Hidup Bagai Lautan Penderitaan

Ditulis oleh: Lavia Tamrin

Dalam agama Buddha, sering kita mendengar bahwa hidup ini adalah penderitaan. Memang, hidup tidak sepenuhnya menderita. Kebahagiaan dan penderitaan datang silih berganti. Namun, seakan-akan hidup ini lebih banyak penderitaan dibandingkan kebahagiaan. Kita yang beruntung tentu tidak akan merasakan hal ini—kita akan berpikir: “Hidup saya penuh dengan kebahagiaan, saya tidak merasa saya menderita. Makan saya cukup; saya masih mempunyai rumah; pekerjaan dan sekolah berjalan lancar”.

Namun, apabila kita melihat berita-berita di luar sana, mulai tampak realita-realita kehidupan yang tidak sepenuhnya bahagia. Contohnya, rakyat Sri Lanka yang saat ini negaranya tengah bangkrut, sehingga mereka kesulitan mendapatkan pangan. Ada lagi rakyat Ukraina yang harus hidup di tengah ketakutan atas serangan Rusia. Walaupun hidup kita saat ini adem-adem saja, bukan berarti hidup semua manusia sama seperti kita.

Lantas, apabila hidup ini penuh dengan penderitaan, mengapa kita masih ingin melanjutkan hidup ini? Sahabat-sahabat se-Dhamma, meski hidup penuh dengan penderitaan, terlahir sebagai manusia juga merupakan sebuah anugerah yang harus disyukuri. Menurut agama Buddha, terlahir sebagai manusia merupakan kesempatan yang sepatutnya disayangkan. Berdasarkan Dhammapada Buddha Vagga syair 182 dan Nakhasikha Sutta kitab Samyutta Nikaya 13:1, tertulis bahwa kita dapat terlahir sebagai manusia hanya karena adanya sila (moralitas) yang baik.

Sebagai manusia, kita dapat melihat jelas penderitaan (samsara), yang dapat mendorong kita untuk membebaskan diri dari penderitaan ini. Kita dapat mempelajari tentang empat kesunyataan mulia, yang terdiri dari (1) terdapatnya penderitaan, (2) penyebab penderitaan, (3) adanya akhir dari penderitaan, serta (4) jalan mengakhiri penderitaan. Sebagai manusia, kita tahu bahwa kemelekatan pada bentuk fisik, perasaan, persepsi, buah pikiran, dan kesadaran dapat menimbulkan penderitaan, Hanya sebagai manusialah kita dapat sadar akan belenggu ini, dan sebagai manusia pula kita dapat mulai berupaya untuk melepaskan diri dari belenggu kemelekatan. Dengan begitu, sebagai manusia lah kita dapat membina diri untuk mencapai kesempurnaan. Karena itulah, terlahir sebagai manusia adalah sesuatu yang sepatutnya kita manfaatkan.

 

Referensi:

Lavia Tamrin