AS (Amerika Serikat) resmi menarik kembali pasukan militer melalui penandatanganan perjanjian damai tahun 1973, setelah 8 tahun mengintervensi konflik internal antara Vietnam Utara dan Selatan.
Perang Vietnam merupakan konflik yang disebabkan perbedaan ideologi komunis dan demokrasi, sebuah dampak secara tidak langsung dari rivalitas superpower AS dan Uni Soviet di era Perang Dingin. Bagi Uni Soviet, Vietnam Utara adalah salah satu kekuatan Asia yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan efek domino, yaitu upaya memengaruhi negara lainnya dalam mengubah orientasi politik. Hal ini dilihat sebagai ancaman oleh AS yang memiliki beberapa aliansi seperti Australia dan Jepang, menimbang potensi penguatan dominansi Uni Soviet serta Tiongkok.
Oleh karena itu, pemberian asistensi terhadap Vietnam Selatan adalah solusi strategis untuk menekan pengaruh Vietnam Utara. Sebelum tahun 1961, bantuan AS hanya bersifat implisit, artinya negara tersebut tidak mengirimkan pasukan ke medan perang. Keadaan ini berubah ketika Presiden John, F. Kennedy memutuskan kebijakan sebaliknya. Pada tahun 1965, kebijakan ini dilanjutkan oleh Presiden Lyndon, B. Johnson, bahkan lebih dari 300.000 pasukan Angkatan Udara (AU) diperintah untuk melakukan pengeboman di wilayah Vietnam Utara.
Dalam implementasinya, kebijakan intervensi AS memerlukan dukungan publik domestik maupun internasional, sehingga menerapkan propaganda melalui media massa adalah cara untuk memperoleh tujuan tersebut.
Propoganda AS untuk Perang Vietnam
Sebelumnya, permainan media AS menggunakan propaganda bertema isu sensitif seperti agama. Untuk memindahkan populasi Kristen dari wilayah Utara, AS menyebarkan berita palsu bahwa adanya larangan melakukan ibadah, sehingga siapapun warga Kristen yang berharap mendapatkan kebebasan akan diterima oleh pemerintah Selatan. AS membantu proses evakuasi, dimana operasi ini dikenal dengan sebutan Passage to Freedom. Lebih jauh, strategi menggunakan kekuatan media massa secara ironis akan digunakan untuk melawan pemimpin Vietnam Selatan.
Penyebabnya adalah Presiden pertama Vietnam, Ngo Dinh Diem dikenal sebagai pemimpin otoriter yang berlaku tidak adil terhadap kaum Buddha. Hal ini terlihat dari keberpihakan politis Presiden Diem terhadap golongan agama minoritas, Kristen, pelarangan perayaan Buddha, sehingga menyebabkan kematian 9 orang sipil. Guna menutupi tragedi, pihak pemerintah Vietnam Selatan menyalahkan Vietcong, pemimpin wilayah Utara sebagai dalang pembunuhan 9 warga sipil menggunakan granat. Perilaku tersebut menuai protes kaum Buddha yang diekspresikan melalui aksi pembakaran diri di Saigon, Ibu Kota Vietnam. Kejadian ini diharapkan menarik perhatian publik internasional, namun bahkan bagi AS yang menganggap negaranya sebagai pembawa perdamaian dunia tidak memerdulikan isu tersebut.
Kebijakan AS berubah ketika adanya kepentingan nasional yang harus dipenuhi, yaitu mencegah penyebaran paham komunisme, sebagaimana Vietnam Utara telah mendekati keberhasilan dalam mengambil alih wilayah Selatan. Kepemimpinan otoriter Presiden Diem kemudian dijadikan justifikasi AS dalam mengintervensi langsung, tanpa memerdulikan kedaulatan Vietnam. Keputusan tersebut didukung publik domestik maupun internasional, menimbang kuatnya dominansi AS di media massa.
Setelah berhasil menurunkan Presiden Diem dari jabatan yang kemudian terbunuh pada tanggal 1 November 1963, AS konsisten mempertahankan kebijakan intervensinya, bahkan setelah Presiden Johnson terpillih menggantikan Kennedy. Adapun 2 jenis opsi yang diformulasikan AS dalam menanggapi Perang Vietnam, yaitu: (1) menekan agresi Vietnam Utara melalui peningkatan serangan bom; dan alternatif untuk mengantisipasi kegagalan opsi pertama, (2) meningkatkan keberadaan pasukan militer.
Pada implementasinya, kebijakan AS menjadi tidak efektif ketika media massa lokal meliput beberapa kejadian yang memicu ketidaksetujuan publik terhadap keberadaan militer yang me
langgar nilai-nilai HAM.
Media Massa dan Tragedi My Lai: Berakhirnya Perang Vietnam
Sistem peliputan berita yang berlaku di Vietnam berbeda dengan jurnalisme masa Perang Dunia. Di Eropa dan AS, jurnalis wajib mengajukan produk liputan ke pemerintah sebelum diterbitkan ke publik. Akibatnya, konten berita telah disaring terlebih dahulu untuk mencegah penyebaran informasi yang merugikan pihak Barat. Di lain sisi, media massa lokal Vietnam memiliki kebebasan untuk meliput, bahkan mengikuti operasi pasukan militer di lapangan, dan menyebarluaskan tanpa pemeriksaan konten.
Awal mula menguatnya peran media massa di Perang Vietnam adalah saat Presiden Johnson menerapkan kebijakan Search and Destroy, dimana setiap personil militer diizinkan mencari dan membunuh individual yang merupakan bagian dari Vietnam Utara. AS juga berupaya untuk membatasi akses musuh dalam memperoleh bantuan warga sipil Vietnam Selatan dengan mengurangi persediaan makanan. Akibatnya, munculnya masalah kelaparan di tengah perang sipil.
