Arsitektur nusantara-arsitektur naungan, bukan lindungan (sebuah reorientasi pengetahuan arsitektur tradisional)

‘Bangunan panggung dibuat karena adanya ancaman dari binatang buas’, itulah yang kita pelajari dari arsitektur tradisional di Indonesia ini. Kita tidak terlalu mempersoalkan benar-kelirunya pernyataan itu karena telah banyak ditulis seperti itu, juga telah dikatakan oleh demikian banyak ahli dan peneliti. ‘Bangunan adalah tempat untuk berlindung’ juga sebuah pengetahuan akan arsitektur tradisional yang tak disoalkan benar-kelirunya. Jika mau dibuat rinciannya, demikian banyak ihwal pengetahuan tentang arsitektur tradisional yang tidak pernah kita pertanyakan benar-kelirunya. Masih dengan ihwal yang sama yaitu mempersoalkan benar-kelirunya, kita dengan mantap dan tegas menempatkan arsitektur tradisional kita dalam kaitan yang demikian erat dengan budaya dan kebudayaan, namun kalau berkenaan dengan arsitektur Erorika (Eropa-Amerika) serta arsitektur modern, nyaris tidak pernah ada pelibatan dan pengkaitan dengan budaya dan kebudayaan. Di satu sisi kita memantapkan itu untuk menegaskan bahwa arsitektur tradisional itu beda dari arsitektur Erorika, namun di sisi lain kita menjadi bermasalah dalam mengkinikan arsitektur tradisional dalam proses rancang yang sepenuhnya sangat Erorika itu.
Tanpa harus membincangkan mengapa tidak disoalkan benar-kelirunya, sajian yang akan saya paparkan dalam kesempatan ini akan mencoba untuk memperlihatkan apa yang seharusnya kita tanggung sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa Erorika dan Indonesia/Nusantara itu memang berbeda dalam banyak hal. Perbedaan itu akan kita manfaatkan untuk menyadari konsekuensi yang timbul. Ada konsekuensi yang menunjuk pada pengertian arsitektur sebagai perlindungan dalam persandingannya dengan arsitektur sebagai pernaungan atau perteduhan; ada pula konsekuensi yang menunjuk pada tempat/kategorisasi dari pengetahuan yang Erorika dalam persandingannya dengan pengetahuan arsitektur Nusantara. Di sini saya tidak melakukan pembandingan antara Erorika dengan Nusantara(tradisional) karena sebuah perbandingan akan berakhir dengan siapa yang lebih dan siapa yang kurang. Saya akan melakukan penyandingan, menjejerkan yang erorika dengan yang Nusantara/tradisional untuk memerikan/mendeskripsikan bahwa perbedaan yang ada bukan perbedaan dalam hal lebih-kurang, melainkan perbedaan tatapikir (mindset) yang digunakan dalam mempelajari dan memahami arsitektur Nusantara.

Kepulauan Nusantara

Berbeda dari kebiasaan dalam memerikan arsitektur tradisional yang diawali dengan menggelarkan budaya dari anak bangsa di Indonesia, saya akan mengawali penggelaran atas arsitektur Nusantara ini dengan menggelar alam dan iklim, yakni sebuah lingkungan yang menjadi tempat bagi munculnya arsitektur. Indonesia adalah Negara kepulauan yang satu pulau dengan pulau yang lain dihubungkan oleh laut. Laut atau perairan adalah penghubung pulau dan daratan, bukan pemisah. Jikalau laut dan perairan menjadi pemisah maka keterisolasian dari masing-masing pulau akan dapat muncul sebagai konsekuensinya. Sebaliknya, dengan menjadikan perairan dan laut sebagai penghubung, maka tidak hanya keterisolasian itu tersisihkan, tetapi komunikasi antara pulau satu dengan yang lain akan muncul sebagai konsekuensinya. Di dalam keterhubungan ini pulalah kita masih ingat penggal nyanyian anak-anak dari tahun 1950-1960-an yang diantaranya berbunyi: “nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera”, menyadarkan kita akan arti dan makna dari sebutan bangsa kita sebagai bangsa bahari. Kejayaan kita di laut bahkan sudah berlangsung ratusan tahun sebelum Masehi, sebagaimana ditunjukkan misalnya oleh para ahli linguistic. Para ahli bahasa ini telah berhasil menemukan pencatatan rempah-rempah dari Pasifik di dalam dinding-dinding piramida di Mesir. Bahkan dalam abad ke-2 Masehi, perairan Nusantara ini merupakan perairan yang sibuk dengan lalu-lalangnya kapal dan perahu dari pasifik hingga Madagaskar dan dari Taiwan-Cina hingga India dan Arab. Di masa itu, telah pula terbuktikan bahwa bangsa Nusantara ini bukan hanya penonton, melainkan menjadi pemain; perahu dan kapal nusantara telah mengarungi sejauh Madagaskar dan Pasifik.
