Qanun, Qanun Jinayat, dan Permasalahannya
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengimplementasikan syariat islam baik dalam kehidupan sehari-hari maupun peraturan yang berlaku. Dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Istimewa Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No. 11 Tahun 2006 sebagai pengganti UU No.18 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Aceh oleh pemerintah pusat menjadikan ketiga Undang-Undang tersebut sebagai payung hukum dari pelaksanaan syariat islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) (Fauzi, 2012).
Selain berisi tentang pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006 juga mengatur syari’at islam dan Mahkamah Syar’iyyah yang tertuang dalam Pasal 125–137. Berdasarkan UU tersebut pula, dijabarkan mengenai pelaksanaan syariat islam di Aceh yang meliputi aqidah, syari’at, dan akhlak. Ketiga bidang tersebut memiliki bidang turunan yang terdiri dari bidang ibadah, ahwal al-shakhsiyyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qada (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi’ar, dan pembelaan islam (Fauzi, 2012).
Pemberian kewenangan dalam pelaksanaan syariat islam di Provinsi NAD kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan melakukan legislasi. Tindaklanjut tersebut kemudian menghasilkan suatu peraturan daerah yang disebut Qanun (Fauzi, 2012). Qanun sendiri mengatur berbagai hal seperti sistem jaminan produk halal, pokok-pokok syariat islam, hukum jinayat, hukum acara jinayat, dan lain sebagainya (Dinas Syariat Islam Pemerintah Aceh). Dalam penerapannya, terdapat berbagai kecaman terkait dengan Qanun khusunya Qanun Jinayat (perda yang mengatur pidana islam).
Kecaman terhadap qanun jinayat ditujukan pada hukum cambuk dan qadzaf. Hukum cambuk dinilai sebagai suatu pelangaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan Qadzaf dinilai dapat merugikan kaum perempuan. Dalam Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang dimaksud dengan qadzaf adalah menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang 4 (empat) saksi (Pemerintah Daerah Aceh, 2014). Hal tersebutlah yang dianggap dapat merugikan kaum wanita.
Hukum cambuk dianggap melanggar HAM sebab dalam jaminan perlindungan HAM dikatakan bahwa tidak boleh dilakukannya hukum yang kejam (Tempo.co, 2009). Hukum cambuk juga dianggap bertentangan dengan konvensi anti-penyiksaan (Yayasan Pemantau Hak Anak, 2014) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU No. 5 Tahun 1998. Dengan adanya hukum cambuk yang berlaku di NAD, membuat Indonesia dinilai melanggar konvensi tersebut, karena Indonesia dianggap tidak dapat mengambil langkah-langkah yang efekti untuk mencegah terjadinya penyiksaan di wilayah Indonesia (Institute for Criminal Justice Reform, 2012). Selain dianggap bertentangan dengan konvensi anti-penyiksaan, hukum cambuk nyatanya juga bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena dalam KUHP tidak mengenal adanya hukum cambuk sebagai salah satu jenis sanksinya (Fauzi, 2012).
Selain hukum cambuk, kecaman juga ditujukan kepada qadzaf yang dianggap merugikan perempuan serta berpotensi dapat menguatkan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Qadzaf dianggap merugikan perempuan sebab apabila seorang perempuan korban pemerkosaan atau zina melaporkan tindak tersebut, maka korban harus menghadirkan alat bukti dan minimal 4 (empat) saksi. Apabila korban tidak memiliki bukti, maka korbanlah yang akan dituduh melakukan tindakan tersebut (Deutsche Welle , 2017).
Kejamnya, pelaku terduga pemerkosaan dapat bebas dari jeratan hukum hanya dengan melakukan sumpah sebanyak 5 kali (Deutsche Welle , 2017), dengan sumpah pertama hingga keempat yang menyatakan bahwa tuduhan atas dirinya terkait pemerkosaan merupakan sebuah dusta, serta sumpah kelima yang menyatakan bahwa pelaku bersedia mendapatkan laknat Allah apabila ia berbohong atas sumpahnya (Pemerintah Daerah Aceh, 2014). Hal tersebut sangatlah merugikan kaum perempuan yang posisinya berada sebagai korban kasus pemerkosaan atau zina.
