Kisah Rohingya yang Memilukan

Rohingya adalah etnis minoritas Muslim yang tinggal di utara negara bagian Rakhine (sebelumnya Arakan), adalah sebuah desa pesisir di Myanmar. Orang-orang Rohingya dianggap kebanyakan orang di Myanmar sebagai imigran ilegal dan telah disebut sebagai “Bengali” disebut juga sebagai orang Bangladesh (Rappler, CEK FAKTA: Siapakah Rohingya dan mengapa mereka termarjinalkan?, 2016). Pemerintah Myanmar menolak untuk memberikan status kewarganegaraan Rohingya, dan sebagai hasilnya sebagian besar anggota kelompok tidak memiliki dokumentasi hukum. Pemerintah Myanmar mengklaim bahwa Rohingya tidak memenuhi syarat untuk kewarganegaraan berdasarkan UU Kewarganegaraan pada tahun 1982, karena mereka tidak memiliki bukti ulasan bahwa keberadaan mereka sudah ada sebelumnya. (Albert, 2017)

Pengecualian dari Rohingya setelah berlakunya hukum warga adalah dengan menandakan akses terbatas untuk kaum Rohingya dan bukti yang diberikan adalah kewarganegaraan sementara. Dalam hal ini, penggusuran terjadi dan diperburuk oleh pembunuhan. Kekerasan pecah pada 2012, ketika sekelompok orang Rohingya dituduh memperkosa dan membunuh seorang wanita Buddha. Hal ini mengakibatkan serangkaian pertempuran berdarah antara Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya. Kelompok Buddha nasionalis membakar rumah Rohingya dan menewaskan lebih dari 280 orang, menggusur puluhan ribu orang pada saat itu. (Albert, 2017)

PBB menggambarkan etnis Rohingya yang paling tertindas di dunia. Pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Rohingya di Myanmar adalah diskriminasi dengan akses terbatas; pembatasan pada kebebasan bergerak, ancaman terhadap kehidupan dan keamanan, penolakan hak kesehatan dan pendidikan, kerja paksa, kekerasan seksual, dan keterbatasan hak-hak politik, perdagangan manusia dan pemindahan paksa. Dalam hal ini, warga Rohingya menderita akan pembatasan hak dan kewajiban mereka. (Centre, 2016)

Warga Rohingya mengungsi sejak kekerasan pecah nuansa religius pada tahun 2012. Dan sebelum situasi ini juga, Rohingya diperlakukan tidak adil dan juga mengalami pelanggaran HAM sejak didirikan hukum pada tahun 1982. Ribuan orang Rohingya tidak aman di tempat kelahiran mereka sendiri, terdampar di tengah laut, dan di kamp-kamp pengungsi. Mereka terus mencari suaka bagi mereka untuk menetap di beberapa negara mereka menyeberang, ditolak oleh banyak negara, dan hanya diberikan tempat penampungan pengungsi sementara. Hal ini dapat dilihat sejak Agustus 2012 ketika Rohingya pergi ke Bangladesh pemerintah Bangladesh melarang bantuan kemanusiaan kepada minoritas Rohingya. Thailand hanya memberi bantuan seperti makanan, air, dan obat-obatan, tapi terus menolak mereka masuk. Dan berbalik ke Malaysia karena mereka adalah mayoritas penduduk adalah Muslim. Tapi pemerintah Malaysia telah memerintahkan angkatan laut untuk menolak mereka dari tanah mereka. Meskipun ribuan pencari suaka ditemukan di Indonesia oleh nelayan setempat, pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa para pengungsi akan tetap tidak diterima dan untuk memperingatkan nelayan untuk tidak menyimpan Rohingya perahu. (Rappler, CEK FAKTA: Siapakah Rohingya dan mengapa mereka termarjinalkan?, 2016)