Keberhasilan mengarungi lautan dan samudera seluas dari Madagaskar hingga Pasifik dan Cina hanya mungkin terjadi bila teknologi pembuatan perahu kayu sangatlah handal. Kehandalan teknologi pembuatan perahu dari bangsa Nusantara ini sampai membuat para ahli kapal dan perahu Cina untuk belajar dari para pembuat perahu di Sulawesi Selatan di tahun 1420-an, demikian dikatakan oleh Gavin Menzies dalam bukunya yang berjudul 1423. Mereka itu perlu belajar tentang teknologi perahu dan kapal karena di tahun 1423 Cina memulai penjelajahan melintasi semua samudera di dunia ini! Setidaknya ada tujuh armada dikirim oleh Cina untuk mengarungi semua samudera. Masing-masing armada menjelajah samudera yang berbeda. Kehandalan dalam membuat perahu dan kapal yang dari kayu ini dengan langsung tentunya berimbas pada handalnya teknologi dan pembuatan bangunan kayu. Sebagaimana halnya teknik konstruksi ikat dalam pembuatan perahu yang sudah dikuasai semenjak duaratus tahun sebelum Masehi, di pedalaman Flores, tepatnya di desa Wae Rebo, kabuparten Manggarai, telah dapat dihadirkan sebuah bangunan berkonstruksi ikat yang memiliki ketinggian sampai lima lantai, dan lantai dasarnya mampu menampung lebih dari seratus orang. Sekali lagi, desa Wae Rebo bukan desa di pesisir tapi di pedalaman; sehingga dari sini kita dapat dengan tepat mengatakan bahwa pengetahuan tentang konstruksi ikat itu telah mampu menembus pedalaman dari daratan di pulau-pulau di Nusantara ini. Hal ini sekaligus menggugurkan pandangan yang selama ini mengatakan bahwa anak-anakbangsa Nusantara ini berada dalam keterisolasian.

Lembab
Lautan yang menjadi penghubung antar pulau juga memberikan kekhususan pada iklim yang ada di Indonesia. Iklim di Indonesia tidak hanya tropik, tetapi juga lembab, jadi beriklim tropik lembab.
Kelembaban dari iklim ini dipermantap oleh kekayaan hutan hujan tropik yang mengisi daratan Nusantara. Dengan kelembaban ini pula tubuh menjadi mudah sekali berkeringat serta udara berkurang kenyamanannya karena menimbulkan kegerahan. Berhadapan dengan kelembaban ini, sebuah penyelesaian yang cemerlang telah berhasil ditemukan oleh anak-anakbangsa Nusantara. Pertama, tidak merasa perlu untuk mengenakan pakaian. Penutup tubuh yang ada hanyalah penutup kelamin semata, atau lebih diperluas lagi adalah sebatas dari pusar hingga lutut. Busana seperti itu adalah norma kesopanan yang berlaku, dan itu berarti bahwa samasekali tidak porno sebagaimana kita sekarang ini menilainya. Dan karena itu tidaklah mengherankan bila hingga abad ke 16 Masehi kita masih bisa menyaksikan relief candi yang menggambarkan sosok manusia dengan busana yang seperti tersebutkan tadi. Dari wayang kulit di Jawa kita juga menyaksikan bahwa sebagian terbanyak tokoh yang digambarkan bertelanjang dada. Dihadapkan pada orang-orang yang bertelanjang dada ini orang-orang Eropa yang mengunjungi Nusantara menilainya sebagai tidak beradab (maklum, dalam adat dan budaya Eropa, ihwal berbusana yang menutup seluruh tubuh adalah sebuah tanda beradab). Dengan memperhatikan kenyataan bahwa bertelanjang dada adalah penyelesaian atas kelembaban yang tak dapat dihindari, tentunya dapat dibayangkan bagaimana semestinya bangunan yang didirikan untuk ‘mewadahi’ manusia Nusantara. Sebuah ruangan yang memakai dinding serba tertutup sudah pasti sulit untuk dipahami sebagai penyelesaian atas kelembaban ini. Betapa tidak, dalam hal berada di luar bangunan saja sudah tak berpakaian, bagaimana nyaman bila berada dalam ruangan yang serba berdinding tertutup. Dengan pencermatan seperti itu, dapat kemudian dikatakan bahwa bangunan yang mewadahi manusia yang harus berhadapan dengan kelembaban adalah bangunan yang tidak memiliki dinding tertutup. Sebuah beranda, serambi (teras) dan kolong bangunan adalah tempat-tempat di bangunan yang dapat mewadahi manusia yang berkeringat dan gerah karena kelembaban. Dangau-dangau di sawah serta warung dan gardu jaga juga dengan jitu menjadi wujud bangunan yang merupakan penyelesaian atas kelembaban yang menimbulkan keringat. Apabila terpaksa harus ada dinding, maka dinding ini adalah berupa kerai atau kalau mau lebih canggih, dinding yang berukir tembus seperti lazimnya sekat berukir. Bagaimana halnya dengan bagian bangunan yang berdinding, bahkan berdinding rapat tanpa jendela? Keadaan bangunan yang serba tertutup seperti itu akan sangat jitu bila digunakan untuk menyimpan barang serta untuk menghangatkan tubuh bila suhu udara menjadi dingin. Kalau tidur di malam hari dianggap sebagai menyimpan badan, maka bagian bangunan yang serba tertutup itu tidak hanya menyimpan barang tetapi juga menyimpan badan. Dengan demikian, bagian bangunan yang berdinding tertutup itu asal-muasalnya bukanlah sebuah tempat tinggal, melainkan tempat penyimpanan. Bagian dari rumah yang digunakan untuk berbagai kegiatan harian hadir sebagai serambi, beranda, dangau atau gardu serta kolong dari bangunan panggung. Kalau dipaksakan untuk disebut tempat tinggal, maka bagian yang berdinding rapat adalah tempat untuk tinggal di malam hari sedang di siang hari adalah di beranda, serambi atau kolong.
Dengan gambaran yang berdasar kelembaban seperti di depan, pembacaan denah dari arsitektur Nusantara akan menjadi sangat berbeda dari pembacaan denah dari bangunan Erorika. Di Nusantara, beranda, serambi dan kolong adalah tempat melangsungkan aktifitas siang hari. Bilik yang berdinding tertutup adalah tempat penyimpanan (termasuk menyimpan badan di malam hari). Pembagian bangunan dari irisan/potongan bangunan Nusantara juga bukan terdiri dari kepala-badan-kaki, melainkan terdiri dari atap-bilik-kolong. Bila antara bilik dengan muka tanah ada geladak, maka pembagiannya menjadi atap-bilik-geladak-kolong.
Dengan kelembaban maka ketropikan di Nusantara menjadi berbeda dari ketropikan di Afrika, misalnya. Daerah-daerah yang bertropik-lembab tentu tidak hanya Indonesia. Malaysia dan Philipina, juga segenap daerah kepulauan di Amerika Tengah adalah daerah-daerah yang beriklim tropik lembab. Di segenap tempat tadi, beranda atau kolong dan ruangan berdinding tertutup memang menghadirkan diri, sekaligus mendapat pendayagunaan yang serupa dengan yang di Nusantara. Yang menjadikan berbeda dari Nusantara adalah dalam bentukan atap bangunan. Sebagian banyak bangunan di Amerika Tengah adalah bentukan atap pelana atau atap perisai; sedang yang di Malaysia dan Philipina umumnya serupa dengan yang ada di Nusantara, jadi cukup berragam bentukannya.