Atas dasar tersebutlah, banyak pihak yang menekan atau meminta pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali peraturan di Aceh. Selain pihak luar, beberapa warga Aceh sendiri sebenarnya merasa skeptis dan tidak setuju akan pemberlakuan qanun jinayat yang dinilai diskriminatif. Beberapa warga Aceh melihat bahwa qanun jinayat hanya berlaku bagi kasus-kasus yang melangar susila, padahal menurut mereka korupsi merupakan salah satu masalah serius di Aceh yang membuat kesejahteraan masyarakat Aceh tidak terwujud. Selain itu, mereka berpendapat bahwa perealisasian qanun jinayat tidak netral, sebab menurut mereka qanun jinayat tidak berlaku bagi pejabat dan hanya berlaku bagi segelintir orang. Para pejabat yang jelas-jelas melakukan tindaka asusila dan tertangkap basah tidak dijatuhi hukum jinayat dan bisa lolos dari jeratan hukum (Mazrieva, 2017).
Maka dapat dilihat bahwa Peraturan daerah (Perda) atau qanun yang diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menuai kecaman dari berbagai pihak termasuk warga Aceh sendiri. Kecaman tersebut ditujukan kepada hukum cambuk yang dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia, konvensi anti-penyiksaan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, serta bertentangan dengan KUHP, sebab dalam KUHP tidak terdapat jenis sanksi berupa hukuman cambuk.
Kecaman lain terkait dengan qanun adalah qadzaf yang dianggap dapat merugikan kaum perempuan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa korban pemerkosaan atau zina harus menyerahkan alat bukti dan saksi apabila akan melaporkan tindak pemerkosaan atau zina yang dialaminya. Apabila korban tidak dapat mengajukan alat bukti atau saksi, maka korbanlah yang akan dianggap melakukan tindak pemerkosaan tersebut. Selain itu, adanya pasal 55 yang berisi pelaku terduga pemerkosaan dapat bebas dari jerat hukum dengan menyatakan sumpah sebanyak 5 kali, membuat hal tersebut terasa seperti peraturan tersebut melindungi terduga pelaku pemerkosaan dan menelantarkan korban pemerkosaan.
Hukum jinayah juga dinilai tumpul ke atas dan tajam ke bawah, sebab hukum tersebut hanya diberlakukan bagi segelintir orang, tidak dengan pejabat yang secara jelas tertangkap basah tengah melakukan perbuatan asusila. Pejabat yang tertangkap basah tersebut dengan mudah lolos dari jeratan hukum dan tidak dijatuhi sanksi. Oleh sebab itu, ada baiknya pemerintah perlu mengkaji ulang peraturan yang ada di Aceh supaya tidak lagi terjadi kecaman-kecaman dari pihak luar serta pengkhusunya siapa saja yang patut dijatuhi hukuman.
Referensi
Deutsche Welle . (2017, Oktober Senin). Qanun Jinayah Aceh Rugikan Perempuan? Retrieved Maret Minggu, 2018, from http://www.dw.com/id/qanun-jinayah-aceh-rugikan-perempuan/a-41074165
Dinas Syariat Islam Pemerintah Aceh. (n.d.). Perdan dan Qanun. Retrieved Maret Minggu, 2018, from https://dsi.acehprov.go.id/
Fauzi, M. (2012). Problematika Yuridis Legislasi Syariat Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Al-Ahkam, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Volume 22, Nomor 1, April 2012 , 1-26.
Institute for Criminal Justice Reform. (2012, Mei Rabu). Konvensi Anti Penyiksaan. Retrieved Maret Minggu, 2018, from http://icjr.or.id/konvensi-anti-penyiksaan/
Mazrieva, E. (2017, Mei Rabu). Hukuman Cambuk di Aceh Picu Kontroversi. Retrieved Maret Minggu, 2018, from https://www.voaindonesia.com/a/aceh-hukum-cambuk-pasangan-gay-/3867986.html
Pemerintah Daerah Aceh. (2014). Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Aceh: Pemerintah Daerah Aceh.
Tempo.co. (2009, September Selasa). Komnad HAM : Hukuman Rajam Melanggar Hak Asasi Manusia. Retrieved Maret Minggu, 2018, from https://nasional.tempo.co/read/198139/komnas-ham-hukum-rajam-melanggar-hak-asasi-manusia
Yayasan Pemantau Hak Anak. (2014, Juni Satu). Melanggar Konvensi Anti-Penyoksaan, Penghukuman dalam Qanun Jinayat harus Dihentikan. Retrieved Maret Minggu, 2018, from http://www.ypha.or.id/web/?p=1337
Reporter : Syafira Farhani Ramadhanti | IRB NEWS
Editor : Intan Fatona | IRB NEWS