Selanjutnya pada tahun 1971, Presiden Johnson memutuskan untuk konsisten menjatuhkan bom dari udara dan 17.6 juta galon cairan kimia yang disebut, agent of orange. Untuk mengantisipasi publikasi media massa, AS menutupi pemberitaan yang merugikan dan menunjukkan tentara AS sebagai pahlawan yang menyelamatkan warga.
Keberpihakan publik internasional tidak berlangsung lama, khususnya pasca beberapa peristiwa penting. Pertama, penembakkan salah satu warga Vietnam Utara di kota Nguyen Ngoc Loan. Eddie Adams sebagai juru potret mengabadikan kejadian tersebut dan mempublikasikan karyanya. Akibatnya, foto tersebut mengundang protes masyarakat global melalui komentar-komentar negatif yang mempertanyakan intervensi AS di Perang Vietnam. Publik menilai bahwa nilai kemanusiaan telah hilang, menimbang ketiadaan proses peradilan dalam menghakimi tersangka.
Corona, seorang jurnalis menjelaskan, korban penembakkan adalah ketua tentara Vietnam Utara yang memiliki intensi untuk membunuh warga Vietnam Selatan bersama keluarga. Akibatnya, penembakan tersebut dilihat sebagai upaya melindungi warga setempat.
Kedua, pembantaian desa kecil bernama, Son My yang secara geografis terletak di Vietnam Selatan bagian tengah merupakan titik balik dukungan publik terhadap kebijakan intervensi AS. Tragedi terjadi pada tanggal 16 Maret 1968, dimana operasi militer AS dipimpin oleh Letnan Pertama, William, L. Calley, dengan tujuan untuk melaksanakan perintah Search and Destroy. Alasannya adalah AS menduga wilayah tersebut memberikan bantuan dan dukungan terhadap militan Vietnam Utara. Dugaan yang bersifat asumtif ini kemudian menimbulkan berbagai kejahatan perang, seperti perusakan properti, membakar hidup-hidup warga sipil, serta pembunuhan wanita dan anak-anak yang tidak bersalah.
Menanggapi kekejaman tersebut, pilot Hugh Thompson melaporkan situasi tersebut setelah berhasil menyelamatkan beberapa individu. Hal ini memicu upaya pemerintah pusat untuk menutup akses jurnalis, guna membatasi penyebarluasan informasi ke publik. Adapun jurnalis yang memiliki bukti atas tragedi tersebut, namun terpaksa bungkam untuk memenuhi tuntutan kepentingan nasional AS. Pada perkembangannya, publik internasional hanya mengetahui kesuksesan AS dalam mengalahkan musuh, tanpa keterangan gambar dan detail kejadian yang sebenarnya di tahun 1968.
Setelah setahun menutupi kebenaran, pada tahun 1969 Ronald Ridenhour dan Morris Udall melakukan investigasi, menimbang adanya cerita yang tersebar di domestik Vietnam. Keduanya mempublikasikan hasil investigasi melalui berita di Koran maupun TV, hingga Congress dan Presiden Nixon. Tayangan ini menciptakan kemarahan massa yang menekan AS untuk segera mundur dari Perang Vietnam.
Pada awalnya di bulan September 1969, Laporan The Hunley-Brinkley menuduh Letnan Pertama Calley bersalah atas kejahatan perang di Vietnam. Lebih jauh, Ron Haeberle mempublikasikan detail foto saat kejadian, guna mendapatkan tanggapan yang baik dari The White House untuk mengklarifikasi berita yang telah tersebar. Akibat tekanan media massa yang begitu besar, tentara yang terlibat dalam tragedi Son Lai mengakui kesalahan atas pembunuhan lebih dari 109 warga sipil pada tanggal 25 November 1969.
Akhirnya, Presiden Nixon yang menerima banyak protes terhadap Perang Vietnam perlahan mengurangi jumlah tentara sejak tahun 1970. Kebijakan ini dikenal sebagai, Vietnamization. Walaupun demikian, intensitas pemboman masih dilakukan oleh AS untuk mendorong mundur pasukan musuh dari Vietnam Utara. Dengan keberadaan militer yang berkurang, Presiden Nixon menggunakan strategi lain, yaitu mengirimkan pasukan ke perbatasan Laos dan Kamboja untuk menutup jalan keluar militan, maupun pasokan makanan.
Di luar harapani, ekspansi strategi perang ini sebaliknya menambah kemarahan dan jumlah protes publik internasional terhadap AS yang tidak menghormati kedaulatan negara sekitar. AS terpaksa berhenti menerapkan kebijakan intervensinya, khususnya pada tahun 1973, dimana setiap pemimpin dari AS, Vietnam Selatan, dan Utara bertemu untuk menandatangani perjanjian damai.
Berdasarkan dokumen sejarah Department State, United State of America, adapun persyaratan yang harus dipenuhi untuk mewujudkan inisiasi tersebut, diantaranya: (1) menghentikan aksi baku-tembak’ (2) penarikan kembali tentara AS; (3) pelepasan tahanan perang; serta yang paling terpenting ialah (4) reunifikasi Vietnam Selatan maupun Utara melalui cara-cara damai.
Pada perkembangannya, peristiwa Son Lai yang lebih dikenal sebagai My lai memengaruhi beberapa tren budaya AS. Contohnya, kemunculan novel Armies of the Night bertema Perang Vietnam, karakteristik musik Jazz tahun 70an yang berisi hak sipil dan perlawanan domestik terhadap invasi negara lain, Film Dokumenter, Film Hollywood, seperti The Green Berets, To the Shore of Hell, A Yank in Vietnam, dan lain sebagainya.
Reporter : Assay Lovelianty Farmin
Editor : –