Angin
Kita tidak perlu menyangkal betapa pentingnya angin ini bagi pelayaran mengingat adalah angin yang seakan menjadi motor bagi bergeraknya kapal dan perahu. Dengan kemampuan berlayar par pelaut dan peniaga Nusantara hingga Madagaskar di abad-abad sebelum Masehi, tak ayal lagi pengetahuan akan pola pergerakan angin, dan sudah barang tentu pengetahuan akan arus laut yang bergantiganti sepanjang tahun, telah sangat dikuasai. Sebutan mata-angin dapat dipastikan berawal dari ihwal pelayaran, bukan dari ihwal bercocoktanam. Laut dan gunung dijadikan titik rujukan bagi mataangin itu, sehingga arah ke laut dalam mataangin orang Bali dinamakan kelod, di Madura dinamakan Laok, sedang di Jawa dinamakan Lor. Sementara itu, dalam hal menyusuri sungai, motor penggerak dari kapal dan perahu bukan angin, melainkan dayung dan keras-lemahnya arus sungai dari hulu ke hilir, dan karena itu arah hilir dan arah hulu atau udik (mudik) lebih banyak digunakan.
Angin yang merupakan pergerakan udara dari dua tempat yang berbeda tekanan udaranya juga mampu didayagunakan dengan baik di daratan. Dalam keadaan normal (bukan dalam masa pancaroba khususnya), angin menjadi sumber utama bagi penyejukan udara. Angin yang berhembus dari laut akan membawa uap air dan mendatangkan udara yang lembab. Tetapi, bersamaan dengan angin yang berhembus itu, kepengapan udara dalam ruangan juga akan menjadi berkurang dengan cukup bena (signifikan). Di sini pula kolong, serambi dan beranda menjadi bagian dari bangunan yang dengan cemerlang mampu mendayagunakan hembusan angin guna menghadirkan ruangan yang nyaman (comfort). Melalui pembacaan atas asal angin berhembus, bangunan yang didirikan diarahkan agar dapat semaksimal mungkin memanfaatkan hembusan angin. Tidaklah mengherankan bila kebanyakan bangunan Nusantara didirikan dengan arah bubungan atap yang berlawanan dengan arah hembusan angin, seakan menjadi penangkap hembusan angin. Secara umum, arah hadap ke laut atau ke gunung adalah keletakan dari bangunan-bangunan Nusantara yang memakai bangun persegi empat; bangunan menjadi memanjang dan letaknya dibuat menangkap angin yang berhembus. Oleh karena itulah bangunan-bangunan di pantai utara Jawa memanjang dari timur ke barat dan menghadap ke ke laut Jawa (utara), sedang di daerah Jawa selatan, bangunan dibuat menghadap ke Samudra Hindia (selatan). Jikalau hubungan antara bangun geometrik dari denah bangunan menunjukkan adanya kaitan antara bangunan dengan arah angin, maka bangunan-bangunan dengan denah lingkaran rupanya bertempat pada daerah yang arah anginnya cenderung memutar, seperti misalnya di daerah lembah atau daerah yang dikelilingi oleh bukit. Selanjutnya, mengitari sekelompok gugus bangunan maupun sebuah gugus bangunan yang berdiri sendiri, pepohonan yang ditanam sepanjang pagar tapak lingkungan hunian serta pepohonan yang ditanam di seputar dusun diberi peran untuk menjadi pelambat lajunya hembusan angin.
Dengan hembusan angin yang menyejukkan dan dengan kelembaban yang dapat ditanggulangi dengan tinggal di beranda. Serambi atau kolong, maka keberadaan bilik di dalam bangunan menjadi nyaris tak terkunjungi di siang hari. Di malam hari saja bilik-bilik itu digunakan sebagai tempat untuk tidur, untuk menyimpan badan. Kegiatan harian yang lebih banyak terpusat pada sekeliling bagian luar bangunan memberi kesempatan bagi tampang luar bangunan untuk ditangani dengan citarasa estetika dan artistika yang mempesona. Tubuh luar bangunan tidak hanya kaya dengan ukiran (dan di percandian dielokkan dengan relief-relief), tetapi juga dengan menggunakan warna yang cerah dan segar. Tidak itu saja, sosok bagian atap juga menjadi sangat berragam perupaannya. Bagian bilik dan kolong boleh saja tanpa sentuhan artistika dan estetika yang menyita perhatian, tetapi tidak demikian halnya dengan bentuk atapnya. Nampaknya, demi penandaan bagian yang terpenting dan terutama dari sesuatu bangunan Nusantara, maka bentukan atap menjadi sangat mencolok penampilannya.

