Dealing With People With Mental Issues

Dealing With People With Mental Issues

Taking Actions Againts Bullying

 Pada hari Senin, 12 April 2021 pukul 13:00 WIB. Binus kedatangan beberapa pembicara dari (University Malaysia Sarawak) UNIMAS, Universitas Padjadjaran, dan pembicara dari Binus University sendiri untuk mengadakan seminar kepada mahasiswa yang dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Pada hari pertama, seminar ini membahas mengenai Dealing with People with Mental Issues dan Taking Actions Againts Bullying dengan moderatornya yang diperankan oleh Ibu Adsina Fibra, S.Sos., M.Ed dari Binus University.

 Seminar ini diawali dengan pembukaan yang dibawakan oleh Ibu Adsina sebagai moderator. Ibu Adsina menjelaskan secara singkat mengenai komunitas yang berkembang di masyarakat dan bagaimana kita harus mempertahankannya. setelah itu, diputarkan lagu Indonesia Raya untuk membangkitkan semangat para penonton.

 Setelah pembukaan, dilanjutkan oleh seorang international speaker dari Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS), yaitu Dr. Amalia Madihie KB. PA. Ibu Amalia membawakan topik mengenai Mental Health terkait penindasan bagi individu terutama mental health bagi anak- anak. Datangnya pandemic Covid-19 menyebabkan karantina wajib dilakukan. sekolah dan kantor dilakukan secara online, dan beberapa kegiatan yang harus diberhentikan sementara. Hal ini membuat orang-orang kurang bersosialisasi terutama terhadap anak-anak. Padahal, sosialisasi merupakan salah satu aspek yang sangat penting di jaman ini. 

 Jika kita berbicara mengenai mental health, berarti ada kaitannya dengan pola pikir atau mindset kita. Bagaimana kamu berpikir? Bagaimana anakmu berpikir? Bagaimana dengan cara berpikir dapat mempengaruhi pola pikir kita? Karena kami percaya ada bagian dari otak kita yang dapat mengontrol emosi kita. Mental health adalah keadaan kesejahteraan emosional dan psikologis dimana individu dapat menggunakan kemampuan kognitif dan emosionalnya, berfungsi dalam masyarakat dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 Apa yang perlu dilakukan untuk menjaga mental health bagi anak- anak? menyebarkan kesadaran mengenai mental health (memberikan banyak support karena anak merupakan makhluk yang sensitif), mengajarkan cara untuk mengatasi dan mengelola stress dan kesehatan mental yang buruk, dan meningkatkan ketahanan, menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan aman untuk semua, mengurangi stigma penyakit mental, membantu staf mengidentifikasi kesehatan mental yang buruk pada diri mereka sendiri dan orang lain. 

 Perlu dikenali mental health spectrum dengan mengetahui 2Rs, yaitu Rekonseptualisasi bagaimana individu berpikir dan berbicara tentang kesehatan mental dan penyakit mental dan meninjau hak dan tanggung jawab kesehatan mental setiap individu. Ada beberapa spektrum dalam mental health, antara lain Healthy – Coping – Struggling – Unwell. Spectrum Healthy, dimana seseorang di keadaan stres tetapi dapat mengendalikannya, dapat membuat keputusan, dan dapat berkomunikasi tanpa menyakiti perasaan lawan bicara. Spectrum Coping, keadaan dimana suara dapat terdengar tidak stabil dan pikiran yang tidak stabil dikarenakan pengendalian stres yang kurang. Spectrum Struggling, keadaan dimana stres dan kecemasan tinggi tetapi berusaha semaksimal mungkin untuk mengendalikannya. Spectrum Unwell, keadaan dimana seseorang yang memiliki tingkat stres dan kecemasan yang sangat tinggi sudah tidak dapat melakukan apa- apa. 

 Dilanjutkan dengan pembicara kedua, yaitu Dr. Mohamad Fahmi, SDGs Centre Universitas Padjadjaran. Pak Fahmi membawakan dua topik yang sangat penting, antara lain Sustainable Development Goals 4 (Quality Education) Monitoring Problem in 2019-2020 dan Bully Problem in Indonesia. Pak Fahmi memperlihatkan 10 target yang ingin di capai SDG 4 (Memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua), diantaranya:

Adanya laporan pemantauan mengenai SDG 4 di Indonesia yang berlangsung dari tahun 2019-2020, serta awal 2021. Tercatat juga laporan keberhasilan Indonesia di tahun 2015-2018 dalam mencapai target SDG 4 yang membuktikan komitmen Indonesia mengenai masalah ini. Namun, tidak ada laporan lanjutan disaat situasi pandemic tahun 2020 dan diawal 2021. laporan pemantauan pencapaian target ini merupakan kolaborasi antara Menteri Pendidikan, UNICEF, dan SDGs Centre Universitas Padjadjaran.

Berikut grafik pemantauan kerangka kerja mengenai sasaran SDG dan progress yang telah dilakukan:

 Dari grafik diatas, garis abu-abu merupakan data historis, yaitu point minimal dan merupakan point yang paling buruk jika tren (garis hitam) data berakhir di garis abu-abu. Garis merah merupakan target dari SDGs 4 di tahun 2030. Sedangkan garis hitam merupakan tren data monitoring period. Kita setidaknya mendapatkan data dari tahun 2015-2018 sehingga dapat memperkirakan kemajuan progress di tahun-tahun berikutnya sampai pada tahun 2030. Tetapi jika dilihat, pencapaian Indonesia pada tahun 2015-2018 masih belum cukup untuk mencapai target SDGs 4 di tahun 2030.

