Full-Dive Virtual Reality

Sumber gambar: https://www.threeifbyspace.net/2016/03/ibm-cognitive-releases-first-vrmmo-photos/

 

Pada artikel sebelumnya telah dibahas teknologi mengenai virtual reality (VR), yaitu sebuah teknologi yang memungkinkan user merasa seolah-olah mereka mengalami pengalaman tertentu dengan menggunakan alat bernama Head-mounted displays (HMDs). Namun, sejauh manakah teknologi tersebut dapat kita kembangkan? Dalam artikel kali ini akan dibahas tentang salah satu inovasi yang dapat muncul dimasa yang akan datang – Full-Dive Virtual Reality (FDVR) atau dapat disebut juga Full-Immersive Virtual Reality.

FDVR pertama kali muncul pada serial anime jepang, Sword Art Online, yang ditulis Reki Kawahara pada tahun 2009. Dalam serial tersebut, diceritakan bahwa pada tahun 2022 terdapat sebuah terobosan baru pada teknologi VR. Sebuah game berbasiskan dunia virtual bernama Sword Art Online atau SAO diterbitkan. Dengan bantuan “NerveGear”, sebuah alat yang memungkinkan mesin untuk menerima sinyal saraf otak manusia secara langsung, pemain dapat mengendalikan karakter mereka hanya dengan berbaring saja. Serial anime ini kemudian membuat para gamers di dunia terpacu untuk membuatnya menjadi kenyataan.

Tapi apakah teknologi tersebut benar-benar dapat tercapai dalam dunia nyata?

Jika kita melihat teknologi VR saat ini, dibutuhkan pergerakan fisik untuk bergerak dalam dunia virtual tersebut. Yang kemudian dideteksi oleh perangkat keras yang sudah terpasang pada anggota tubuh kita agar dapat mengirimkan data ke komputer.

Berbeda dengan VR saat ini, FDVR adalah bagaikan kita sedang bermimpi. Kita dapat melakukan banyak hal tanpa harus menggerakkan anggota tubuh kita. teknologi ini mendorong VR ke level yang jauh berbeda dari yang sekarang. Dimana orang-orang akan susah untuk membedakan mana yang dunia nyata atau bukan melalui penggunaan Brain Computer Interface atau BCI. Dengan kata lain, FDVR akan menonaktifkan kesadaran sensorik eksternal pengguna, menggantikannya dengan kesadaran virtual selama durasi sesi FDVR.

Brain Computer Interface atau BCI secara singkat adalah sebuah sistem yang memungkinkan komputer untuk berinteraksi langsung dengan otak manusia. sistem tersebut dapat menerjemahkan pola aktifitas otak manusia ke dalam pesan yang dapat dimengerti oleh komputer. Pola aktifitas tersebut diterjemahkan menggunakan teknologi electroencephalography (EEG) yang dapat membaca gelombang otak melalui sebuah headset dengan beberapa sensor.

Pada tahun 2015, peneliti dari sebuah universitas di Irvine menggunakan mesin electroencephalogram untuk mendeteksi gelombang otak manusia. penelitian ini dilakukan untuk membantu seseorang untuk berjalan kembali setelah 5 tahun mengalami kelumpuhan. Penelitian tersebut melibatkan penggunaan elektroda yang dipasangkan pada kepala dan kaki pasien tersebut. Dengan mendeteksi dan menerjemahkan sinyal dari otak pasien lalu mengirimkannya ke kaki, sistem tersebut dapat mengirim sinyal otak langsung ke kaki pasien tanpa harus melewati saraf tulang belakang yang rusak. Sehingga, pasien tersebut dapat menggerakkan kakinya kembali.

Kemudian perkembangan lain terlihat pada acara SIGGRAPH 2017, sebuah perusahaan di bidang VR memperkenalkan sebuah permainan dimana dalam game tersebut pemain adalah anak yang memiliki kekuatan telekinetik dan sedang ditahan di laboratorium pemerintah. Terdapat robot penjaga hadir untuk mencegah pemain melarikan diri dari sel Anda. Tujuan permainan ini adalah menggunakan kemampuan telekinetik pemain untuk memilih objek di lab dan melemparkannya ke penjaga robot sampai mereka rusak. Kalahkan penjaga yang cukup dan pemain akan bebas untuk melarikan diri.