Kemarau dan Penghujan
Iklim tropik memang bukan iklim subtropik bukan pula iklim yang empat musim. Iklim tropik hanya mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Kalau mau dipaksakan menjadi empat musim, maka ada tambahan dua musim pancaroba, yakni pancaroba menuju penghujan dan pancaroba menuju kemarau. Salah satu pembeda mencolok antara iklim tropik dengan iklim subtropik adalah suhu udara. Bagi iklim subtropik rentang suhu udara dapat dipastikan mencakup suhu udara yang di sekitar nol derajat Celsius, sebuah suhu udara yang dalam iklim mereka berada dalam cakupan musim dingin. Suhu yang sangat rendah dalam musim dingin dengan langsung menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia yang berdiam di tempat itu. Dan karena itu tidak mengherankan bila mereka mengatakan bahwa iklim adalah ancaman, bahkan ancaman yang mematikan. Artinya, suhu yang rendah berpotensi mengakibatkan kematian. Dihadapkan pada ancaman kematian ini, tak ada jalan lain kecuali harus melindungi diri dari ancaman tadi. Di situ pula lalu muncul perumusan bangunan adalah perlindungan, arsitektur adalah tempat berlindung. Sebuah tindakan berlindung adalah tindaan menyembunyikan diri, dan oleh karena itu lawan yang mengancam sebisa mungkin tidak bisa mengetahui di manakah yang berlindung itu berada. Sebuah ketertutupan di semua sisi lalu menjadi jawaban dari pihak yang berlindung. Sebuah bangunan, karena dijadikan perlindungan adalah buatan manusia yang disemua sisinya tertutup; yaitu lantai, dinding dan atap semuanya serba tertutup. Sekurangnya tiga bulan lamanya orang harus berdiam di tempat yang serba tertutup, yang serba terpisah atau terisolasi dari dan lingkungan sekitar bangunan dan dunia luar. Perasaan ketersendirian yang dialami lalu membuat penghuni bangunan empat musim ini mengenal dengan baik perbedaannya dari kebersamaan.
Bagaimanakah halnya dengan iklim tropik seperti yang ada di Nusantara ini? Musim kemarau maupun musim penghujan tidak menghasilkan suhu udara yang selisihnya seekstrim seperti yang empat musim. Suhu udara juga samasekali tidak mampu menjadi ancaman bagi keselamatan hidup anak-anakbangsa Nusantara. Baik dalam musim kemarau maupun dalam musim penghujan orang tetap dapat menikmati hidup dengan busana yang hanya melingkari dari peerut hingga lutut. Terhadap terik matahari yang menyengat atau curah hujan yang demikian deras, cukuplah bernaung di bawah pohon yang sangat rindang. Kalau harus tetap melakukan perjalanan, orang Nusantara cukup memotong daun pisang atau daun keladi untuk menaungi kepala dan badan. Kalau mau mengenakan yang buatan sendiri, sebuah topi yang berdaun lebar atau sebuah payung juga sudah dapat menjadi penyelesaiannya. Dihadapkan pada keadaan yang dua iklim ini, bukan tindakan berlindung yang diperlukan, tetapi adalah tindakan bernaung atau berteduh. Dari sini tentunya sudah dapat dibayangkan bagaimanakah bangunan yang diperlukan bagi tanggapan terhadap iklim kemarau dan penghujan. Sepotong daun pisang atau keladi, sebuah topi lebar dan sebuah payung dan sebuah atap adalah tanggapan atas iklim tropik. Petikan dari naskah kuno di Jawa menggambarkan kebenaran dari hal itu “tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamekaken ngaub ing sangandhaping kajeng ageng” – orang yang menyusup ke dalam bangunan itu dapat diupamakan dengan bernaung/berteduh di bawah pohon yang rindang.
