2019). 

(Beberapa pengungsi korban pembantaian Srebrenica) sumber: CNNIndonesia.com

 

Kronologis

Pada dasarnya, hal ini terjadi atas dasar pembersihan etnis, di mana saat itu lebih dari 7000 anak-anak dan laki-laki dibunuh oleh pasukan Bosnia di Srebrenica, sebuah kota di timur Bosnia pada Juli 1995. Pembersihan etnis merupakan upaya untuk menciptakan wilayah geografis yang homogen secara etnis melalui deportasi atau pemindahan paksa orang-orang yang termasuk kedalam kelompok etnis tertentu. PBB menerima kenyataan bahwa terjadi kegagalan untuk melindungi pria, wanita, dan anak-anak Bosnia di Srebrenica yang terjadi pada tahun 1995. Sehingga, hal ini membuat Dewan Keamanan PBB secara resmi menetapkan “safe area” dengan bantuan perlindungan dari tentara Helm Biru dari Batalyon Belanda atau “Dutchbat”. Meskipun Dewan Keamanan PBB telah mengirim bantuan perlindungan, unit tentara ini masih relatif kecil dan dilengkapi persenjataan yang hanya bisa digunakan untuk perlindungan diri. 

Pada 6 Juli 1995, pasukan Serbia Bosnia kembali menyerang Srebrenica dengan sungguh-sungguh. Dibanding dengan kekuatan tentara Serbia Bosnia saat itu, pasukan PBB memutuskan untuk menyerah atau mundur ke kota. Pembantaian kembali berlangsung di kemudian hari, saat para pengungsi Muslim menaiki bus untuk evakuasi, pasukan Serbia Bosnia memisahkan dan mengambil pria dan anak laki-laki dari keramaian untuk ditembak. Ribuan orang kembali dieksekusi dan dikuburkan secara massal dengan buldoser, bahkan beberapa ada yang dikubur hidup-hidup sementara beberapa orang dewasa dipaksa untuk menyaksikan anak-anak mereka dibunuh.

(Mengingat kembali tragedi berdarah pembantaian Srebrenica setelah 27 tahun) Sumber: EuroNews

 

Total korban jiwa diperkirakan mencapai 7000 orang pria yang dieksekusi di Sungai Drina, bersamaan dengan banyaknya kasus pemerkosaan serta kekejaman lainnya menjadikan peristiwa berdarah ini sebagai pembunuhan massal terbesar di Eropa setelah Perang Dunia Kedua (Arnauld & Buszewski, 2013). Pembantaian massal ini pun dinyatakan oleh ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) dan ICJ (International Court of Justice) sebagai aksi genosida. Diperkirakan bahwa sekitar 20 ribu orang Bosnia telah diusir dari wilayah tersebut. Setelah berakhirnya peristiwa pembantaian tersebut, berbagai macam reaksi serta kecaman dari komunitas internasional amatlah beragam dalam merespon tragedi ini. Menyoroti kegagalan dari PBB serta pemerintahan Belanda dalam menangani kasus ini dan kegagalannya dalam melindungi para korban, Kofi Annan selaku sekretaris Jenderal PBB kala itu menyatakan dalam laporannya pada tahun 1999 yang mana dirinya mengakui bahwa PBB telah gagal dalam menolong orang-orang Srebrenica dalam peristiwa pembantaian ini. Selain mencoreng reputasi PBB, tragedi ini juga mencoreng nama Belanda karena kelalaiannya dalam menjalankan tanggung jawabnya untuk menangani kasus ini (Arnauld & Buszewski, 2013).

Dalam merespon kasus ini pada level internasional, Bosnia dan Herzegovina pun membawa kasus ini kepada pengadilan ICJ dan menuntut pertanggung jawaban FRY (Federal Republic of Yugoslavia) terkait dengan pembantaian yang dilakukan oleh VRS (Army of Republika Srpska). Pada awalnya ICJ mempertimbangkan tuntutan ini dikarenakan belum adanya bukti secara konkrit yang mengaitkan keterlibatan FRY dalam pembantaian ini atau memegang kontrol terhadap aksi yang dilakukan oleh VRS. Namun pada akhirnya, ICJ tetap menekankan pertanggungjawaban FRY karena kegagalannya dalam mencegah peristiwa ini terjadi (hal ini disebabkan karena FRY tidak menggunakan pengaruh politiknya untuk menghentikan aksi yang dilakukan oleh VRS). Dengan berdasar pada Article I Genocide Convention, FRY dinyatakan bersalah karena tidak menjalankan obligasinya sebagai negara untuk melakukan pencegahan terhadap aksi genosida dan kurang bekerja sama dengan ICTY untuk merespon peristiwa ini. Pada tahun 2009, Parlemen Eropa menetapkan tanggal 11 Juli sebagai hari peringatan akan pembantaian Srebrenica. Serbia sendiri kian menyangkal keterlibatan negaranya dalam aksi genosida tersebut walaupun Ratko Mladić serta Radovan Karadžić (penjahat perang yang turut andil dalam pembantaian Srebrenica) telah ditahan dan diadili dalam The Hague Tribunal (Arnauld & Buszewski, 2013; Biserko, 2012).

 

Author: Tim Politics IRB News

Editor: Dustin Rashidi Hasan, Hafsyah Azzahra, Jennifer Clara Aprilia & Viranty Yulia Putri

 

Referensi:

von Arnauld, A., & Buszewski, S. (2013). Modes of Legal Accountability: The Srebrenica     Example. Die Friedens-Warte, 88(3/4), 15–44. http://www.jstor.org/stable/23774049

Biserko, S. (2012). The Srebrenica Genocide: Serbia in Denial. Pakistan Horizon, 65(3), 1–6. https://doi.org/https://www.jstor.org/stable/24711409

Deutsche Welle. (www.dw.com). (2017). Pembantai Muslim Bosnia Dihukum Seumur Hidup. DW.COM. https://www.dw.com/id/pembantai-muslim-bosnia-dihukum-seumur-hidup/a-41486505

Mewoh, S. (2019). TANGGUNG JAWAB KOMANDAN AKIBAT KESALAHAN YANG DILAKUKAN BAWAHAN MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL1. Lex Et Societatis, 7(7), 159–168.

Mumtazinur, M. (2018). Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (Konvensi Jenewa 1949) Studi Kasus : Pelanggaran HAM Berat untuk Bekas Negara Yugoslavia. Jurnal Dusturiah, 8(2), 117–118.

NBCUniversal News Group. (2005). Bosnia agonizes over release of Massacre Video. NBCNews.com. Retrieved May 19, 2022, from https://www.nbcnews.com/id/wbna8085091 

Prabowo, G. (2020). Terjadinya Perang Bosnia (1992–1995). KOMPAS.Com.https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/05/140422469/terjadinya-perang-bosnia-1992-1995

Reditya, T. H. (2021). 11 Juli 1995: Pembantaian Srebrenica Tewaskan Ribuan Muslim Bosnia. KOMPAS.Com. https://www.kompas.com/global/read/2021/07/11/112957770/11-juli-1995-pembantaian-srebrenica-tewaskan-ribuan-muslim-bosnia?page=all

VOA Indonesia. (2012). Pengadilan Bosnia Hukum Berat 4 Tersangka Pembantaian Srebrenica. VOA Indonesia. Retrieved May 17, 2022, from https://www.voaindonesia.com/a/pengadilan-bosnia-jatuhi-hukuman-berat-kasus-srebrenica/1211814.html

IRB News - Politics