Membaca Tanpa Batas: Bagaimana Satu Kunjungan Membuka Dunia untuk Anak dan Pemuda

Jakarta, 27 Agustus 2025 – Di tengah hiruk pikuk Jakarta yang tak pernah berhenti, ada sebuah ruang hening namun penuh makna. Perpustakaan Umum Daerah Jakarta Cikini menjadi saksi bisu pertemuan dua dunia: anak-anak sekolah dasar dengan rasa ingin tahu tak terbendung, dan pemuda-pemudi dari berbagai penjuru dunia yang datang membawa semangat berbagi.

Kunjungan edukatif ini diinisiasi oleh AIESEC in BINUS, sebuah organisasi kepemudaan berbasis universitas yang dikenal aktif menjalankan program pertukaran lintas budaya dan sosial. Namun kegiatan ini bukan sekadar pertemuan formal antara “mentor” dan “murid.” Yang terjadi jauh lebih personal—lebih hangat, dan jauh lebih manusiawi.

Anak-anak yang hadir diajak untuk menjelajahi dunia melalui cerita. Bukan hanya dari buku-buku yang mereka pilih sendiri, tetapi juga dari cerita hidup para relawan yang menemani mereka. Ada cerita tentang negeri-negeri yang belum pernah mereka kunjungi, tentang bahasa yang belum mereka pahami, dan tentang mimpi yang mungkin belum sempat mereka pikirkan.

Di salah satu sudut ruangan, Adrian Nadikita, seorang relawan lokal dari Jakarta, terlihat sedang tertawa bersama dua anak yang sedang memilih stiker untuk menghias tote bag. Bagi Adrian, hari itu bukan sekadar agenda rutin sebagai relawan—melainkan pengalaman yang menyentuh secara pribadi.

“Volunteering itu bukan hal yang selalu mudah, tapi hari ini rasanya seperti waktu istirahat yang bermakna. Kita ngobrol di bus, bahas buku, nyanyi bareng, sampai bikin tote bag. Bener-bener waktu yang bikin recharge,” ujarnya.

Ia menyadari bahwa anak-anak yang mereka dampingi bukan hanya peserta kegiatan, tapi rekan belajar. “Mereka ngajarin kita juga, tentang cara tertawa lepas, tentang ketulusan, dan tentang kenapa literasi itu penting.”

Di sisi lain ruangan, Hyojin Lee, peserta pertukaran dari Korea Selatan, tampak membantu seorang anak membaca buku berbahasa Inggris. Meski tak sepenuhnya memahami Bahasa Indonesia, ia tetap aktif terlibat. Interaksi tanpa batas bahasa ini justru menciptakan ikatan yang kuat.

“Saya datang dengan ekspektasi sederhana—sekadar menemani anak-anak membaca. Tapi ternyata ini jauh lebih menyenangkan. Kami bernyanyi, berdongeng, dan berkarya bersama. Rasanya seperti kembali jadi anak-anak,” kata Hyojin.

Ia juga mengaku bahwa perpustakaan ini sangat mendukung kegiatan interaktif. Anak-anak bisa membaca di lantai berumput sintetis, memilih duduk di sudut sunyi, atau sekadar berbincang santai dengan relawan yang mendampingi. Atmosfernya terbuka, ramah, dan penuh stimulasi.

Yang menarik dari kegiatan ini bukan hanya aktivitasnya, tapi dinamika hubungan yang terbangun. Anak-anak tidak lagi hanya menjadi penerima, tetapi juga pencipta pengalaman. Para pemuda tidak hanya menjadi fasilitator, tetapi juga teman belajar. Semuanya terjadi secara alami—tanpa naskah, tanpa formalitas kaku, hanya kemanusiaan yang saling bersentuhan.

Kegiatan ini menjadi contoh kecil bagaimana literasi bisa ditanamkan melalui interaksi, bukan hanya instruksi. Bahwa buku bukan satu-satunya media untuk belajar, dan bahwa perpustakaan bukan sekadar tempat menyimpan buku, tapi juga menyimpan rasa ingin tahu dan potensi masa depan.

Dalam konteks yang lebih luas, kegiatan ini menjadi kontribusi nyata terhadap misi pendidikan inklusif sebagaimana tertuang dalam SDG 4: Quality Education, serta SDG 17: Partnerships for the Goals. AIESEC in BINUS, melalui program ini, mendorong terciptanya kolaborasi lintas usia, budaya, dan latar belakang, demi tujuan bersama: menciptakan generasi muda yang sadar akan pentingnya belajar dan berbagi.

Tidak ada hasil ujian atau nilai akhir dalam kunjungan ini. Tidak ada sertifikat yang dibawa pulang. Tapi jika ada yang dibawa, mungkin itu adalah rasa hangat setelah tertawa bersama, semangat untuk kembali membaca, dan semoga, keinginan untuk suatu hari menjadi seseorang yang bisa berbagi kembali.