[Juara I Lection 2.0] Stigmatisasi COVID-19: Dilema dalam Komunikasi atau Permasalahan dalam Struktur Birokrasi? Oleh : Shofiyah Adila Farhana ( Universitas Indonesia )

Stigmatisasi COVID-19: Dilema dalam Komunikasi atau Permasalahan dalam Struktur Birokrasi?

Oleh : Shofiyah Adila Farhana ( Universitas Indonesia )

Beberapa dekade yang lalu, Emile Durkheim melalui literaturnya yang berjudul Le Suicide, menegaskan bahwa masyarakat memiliki potensi yang besar untuk memengaruhi kesejahteraan mental seorang individu melalui penetapan norma-norma sosial. Apabila suatu norma sosial berlandaskan atas pengetahuan dan ilmu yang cakap, maka norma sosial ini dapat mendorong pengembangan instrumen hukum dan kesejahteraan masyarakat. Contoh dari norma sosial yang progresif adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini dilandasi oleh norma di tengah masyarakat bahwa menggelapkan uang negara adalah kejahatan pidana.

Akan tetapi, apabila penetapan norma sosial tidak dilandasi oleh pengetahuan dan informasi yang akurat, maka norma sosial tersebut dapat memberikan peluang munculnya stigma dan diskriminasi, terutama terhadap golongan minoritas dan rentan. Kasus paling anyar yang kita temui saat ini adalah diskriminasi dan stigmasisasi terhadap tenaga medis dan pasien COVID-19. Terhadap masalah diskriminasi ini, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menganjurkan untuk meningkatkan penyebaran informasi dan komunikasi terkait COVID-19. Akan tetapi, penulis meyakini bahwa stigmatisasi dan diskriminasi yang muncul di Indonesia terhadap tenaga medis, pasien, bahkan jenazah COVID-19 bukan hanya tentang masalah komunikasi, melainkan adalah permasalahan struktural di dalam birokrasi.

Pertama, permasalahan ini muncul karena ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Ketidakpercayaan ini mengakar dari ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menangani COVID-19 meliputi sulitnya akses ke puskesmas untuk PCR, rumah sakit rujukan COVID-19 yang tidak tersedia di daerah-daerah tertentu, dan kurangnya sumber daya manusia di rumah sakit rujukan. Kedua, berita yang simpang siur mengenai penyebab COVID-19. Data menunjukkan bahwa masih ada orang Indonesia yang percaya bahwa COVID-19 merupakan alat pemusnah massal. Keengganan masyarakat terhadap pelayanan COVID-19 di Indonesia yang buruk ditambah dengan berita yang simpang siur mengenai COVID-19, memunculkan stigma bahwa seseorang yang terdeteksi positif sudah dekat dengan kematian dan dapat membawa kematian untuk orang lain. Apabila kondisi ini semakin parah, maka tenaga medis, pasien, dan korban jiwa COVID-19, akan dianggap sebagai warga kelas dua yang ditolak kehadirannya oleh masyarakat.

Oleh karenanya, stigmatisasi COVID-19 adalah masalah struktural di dalam birokrasi dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan memperlancar komunikasi. Salah satu negara di Asia Tenggara yang secara faktual diakui sebagai negara yang sukses dalam menangani COVID-19 dan menekan angka diskriminasi serta stigmatisasi terhadap pasien COVID-19 adalah Thailand. Dalam penanganan COVID-19, Thailand mengadopsi pendekatan “whole-of- society’ atau pendekatan yang berfokus terhadap kerjasama seluruh lapisan masyarakat hingga akar rumput (RT/RW) untuk melakukan sosialisasi menyeluruh terhadap COVID-19, menargetkan penanganan tes massal dan fasilitas kesehatan terhadap masyarakat rentan, serta memprioritaskan belanja negara untuk peningkatan anggaran kesehatan dan vaksin COVID-19 sebelum insentif ekonomi. Hasilnya, pasien positif COVID-19 hanya mencapai 1,14%, jauh lebih rendah dibanding angka rata-rata kematian COVID-19 di dunia yang mencapai 5,4%. Usaha yang maksimal ini menjadikan Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang bebas COVID-19 selama Juli-Agustus di tahun 2020.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hal yang perlu diperhatikan apabila Indonesia ingin melenyapkan stigma terhadap pasien dan tenaga medis COVID-19. Pertama, perbaiki birokrasi dan tata kelola kesehatan sehingga akses masyarakat terhadap puskesmas dan rumah sakit tidak terhalang persyaratan yang berbelit-belit. Kedua, manfaatkan komunitas-komunitas sosial hingga RT/RW untuk menyebarkan informasi valid mengenai COVID-19 hingga mencapai unsur terkecil masyarakat tanpa terkecuali. Ketika masyarakat mendapatkan jaminan bahwa adanya fasilitas kesehatan yang layak ditambah dengan pengetahuan dan informasi yang lengkap mengenai COVID-19, maka saat itulah, stigmatisasi dan diskriminasi terhadap COVID-19 akan turut berkurang.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

 

Heijnders, MI. “The Fight Against Stigma: An Overview of Stigma-Reduction Strategies and Interventions.” Journal Psychology, Health and Medicine 11 (September 2006). Hlm. 353-363.

Tantrakarnapa, K. dan B. Bhopdornangkul. “Challenging the Spread of COVID-19 in Thailand.” Journal One Health 11 (2020). Hlm. 1-9.

Internet

Greater Mekong Subregion. “Thailand Share Best Practices and Lessons Learned from the COVID-19 Pandemic.” https://greatermekong.org/thailand-shares-best- practices-and-lessons-learned-covid-19-pandemic diakses 27 Januari 2021.

United Nations. “Thailand’s COVID-19 Response an Example of Resilience and Solidarity.” https://news.un.org/en/story/2020/08/1069191 diakses 27 Januari 2021

United Nations AID. “Catalysing Zero Discrimination in Health-Care Settings in Thailand and Viet Nam.” https://www.unaids.org/en/resources/presscentre/featurestories/2018/july/zero- discrimination-health-care-settings-thailand-viet-nam diakses 27 Januari 2021.

Artikel

UKEssays. “The Social Factual Norms by Durkheim Sociology Essay.”

Ukessays.com. (November 2018).

Gedela, Keerti. “Shame and Fear: Lessons to Learn as COVID-19 Collides with a Growing HIV Epidemic in Indonesia.” The Conversation. (27 Agustus 2020).