Tiga negara ASEAN siap menampung pengungsi Rohingya atas dasar rasa kemanusiaan. Indonesia bersama Malaysia dan Thailand mengupayakan langkah-langkah lanjutan agar komunitas warga yang didepak dari Myanmar itu dapat melangsungkan kehidupan normal. Pada tahun 2015, yaitu dengan memberikan tempat pengungsian di Aceh (Lutfi yuhandi/ ananda nararya/ant, 2015). Yang berlanjut dengan pemberian kamp pengusian di Pangkalan Beranda dan Medan belum lama ini. Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengirim bantuan untuk warga etnis Rohingya di Myanmar. Menurut data UNHCR, saat ini terdapat sekitar 32 ribu pengungsi muslim dari Myanmar yang tercatat resmi pada dua kamp pengungsi di Bangladeh. Selain itu, UNHCR mengestimasikan adanya sekitar 200 ribu pengungsi yang tidak tercatat serta tinggal di perbatasan Bangladesh dan Myanmar. (Budiman, 2016)

Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa konflik di Myanmar ini mengakibatkan warga Rohingya sejumlah kurang lebih 1 juta jiwa terasing dari negeri kelahirannya sendiri, tidak memiliki kewarganegaraan, didiskriminasi, dan tidak memilik hak, seperti menurut Gregory B. Poling, analis dari CSIS. Konflik ini terjadi karena Myanmar menganggap Rohingya merupakan pendatang baru keturunan imigran dari Bangladesh pada era colonial dan warga Muslim. Namun menurut Gregory B. Poling, belakangan kisah ini terbukti palsu. Karena pada 1799, seorang ahli bedah bernama Francis Buchanan dengan perusahaan British East India berpergian ke Myanmar. Mereka bertemu dengan warga muslim yang telah lama menetap di Rakhine dan mereka menyebut dirinya sebagai Rooinga atau penduduk asli Arakan. (Ferida K. F., 2016)

Akan hal ini, Human Rights Watch telah melakukan penelitian tentang situasi hak asasi manusia yang terjadi di Burma selama lebih dari 25 tahun, dengan fokus pada pelanggaran terhadap politik dan media, hukum pelanggaran perang dalam konflik bersenjata dan kekerasan berlangsung lama terhadap penduduk etnis Rohingya. Kekerasan baru pecah setelah 9 Oktober 2016 serangan oleh militan Rohingya berjaga pos perbatasan di utara negara bagian Rakhine. Setelah serangan tersebut, militer Burma melakukan “operasi pembersihan,” mengunci area tersebut dan menolak akses ke kelompok bantuan kemanusiaan, media, dan pemantau hak. Dalam hal ini, PBB memperkirakan bahwa lebih dari 1.000 orang tewas dalam tindakan keras tersebut. Lebih dari 450 Rohingya ditahan di penjara Buthidaung dengan tuduhan terkait dengan serangan di pos perbatasan, setidaknya 1.500 bangunan yang hancur, 28 insiden pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya, . Human Rights Watch mendokumentasikan banyak pelanggaran yang terkait dengan operasi militer, termasuk pembakar yang meluas, pembunuhan di luar hukum, penodongan senjata, pemerkosaan sistematis dan kekerasan seksual lainnya. Tetapi, Komisi investigasi nasional pemerintah telah mengumumkan bahwa operasi pembersihan militer dilakukan “secara sah,” membantah semua tuduhan perkosaan, dan menolak bukti-bukti pelanggaran serius dan penganiayaan agama. (Sifton, 2017)

Dan pada saat ini komandan militer Myanmar bereaksi terhadap pernyataan Dewan HAM PBB yang mengatakan akan menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. Ia menegaskan akan melawan intervensi PBB di negaranya. Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan keputusan Dewan HAM PBB untuk mengirim tim pencari fakta internasional untuk mengancam keamanan nasional negaranya. Karena menurut Jenderal Min Rohingya tidak berasal dari negara Myanmar melainkan etnis Bengali di negara bagian Rakhine dan mereka hanya pendatang. Selain itu, ia menegaskan bahwa Myanmar memiliki kewajiban untuk melakukan apa yang harus dilakukan, menurut hukum, dan kewajiban untuk melindungi kedaulatan dalam politik, agama, dan persoalan ras di negara ini ketika diganggu. (Ferida K. , 2017)

