Dibalik Semua Acara, Ada Proses Belajar yang Jarang Terlihat
Di balik setiap acara yang terlihat sukses—lengkap dengan rundown yang tertib, visual yang menarik, dan kolaborasi yang berjalan lancar, selalu ada proses panjang yang jarang disorot. Mahasiswa datang, menikmati acaranya, pulang dengan inspirasi. Tapi bagi mereka yang berada di balik layar, pengalaman sesungguhnya justru terjadi jauh sebelum acara itu dimulai.
Bagi tim internal AIESEC in BINUS, setiap proyek adalah ruang belajar yang tidak bisa didapat dari ruang kelas. Entah itu proyek social impact seperti incoming Global Volunteer (iGV), rangkaian kampanye edukatif, atau event kolaboratif dengan mitra eksternal, setiap langkahnya menuntut koordinasi, adaptasi, dan komitmen tinggi.
Di tahap awal, ide hanya berbentuk tulisan kasar di slide proposal. Tim Project Management bersama tim lainnya akan duduk, berdiskusi, menata ide, dan bertanya: “Masalah apa yang ingin kita selesaikan?” dan “Apa nilai yang ingin kita bawa?”. Proses ini bisa berlangsung beberapa minggu, dengan revisi yang tidak terhitung jumlahnya.
“Bikin event bukan cuma soal punya ide. Kadang idenya bagus, tapi pas dikaji lebih dalam, nggak feasible. Di situlah kita belajar ngerem ego, dan bikin perencanaan yang realistis,” ujar salah satu anggota Project Management yang terlibat di program edukasi SDG.
Setelah konsep disepakati, mulailah proses yang sering kali lebih rumit: pembagian kerja, timeline ketat, negosiasi dengan partner, dan pengurusan perizinan. Masing-masing tim menjalankan fungsinya ada yang fokus ke eksternal, ada yang mengurus media komunikasi, ada yang menyusun kebutuhan logistik, dan ada pula yang harus memonitor dampak jangka panjang.
Dalam proses ini, tidak semua berjalan mulus. Timeline bisa bergeser, partner bisa berubah haluan, narasumber bisa batal di menit terakhir. Tapi justru dari situlah muncul keterampilan yang tidak bisa diajarkan lewat teori: manajemen risiko, kerja tim dalam tekanan, dan ketahanan menghadapi kegagalan.
“Pernah satu minggu sebelum acara, venue dibatalkan. Tim langsung harus cari alternatif, kontak ulang semua partner, dan ubah semua jadwal. Rasanya capek banget, tapi justru dari situ kami jadi solid,” .
Yang menarik, semua ini dilakukan oleh mahasiswa bukan profesional yang sudah bekerja bertahun-tahun. Tapi sistem di AIESEC in BINUS dirancang untuk memercayakan tanggung jawab nyata pada anggotanya, dengan bimbingan yang cukup namun tetap memberi ruang untuk belajar dari pengalaman langsung.
Salah satu proses yang tidak kalah penting adalah refleksi. Setelah acara selesai, tim tidak langsung “bubar”. Ada sesi evaluasi yang membedah semua aspek acara: apakah tujuan tercapai, bagaimana respons peserta, apa saja hambatan di lapangan, dan bagaimana perasaan anggota tim selama proses. Dari sini, organisasi bukan hanya berkembang, tapi juga menjadi tempat bertumbuh secara personal.
Mahasiswa yang pernah menjadi bagian dari proses ini sering kali mengatakan bahwa pembelajaran terbesarnya bukan dari kesuksesan acara, tapi dari proses menuju ke sana—dari lembur malam di ruang diskusi, dari perdebatan yang melelahkan, dari revisi berkali-kali, hingga dari momen rapuh yang membuat mereka saling menguatkan.
“Acara selesai dalam dua jam. Tapi prosesnya bisa dua bulan. Dan dua bulan itu yang bikin kita merasa punya cerita dan punya tempat,” ucap salah satu anggota AIESEC in BINUS yang terlibat dalam salah satu project.
AIESEC in BINUS bukan sekadar penyelenggara acara, tetapi ekosistem pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa untuk mencoba, gagal, dan tumbuh. Proyek bukan hanya output, tetapi perjalanan. Di sanalah pelajaran yang paling membekas tercipta—bukan dari standing ovation penonton, tapi dari langkah-langkah kecil yang dijalani dengan komitmen dan kesungguhan.
Karena pada akhirnya, keberhasilan sebuah acara tidak hanya diukur dari berapa banyak orang yang hadir, tapi dari berapa banyak anggota tim yang tumbuh dari proses menyelenggarakannya.