 SDGs 4 memiliki 81 indikator sebagai pencapaian target. Karena adanya covid di tahun 2019, pemantauan data di tahun 2020 dan 2021 belum selesai. Jika pemerintah tidak melakukan tindakan seperti mengeluarkan program dengan tujuan meningkatkan pencapaian ini, maka diperkirakan akan mendapat 12 (15%) indikator A di tahun 2030, 4 (5%) indikator B, 20 (25%) indikator C, dan 10 (12%) indikator D, dimana indikator D tidak mencapai target SDGs 4 dan hanya 41% yang akan dicapai Indonesia dari target tersebut.

 Dalam 4 prospektif, yaitu Access, Quality, Learning, dan Equity, hanya Access dan Learning yang dapat dicapai dengan presetanse yang cukup tinggi oleh Indonesia di tahun 2030. Beberapa indikator yang lebih cepat dari target dan mengalami akselerasi (A) yaitu: tingkat penyelesaian pendidikan dasar & menengah, akses internet, dan proporsi guru  berkualifikasi S1 (Semua Jenjang). Adapula beberapa indikator yang lebih lambat dari target dan mengalami perlambatan (D), yaitu 4 indikator angka melek huruf, 1 indikator tingkat anak tidak sekolah dasar, 1 indikator terkait pra-elementary, partisipasi pemuda dalam training/ education, rasio murid per guru bersetifikat SD/SMA. 

 Masuk ke topik bullying, menurut riset National Women and Child Protection di tahun 2018, ⅔ dari anak pernah mengalami setidaknya satu kali kekerasan di hidupnya. ¾ dari anak pernah mengalami tindakan kekerasan dari teman ataupun kerabatnya sendiri. Kami juga mendapatkan riset di tahun 2019 bahwa dengan adanya internet, meningkatkan kasus pembullyan sebesar 45% dengan cyberbully. Kemudian berdasarkan riset dari Global School Health Survey di tahun 2007-2015, menyatakan bahwa kasus pembullyan menurun tetapi masih banyak tindakan kekerasan yang terjadi di sekolahan.

 Ada beberapa prinsip atau strategi dalam pencegahan pembullyan menurut Whitted dan Dupper di tahun 2005, antara lain program strategi dari pemerintah harus mendapat dukungan empiris, strategi dan program pencegahan penindasan harus sesuai dengan perkembangan dan bermakna serta menyenangkan bagi siswa, sekolah harus memilih program yang peka budaya, memberikan pelatihan, dan hemat biaya.

 Beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk pencegahan penindasan, seperti dibuatnya peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia No. 05 tahun 2010, upaya menyebarkan kesadaran mengenai program pendidikan karakter dan program pendidikan keluarga, mendirikan Sekolah Sahabat Keluarga.

 Selanjutnya dilanjutkan oleh speaker ketiga yaitu Dr. Esther Widhi Andangsari, M.Si., Psi., Psikolog dari Binus University. Ibu Esther membawakan sebuah topik cara melawan kesendirian, “Fighting Loneliness with Nostalgia”. Hasil dari survey yang diambil di bulan May- Juni 2020 oleh 3148 banyaknya Binusian membuktikan bahwa banyak binusian yang mengalami gejala loneliness tingkat medium dan severe dengan total presentasi 20%. Selain itu, tercatat 16% yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri. Fenomena yang dialami anak Psikolog memiliki pemikiran ini, antara lain memiliki kegelisahan selama online learning, dirasakan kurangnya dukungan sosial termasuk dukungan keluarga, beberapa dilaporkan memiliki pikiran untuk bunuh diri.

 Loneliness bukan berarti sendirian, melainkan memiliki hubungan yang sedih atau rusak seperti hubungan antara keluarga, teman baik, pasangan, dan lingkungan sosial. Rusaknya dari salah satu hubungan inilah yang akan menimbulkan rasa kesendirian. Beberapa dari Binusian yang mengalami gejala ini dari menarik diri dari persahabatan, meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan non-produktivitas, melakukan prokrastinasi akademis efek kesepian. Efek dari kesepian sangatlah berbahaya karena dapat menimbulkan rasa ingin bunuh diri.

 Kita dapat melawan rasa kesepian itu dengan nostalgia. Dari hal ini, orang orang dapat merekrut nostalgia untuk meredakan suasana hati yang negatif, nostalgia dapat meningkatkan harga diri. itu juga meningkatkan aksesibilitas atribut diri yang positif dan mengurangi respon defensif terhadap ancaman harga diri. selain itu dapat juga meningkatkan persepsi tentang ikatan sosial, keamanan keterkaitan, kompetensi interpersonal, dan dukungan sosial.

 Salah satu upaya yang sudah dilakukan oleh Binus mengenai hal ini yaitu telah dibuatnya online gathering bernama Ngos-ngosan. Dalam online gathering ini, diikuti oleh seorang dosen psikolog dan beberapa mahasiswa Binus. Mereka dapat membicarakan apa saja, mulai dari berbagi pengalaman, masalah pribadi dan banyak lagi. Topik pembicaran tidak harus berbau akademik atau yang berhubungan dengan kuliah.

Setelah itu, webinar ini diakhiri dengan sesi Q&A dan foto bersama.