Aung San Suu Kyi sebagai perdana menteri Myanmar telah menolak keputusan dewan hak asasi PBB untuk menyelidiki tuduhan kejahatan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya. Badan PBB pada bulan Maret mengirimkan sebuah misi pencarian fakta ke negara Asia selatan di Asia atas klaim pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan di negara bagian Rakhine. Tetapi tidak disetujui olehnya karena menurutnya resolusi PBB tersebut tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Aung San Suu Kyi menolak saran bahwa dia atau pejabat Myanmar sengaja mengabaikan kekejaman dan mereka telah menyelidiki dan telah mengambil tindakan. Tetapi, Penyelidik PBB mengatakan bahwa tindakan keras tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis. (Guardian, 2017)

Referensi:

Albert, E. (2017, January 12). The Rohingya Migrant Crisis. Retrieved March 30, 2017, from cfr.org: http://www.cfr.org/burmamyanmar/rohingya-migrant-crisis/p36651

Budiman, A. (2016, Desember 29). Pemerintah Indonesia Kirim Bantuan buat Etnis Rohingya. Retrieved April 3, 2017, from m.tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2016/12/29/078831095/pemerintah-indonesia-kirim-bantuan-buat-etnis-rohingya

Centre, U. N. (2016, June 20). Myanmar must address ‘serious’ human rights violations against minorities – UN rights chief. Retrieved March 30, 2017, from un.org: http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=54268#.WNzwfbglHIV

Ferida, K. F. (2016, November 24). Melacak Jejak Sejarah Muslim Rohingya di Myanmar. Retrieved April 3, 2017, from global.liputan6.com: http://global.liputan6.com/read/2660735/melacak-jejak-sejarah-muslim-rohingya-di-myanmar

Ferida, K. (2017, March 28). Kasus Pelanggaran HAM Muslim Rohingya, Myanmar Tolak Tim PBB. Retrieved March 30, 2017, from global.liputan6.com: http://global.liputan6.com/read/2901976/kasus-pelanggaran-ham-muslim-rohingya-myanmar-tolak-tim-pbb

Guardian, T. (2017, Mei 3). Aung San Suu Kyi rejects UN inquiry into crimes against Rohingya. Retrieved Mei 11, 2017, from theguardian.com: https://www.theguardian.com/world/2017/may/03/aung-san-suu-kyi-rejects-un-inquiry-into-crimes-against-rohingya

Lutfi yuhandi/ ananda nararya/ant. (2015, May 24). Tiga Negara Sepakat Terima Pengungsi Rohingya. Retrieved April 3, 2017, from nasional.sindonews.com: https://nasional.sindonews.com/read/1004668/149/tiga-negara-sepakat-terima-pengungsi-rohingya-1432442660

Rappler. (2016, November 21). 70 warga Rohingya Myanmar tewas di Rakhine. Retrieved March 30, 2017, from rappler.com: http://www.rappler.com/indonesia/data-dan-fakta/153228-siapa-rohingya-mengapa-termarjinalkan

 Rappler. (2016, November 22). CEK FAKTA: Siapakah Rohingya dan mengapa mereka termarjinalkan? Retrieved March 30, 2017, from rappler.com: http://www.rappler.com/indonesia/data-dan-fakta/153228-siapa-rohingya-mengapa-termarjinalkan

Sifton, J. (2017, Maret 17). US: Call on Burma to Cease Persecution of Rohingya. Retrieved Mei 11, 2017, from hrw.org: https://www.hrw.org/news/2017/03/17/us-call-burma-cease-persecution-rohingya

 

Veronica Gunawan