Dalam permainan tersebut, para pemain hanya dibekali sebuah headset dengan beberapa sensor yang dapat membaca aktifitas gelombang otak pemain pada permukaan kepala mereka. Sehingga, pemain dapat melemparkan objek ke robot penjaga hanya dengan memfokuskan pikiran mereka terhadap objek yang ingin mereka pakai tersebut.

Masih ada beberapa perusahaan yang sudah memperlihatkan perkembangan-perkembangan yang mendukung tercapainya inovasi FDVR. Baik itu untuk tujuan hiburan seperti permainan-permainan, maupun untuk tujuan lainnya seperti kesehatan, olahraga, dan edukasi. Namun, masih banyak hal yang perlu kita perhatikan sebelum dapat menggunakan Full-Dive Virtual Reality dengan leluasa.

Yang pertama ialah masalah koneksi. Karena gelombang sinyal yang terjadi di otak kita sangat cepat per detiknya, maka kita membutuhkan sebuah perangkat yang dapat memindahkan data dengan sangat cepat. Dan juga, koneksi yang terjadi antara komputer dengan otak harus stabil sehingga tidak ada kejadian yang terlewatkan.

Kedua adalah masalah anggota tubuh penggunga. FDVR membutuhkan otot untuk sepenuhnya tidak aktif saat pengguna sedang menyelam ke dunia virtual. Hal ini wajib untuk menghindari trauma, namun pemahaman serta kompetensi tentang cara menonaktifkan otot dengan benar masih sulit untuk dipahami.

Ketiga yaitu masalah riset. Meskipun sudah ada beberapa perusahaan yang telah menunjukan perkembangan. Hasil-hasil tersebut masih bisa dibilang jauh dari kata tuntas. Riset terhadap FDVR banyak mengalamin hambatan dikarenakan perkembangan ilmu saraf yang pelan. Hal ini disebabkan oleh Batasan kode etik dimana riset yang dilakukan terhadap otak manusia tidak boleh bersifat membahayakan. Meskipun teknologi EEG yang mempunyain kelebihan dalam keamanan sudah diterapkan, EEG mempunyai kemampuan yang terbatas dalam menerjemahkan gelombang otak menjadi perintah komputasi. EEG mendeteksi banyak data yang harus disaring secara detail dan benar untuk menafsirkan maksud pengguna.

Di sisi lain, para peneliti telah membuat neuromaps berdasarkan data yang sudah didapat untuk membantu komputer mengenali pola aktifitas otak. Tetapi penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan untuk hasil yang memuaskan.

Keempat merupakan masalah perangkat keras. Seperti yang dijelaskan pada poin pertama, komputer yang menjalankan Full-Dive Virtual Reality harus mendeteksi, memproses dan menghasilkan data yang sangat besar secara real-time. Dan headset yang digunakan untuk melakukan riset saat ini pun masih tebal karena membutuhkan 11-16 elektroda terpasang. Sehingga, pengguna masih dapat merasakan kalua mereka sedang menggunakan sebuah headset dan masih sadar bahwa mereka sedang berada di dalam dunia virtual.

Kelima meliputi masalah keamanan pengguna. Sebuah software cepat atau lambat dapat menjadi rentan terhadap serangan hacker. Dalam konteks FDVR, tidak menutup kemungkinan bahwa serangan-serangan para hacker terhadap software yang menggunakan system Full-Dive Virtual Reality dapat mempengaruhi atau bahkan merusak sistem kerja otak manusia.

Jadi kesimpulannya adalah tidak tertutup kemungkinan bagi sistem Full-Dive Virtual Reality ini untuk terwujudkan. Namun, yang jelas prosesnya akan mengumpulkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit agar sistem tersebut dapat berjalan dengan lancar dan aman.