GEJOLAK INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA

Sumber: google.com

Industri perkebunan dan pengolahan kelapa sawit merupakan industri komoditas primadona sekaligus kunci utama bagi perputaran roda perekonomian Indonesia. Hampir 70% lahan perkebunan kelapa sawit terletak di Sumatera dan sekitar 30% lainnya berada di Kalimantan. Sebagai sektor penggerak nilai ekonomi, nilai ekspor industri ini sampai mencapai $18,1 Miliar atau sekitar Rp 240 Triliun. Bagaimana tidak, perkebunan sawit yang belum genap 1 tahun saja sudah dapat menghasilkan Rp 11,7 Triliun. Angka yang cukup fantastis bukan?

Sumber: google.com

Produktifitas produksi minyak kelapa sawit Indonesia memang cukup tinggi dengan angka 30 juta ton/ tahun dan 70% dari hasilnya di ekspor ke dunia untuk bahan dasar pembuatan produk sabun, sampo, pasta gigi, kebutuhan memasak di wilayah asia dan afrika, cokelat, dan lain-lain. Belum lagi, pada tahun 2020 nanti akan dinaikkan menjadi 40 juta ton/ tahun, menjadikan Malaysia harus berada di posisi kedua dengan 7,7 juta ton/ tahun, disusul Kolumbia dengan menyentuh angka 800 ribu ton/ tahun saja. Jika digabungkan, luas lahan perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia sekitar 12 juta hektar setara 1/3 luas wilayah Jerman bukan tidak mungkin, kedudukan Indonesia dan Malaysia mendominasi dengan 85%–90% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia yang paling efisien dibanding minyak nabati lain.

Namun sayangnya komoditas primadona ini hanya memenuhi konsumsi dalam negeri sekitar 7 juta ton/ tahun, padahal jika Indonesia dapat mengganti minyak kelapa sawit ini menjadi biodiesel –bahan bakar minyak nabati untuk kendaraan diesel– Pengganti solar, akan membantu mengurangi defisit neraca pembangunan akibat mengimpor migas sebesar $ 150 Juta/ hari, selain untuk kendaraan dapat digunakan di sektor industri dan pembangkit listrik, juga menghasilkan emisi yang lebih bersih. Pencampuran antara bahan bakar minyak dan biodiesel pada kendaraan pun akan ditingkatkan dari 7,5% kemudian naik menjadi 10% dan pada tahun 2016 akhirnya mencapai 20%.

Sumber: google.com

Sedikitnya ada enam masalah utama dalam industri kelapa sawit dalam negeri yaitu kepastian hukum, tata ruang, tumpang tindih regulasi lahan, bea keluar sawit yang tinggi, dan pembatasan kepemilihan hutan. Selain itu, sejak tanggal 4 April 2017 lalu, dengan adanya Resolusi Parlemen Eropa yang berjudul “Palm Oil and Deforestation of the Rainforests” dengan nama drive ‘Kateřina Konečná’ yang berasal dari partai komunis Ceko itu, agar tidak memasukkan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel di Uni Eropa tahun 2020 serta masalah embargo –Larangan, pembatasan– yang dilakukan oleh Parlemen Eropa akibat deforestasi global –Padahal konstribusi minyak sawit hanya 2,5%– sekaligus dikaitkan dengan isu korupsi, pelanggaran HAM, dituduhkan memperkerjakan anak-anak.

Dianggap pemerintah Indonesia sebagai tuduhan subjektif, diskriminatif karena data-data resolusi yang tidak akurat dan tidak mendasar. Padahal posisi Uni Eropa Champions of Open serta upaya Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 29% tahun 2030 seperti diabaikan saja dan dikhawatirkan akan mengganggu target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Maka dari itu, kebijakan baru akan segera ditetapkan terkait pemberian izin usaha baru di kawasan gambut dan hutan primer, serta melakukan penguatan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Sumber: google.com

Setelah kunjungan terakhir oleh Presiden François Mitterrand yang dilakukan sekitar 31 tahun lalu pada tahun 1986. Tanggal 29 Maret 2017 lalu, Presiden Perancis, François Hollande mengunjungi Indonesia. Pada kunjungannya ini, akan menjalin kerjasama dengan Indonesia pada berbagai sektor, termasuk sektor ekonomi kelapa sawit. Hal tersebut sangat diapresiasi oleh Presiden Joko Widodo, melihat bagaimana respon Negara Eropa terhadap industri kelapa sawit sebagai produk yang merusak lingkungan.

Pada tahun 2016, Prancis berencana mengenakan pajak terhadap produsen sawit impor yang masuk ke Negara tersebut secara bertahap. Untuk tahun 2017 sebesar 300 Euro/ton, tahun 2018 sebesar 500 Euro/ton, dan tahun 2019 sebesar 700 Euro/ton. Perancis akhirnya mendukung Indonesia untuk melawan tindakan diskriminatif bagi produk kelapa sawit. Indonesia pun terus berupaya agar produk kelapa sawit dapat terus diterima di Eropa.

 

Referensi

Afrianto, Dedy, 2017, Jokowi Apresiasikan Prancis Bantu Lawan Diskiriminasi Kelapa Sawit RI, Okezone Finance (http://economy.okezone.com), diakses 2 April 2017

Fajriah, Lily Rusna, 2017, Bukan Dimusuhi, Industri Sawit Harusnya Didukung Pemerintah, Sindo News (https://ekbis.sindonews.com), diakses 2 April 2017

Author, 2017, Industri Sawit Hadapi Enam Masalah, Sindo News (https://ekbis.sindonews.com/read/693021/34/industri-sawit-hadapi-enam-masalah-1354240269), diakses 2 April 2017

http://www.kemenperin.go.id/artikel/1075/Indonesia-Produsen-Kelapa-Sawit-Terbesar

Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Kementerian Koordinator Perekonomian

Kementerian Luar Negeri

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia

 

Reporter   : Frayda Asahmi  dan Intan Fatona      | IRB News

Editor       : Intan Fatona                                          | IRB News