Kebutuhan utama akan bangunan dan arsitektur lalu bukan untuk dijadikan perlindungan sebagaimana dilakukan oleh bangunan di Erorika; yang dibutuhkan adalah sebuah pernaungan atau perteduhan. Arsitektur lalu bukan sebuah perlindungan; arsitektur adalah sebuah pernaungan. Itulah yang menjadi pengertian tentang arsitektur di Nusantara. Bagi kebutuhan seperti ini, yakni akan adanya pernaungan atau perteduhan, maka cukup hadirnya sebidang atap penaung atau peneduh yang menjadi jawabannya. Di depan telah dikatakan bahwa keaneka-ragaman bentukan atap itu berkaitan dengan peran penting dan terhormat dari bagian atap. Melalui peninjauan atas ketropikan yang berisi musim kemarau dan musim penghujan, tentu menjadi semakin mantap dan nyata bahwa unsur pertama dan utama dari arsitektur Nusantara adalah atap. Dengan peran dan kedudukan yang utama ini pula lalu struktur bangunan menjadikan tiang-tiang penyangga atap sebagai tiang-tiang utama.
Sementara itu, dihadapkan pada musim penghujan yang basah, permukaan tanah akan dengan langsung menjadi basah bila hujan tiba. Menanggapi kepastian basahnya tanah ini, sebentang geladak dapat dihadirkan, dan merentang di atara tiang-tiang yang menopang atap. Geladak ini sudah barang tentu membentuk jarak dengan muka tanah, membentuk kolong bangunan. Lantai bangunan yang berupa geladak ini lalu bukan hadir karena takut pada binatang buas, melainkan agar diperoleh bidang yang tidak becek. Selanjutnya, melihat bahwa kolong geladak ini dapat didayagunakan pula untuk berbagai kegiatan manakala musimnya bukan musim penghujan, maka letak geladak semakin ditinggikan dari muka tanah di satu sisi, dan di sisi lain dibangun pula penopang-penopang geladak. Kini konstruksi bangunan tidak lagi hanya berupa tiang-tiang penopang atap tetapi juga tiang-tiang penopang geladak.

Bangunan Kayu, Gempa dan Konservasi

Perbedaan mencolok antara arsitektur Erorika dari arsitektur Nusantara dapat pula dilihat dari bahan bangunan yang digunakan. Bila kita membuka buku sejarah arsitektur Eropa kita akan melihat bahwa semenjak jaman Yunani hingga jaman sekarang ini, bahan bangunan yang dominan dipergunakan adalah bahan-bahan bangunan yang anorganik. Ini berbeda dari bangunan di Nusantara yang menggunakan bahan bangunan yang organik, seperti kayu, bambu, alangalang, rumbia dan rotan. Pemakaian bahan bangunan yang organik ini mengandung sebuah konsekuensi langsung yang tidak dapat dihindari yakni aus dan lapuknya bahan itu dalam jangka waktu yang tertentu. Alangalang dan rumbia akan menjadi bahan yang paling cepat aus dan lapuk, kemudian disusul oleh bambu dan rotan, dan akhirnya kayu yang dipakai untuk tiang, balok dan bilah lantai serta bilah dinding sebagai yang paling lama mengalami keausan dan kelapukan. Bila ketiga jenis bahan itu dipakai bersamaan di sebuah bangunan, maka akan terjadi saat aus dan lapuk yang berbeda. Untuk mempertahankan bangunan agar tetap dapat didayagunakan, sudah barang tentu dituntut adanya penggantian bahan bangunan. Tuntutan seperti ini dengan langsung berkaitan dengan konstruksi yang digunakan; dituntut konstruksi yang dapat dicopot dan diganti tanpa harus merusak atau merubuhkan seluruh bangunan. Konstruksi ikat konstruksi cathokan serta konstruksi purus dan lubang adalah yang jitu. Di depan telah ditunjukkan bahwa arsitektur Wae Rebo yang hanya bermodalkan konstruksi ikat dapat menghadirkan diri sebagai bangunan yang seukuran bangunan setinggi lima lantai. Sebuah keberhasilan yang luar biasa! Tidaklah mengherankan bila para pendatang Eropa geleng-geleng kepala dan terkagum-kagum menyaksikan kehebatan bangunan Nusantara yang samasekali tidak menggunakan paku tapi bisa berdiri dengan kokoh.
