Penjaga Terakhir Presiden
Resimen Tjakrabirawa (sekarang paspampres) dibentuk pasca percobaan pembunuhan Presiden Soekarno pada shalat idul adha 1962 di istana negara. Kolonel CPM Maulwi Saelan merupakan salah satu perwira yang dipanggil untuk mempersiapkan pembentukan resimen tersebut, dan sekaligus ditunjuk sebagai Kepala Staff Resimen Tjakrabirawa, sebelum dipanggil ke Jakarta Kolonel CPM Maulwi Saelan adalah Wakil Komandan Batalion VH/ CPM ( corps polisi militer).
Kol. Saelan merupakan mantan kipper tim nasinonal Indonesia (PSSI) era 1950an dan salah satu ketua umum pertama PSSI di awal-awal berdirinya federasi sepak bola Indonesia tersebut. Setelah menyandang jabatan wakil komandan resimen tjakrabirawa, secara otomatis pekerjaan dan tugas kol. Saelan adalah menjamin keamanan presiden serta mengawal setiap kegiatan yang dilakukan oleh presiden/panglima tertinggi. Unsur pimpinan Resimen Tjakrabirawa sendiri terdiri dari 3 pimpinan yaitu :
- Brigjen Moehamad Sabur (Komandan Resimen)
- Kolonel CPM maulwi saelan (Wakil Komandan Resimen)
- AKBP Mangil Martowidjojo (Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden )
Pengambilan keputusan Kolonel Saelan yang sejak malam tanggal 30 September mengawal Presiden Soekarno dalam acara musyawarah nasional teknologi (munastek) di Istora Senayan, tidak pernah menyangka jika salah satu anak buahnya yaitu Letnan Kolonel Untung Samsuri yang malam itu masih bertugas menjaga keamanan presiden, tiba-tiba paginya sudah berada di lubang buaya untuk memimpin satu gerakan yang merubah sejarah negeri ini. Pengambilan keputusan yang sangat kritis karena paginya Kolonel Saelan diberitahu bahwa ada gerakan pasukan tak dikenal di sekitar medan merdeka, dan beberapa rumah perwira tinggi AD (Angkatan darat) “ditembaki” oleh pasukan tak dikenal. Akhirnya tanpa pikir panjang Kolonel Saelan memerintahkan untuk mencari dimana keberadaan Bung Karno, seperti kebiasaan Presiden biasanya bermalam dirumah Ibu Dewi di Jalan Gatotsubroto (sekarang Museum Satria Mandala), kalau tidak berada disana, dirumah Ibu Haryati di daerah grogol.
Dengan menggunakan jeep C2 milik DKP Kolonel Saelan meluncur mencari rombongan konvoi Presiden. Kolonel Saelan selalu menaruh 1 set radio transmitter di setiap konvoi Presiden dan melalui radio tersebutlah Kolonel Saelan dapat mengetahui letak konvoi dan langsung mengarah kesana. Setelah sampai dan bergabung dengan rombongan presiden, Kolonel Saelan melaporkan bahwa sebaiknya Bapak Presiden tidak kembali ke istana dikarenakan ada indikasi gerakan pasukan AD tak dikenal yang bisa membahayakan keselamatan Presiden. Dengan dibantu AKBP Mangil, akhirnya rombongan dibawa menuju grogol, ke rumah Ibu Haryati. Setelah sampai dirumah Ibu Haryati, para pimpinan DKP melakukan rapat terbatas untuk melakukan langkah berikutnya. Menurut aturan SOP (Standard Operating Procedure) Resimen Tjakrabirawa, apabila ada hal yang menganggu keselamatan presiden/panglima tertinggi maka ada kapal kepresidenan ALRI Varuna yang sandar di Tanjung Priok atau langsung membawa Presiden/Panglima tertinggi ke Lanud Halim Perdana Kusuma dan langsung diterbangkan dengan pesawat kepresidenan jetstar. Akhirnya membawa Presiden Soekarno ke Lanud Halim menjadi keputusan final, dan rombongan langsung bergerak menuju Lanud Halim Perdana kusuma.
Pemikiran kritis yang diambil Kolonel Saelan sebagai pimpinan yang bertugas di lapangan (Brigjen Sabur pada saat kejadian G30S sedang diundang memberikan ceramah di Kodam Siliwangi Bandung) adalah segera membawa Presiden ke Lanud Halim bukan tanpa alasan. Lanud Halim dinilai sangat penting dan menggunakan pesawat jetstar lebih cepat ketimbang harus menggunakan kapal ALRI, jadi ini murni merupakan keputusan kritis yang diambil seorang komandan yang bertugas saat itu, dan keputusan ini juga yang menepis adanya anggapan sebagian masyarakat sampai saat ini yang menilai kedatangan Bung Karno ke Halim merupakan bentuk dukungan terhadap gerakan 30 september.
Selain itu, salah satu tindakan yang diambil oleh Kolonel Saelan adalah ketika batalnya acara Konferensi Asia Afrika ke 2 di Aljazair, setelah advance team berangkat terlebih dahulu sebuah pesawat convair garuda Indonesia yang membawa delegasi Indonesia untuk mengikuti KAA, namun seketika pesawat berhenti untuk mengisi bahan bakar di Karachi, tersiar kabar bahwa telah terjadi kudeta yang dilancarkan oleh pemimpin militer Aljazair, Kolonel Houari Boumediene, kepada Presiden Aljazair ketika itu Ahmed Benbella. Kejadian ini membuat delegasi Indonesia kebingungan dan mempertanyakan keberlangsungan acara dan terdengar kabar lagi bahwa team advance yang dianggotai oleh personil DKP ditangkap dan senjatanya dilucuti oleh pasukan pemberontak Aljazair. Karena itu Presiden Soekarno memutuskan untuk terbang ke Kairo, disana akan menentukan langkah selanjutnya, mengingat di Paksitan Presiden Jenderal Ayub Khan sedang melawat ke Inggris.
Sesampainya di Kairo, Presiden mendapat laporan bahwa gedung yang akan dipakai menjadi tempat konferensi hancur di bom, akhirnya konferensi dimundurkan ke bulan November 1965 (dan di bulan September terjadi G30S) untuk membebaskan para personil anggota advance team, akhirnya Kolonel Saelan ditugaskan untuk bernegosiasi dengan pemerintahan baru Aljazair. Kolonel Saelan terbang dari Jakarta lewat Paris, Perancis (belum ada jalur penerbangan langsung menuju Aljazair) dan bernegosiasi, akhirnya para anggota advance team dapat dipulangkan ke Indonesia dan senjatanya dikembalikan.
Pemikiran dan keputusan yang diambil oleh Kolonel Saelan dalam beberapa penugasannya sebagai penanggung jawab keselamatan Presiden adalah saat terbang ke Manila, ‘’dulu belum ada itu, GPS’’ kata Kolonel Saelan, jadi ia dan beberapa advance team Tjakrabirawa terbang lebih dulu ke Manila dan langsung memberikan sinyal-sinyal radio dengan lagu-lagu Indonesia. Dengan cara itulah pesawat jetstar yang membawa Presiden Soekarno dapat mendarat dengan selamat.
Referensi:
Saelan, Maulwi. 2011. Pengawal Terakhir Bung Karno. Kompas Gramedia.
[Interview] / interv. Ali Akbar Hasyemi dengan Alm. Kolonel CPM(purn) Maulwi. – Jakarta : IRB News, 15 Februari2015.