Pemakaian paku dalam mengkonstruksi bangunan juga memperlihatkan perbedaan yang besar dari konstruksi yang tanpa paku. Bangunan yang tidak menggunakan paku akan menghasilkan konstruksi yang masih bisa bergoyang-goyang. Kemungkinan bergoyang ini ditopang pula dengan penggunaan alat yang belum memungkinkan untuk menghasilkan presisi yang tinggi, misalnya pada sambungan antara tiang dengan balok. Lubang pada tiang yang akan dimasuki oleh purus balok bisa saja satu atau dua sentimeter lebih longgar dari ukuran purus balok. Secara keseluruhan, konstruksi yang digunakan di arsitektur Nusantara menghasilkan bangunan yang bisa bergoyang-goyang. Bahkan, keadaan yang paling stabil dan kokoh dari bangunan di Nusantara itu akan dicapai bila bangunannya sedikit miring, tidak tegaklurus terhadap tempatnya berdiri. Dengan adanya kesempatan bagi bangunan untuk bergoyang ke sisi yang satu di saat yang tertentu, lalu bergoyang ke sisi lain dalam kesempatan yang berbeda, maka bangunan Nusantara ini lalu menjadi tak ubahnya dengan sebuah gubahan yang ‘hidup’, mengingat salah satu dari ciri dari keadaan yang hidup adalah adanya gerakan dari obyek bersangkutan. Di sini pula pengertian dari pengurip, penghidup, yang ada di sejumlah arsitektur anakbangsa Nusantara itu mendapatkan penjelasannya.
Dengan menamakan konstruksi di Nusantara ini sebagai konstruksi goyang (sebagai lawan dari konstruksi mati, sebutan bagi konstruksi yang menggunakan paku), kehandalan dari arsitektur Nusantara menjadi semakin terbukti bila dihadapkan dengan gempa. Gempa yang merupakan gerakan bumi secara tiba-tiba, dapat berupa gerak yang horisontal dan dapat pula hadir dalam gerakan yang vertikal. Dengan penerapan konstruksi goyang, saat gempa menerpa, bangunan dengan nikmat mengikuti saja irama dari gempa, apakah horisontal ataukah vertikal, ataukah keduanya secara bergantian atau bersamaan. Pada sebagian banyak bangunan Nusantara yang keletakannya tidak dilakukan dengan menanam tiang ke dalam tanah, maka dapat saja terjadi bangunan akan terguling dan tergolek di tanah di saat gempa berlangsung; bangunan samasekali tidak remuk seperti yang selalu terjadi pada bangunan tembok dan beton. Di sini sebuah kecemerlangan pengetahuan konstruksi telah ditunjukkan dan dibuktikan oleh bangunan Nusantara, yakni penerapan konstruksi goyang.
Gerakan konservasi adalah gerakan melestarikan bangunan agar mampu bertahan dalam perubahan waktu (dan ruang). Bagi dunia Erorika, konservasi dengan mempertahankan keaslian bangunan dapat dijalankan dengan tak banyak kesulitan. Maklum, bahan-bahan bangunannya sebagian terbesar adalah bahan bangunan yang anorganik. jikalau harus melakukan penggantian bahan, itu dapat dilakukan dengan harus tetap mengkuatirkan konstruksi dari bangunan. mencopot satu bata atau batu bisa saja mengakibatkan runtuhnya bangunan. Keadaannya akan sangat berbeda bagi konservasi di arsitektur nusantara. Hampir seluruh bangunan Nusantara dalah bangunan kayu, bangunan dengan bahan bangunan yang organik. Naluri dasar dari setiap bahan bangunan organik adalah mengalami penuaan, lapuk dan runtuh. pemikiran untuk mendapat bangunan yang mampu berusia ratusan tahun tentu tidak ada dalam pemikiran arsitektur Nusantara. yang ada ialah bangunan yang harus bisa mengalami penggantian bagian bangunan yang lapuk atau aus tanpa harus mengakibatkan bangunan runtuh. Atau, kalau memang harus mengganti seluruh bahan bangunannya, maka membuat bangunan baru yang sepersis mungkin dengan yang sudah tua dan aus adalah penyelesaiannya. Dengan demikian, konservasi di Nusantara adalah pelestarian yang mengharuskan penggantian. Bongkar dan ganti dengan yang persis dengan yang dibongkar, itulah tindakan konservasi yang berlaku di Nusantara.

Arsitektur Nusantara

Pencermatan atas arsitektur anak-anakbangsa Nusantara yang saya lakukan di depan bertitik-tolak atau berlandasan pada kenyataan geoklimatik Indonesia. Kenyataan ini dengan langsung menjadikan adanya keniscayaan akan adanya perbedaan dari kenyataan geoklimatik Erorika. Pengertian atau perumusan Erorika yang menjadikan arsitektur sebagai perlindungan lalu menjadi berbeda dari pengertian dan perumusan yang digunakan di Nusantara yakni arsitektur sebagai pernaungan atau perteduhan. Dalam hal arsitektur sebagai perlindungan bagian lantai, dinding dan atap adalah mutlak untuk hadir di bangunan, tidak demikian halnya dengan di Nusantara karena hanya memutlakkan hadirnya atap serta menganjurkan adanya geladak.
Selanjutnya, jikalau paparan itu dicermati, maka ihwal adat, sistem kepercayaan dan pandangan dunia (worldview), serta budaya dari anak-anakbangsa Nusantara, hampir-hampir tidak terikutkan dalam memunculkan pengertian sebagai pernaungan atau perteduhan. Dalam tulisan-tulisan saya yang lain, ihwal-ihwal itu saya cermati sebagai keping-keping perekam pengetahuan tentang arsitektur, bukan sebagai sistem budaya yang dicerminkan oleh arsitektur. Sikap saya yang menempatkan segenap ihwal itu sebagai keping rekaman pengetahuan saya dasarkan pada kenyataan bahwa anakbangsa Nusantara ini mewariskan pengetahuannya tidak dengan menggunakan tulisan, melainkan dengan menggunakan segenap ihwal tadi. Masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang bertradisi tanpatulisan; dan ini berbeda dari masyarakat Erorika yang bertradisi tulisan. Dengan tatapikir (mindset) tradisi tanpatulisan ini pula saya misalnya saja, memahami upacara pemasangan kuda-kuda dan bubungan atap di Jawa adalah sebuah bentuk pemeriksaan dan pengujian kehandalan konstruksi kuda-kuda. Selamatan yang diselenggarakan sebelum pemasangan kuda-kuda itu adalah sebuah wujud pengupahan tenaga kerja yang dirupakan sebagai barter antara tenaga dengan makanan yang disajikan.
Dari pencermatan saya di depan, kita menjadi memahami betapa mengagumkan kecemerlangan pengetahuan anakbangsa Nusantara ini di bidang arsitektur, dan oleh karena itu samasekali tak dapat dikatakan sebagai sebuah genius loci atau kearifan lokal (local wisdom) sebab kedua sebutan itu berlatarbelakang Erorika sebagai inti dan sebagai yang unggul, sedang di luar Erorika adalah tak ubahnya dengan ‘antah berantah’. Sebagai pengganti kedua sebutan itu, saya menggunakan sebutan cerlang-tara, yang adalah singkatan dari kecemerlangan Nusantara.
Di bagian awal dari paparan saya ini saya menjanjikan untuk menunjukkan bahwa arsitektur Nusantara itu berbeda dari arsitektur tradisional. Kiranya, melalui pasal yang terakhir ini kita semua telah dapat mengetahui bahwa arsitektur nusantara itu berbeda dari arsitektur tradisional. Arsitektur Nusantara mendasarkan pemahamannya atas arsitektur anakbangsa Nusantara pada pertama, kenyataan geoklimatik (kepulauan dan tropik lembab) serta yang kedua adalah kenyataan tradisi tanpatulisan. Di sini ihwal adat hingga upacara dan artefak menjadi rekaman-rekaman pengetahuan arsitektur. Sementara itu, arsitektur tradisional mendasarkan pemahamannya pada arsitektur sebagai cerminan budaya/kebudayaan, sebuah dasar yang tanpa disadari ternyata adalah ranah kajian budaya dan antropologi.

oleh: josef prijotomo

Surabaya, juni 2010