TANAMAN DENGAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Dahulu tumbuhan sering dimanfaatkan sebagai sumber obat. Secara adat tradisional, sistem pengobatan tradisional menggunakan produk tanaman untuk berbagai penyakit menular. Tanaman sedang di teliti lebih dalam secara ekstensif untuk menyimpan sifat obat. Tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat memiliki sifat antimikroba, antikanker, antiinflamasi, antidiabetik, hemolitik, antioksidan, sifat larvasidal Nimsha et al., 2010). Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dua pertiga hingga tiga perempat populasi dunia bergantung pada tanaman obat untuk kebutuhan penyembuhan penyakit dan perawatan kesehatan utama. Bahan aktif dalam campuran kompleks mendorong perkembangan kimia organik, fisiologi, dan farmakologi sebagai kontributor penting dalam praktik kedokteran. Dengan isolasi dan karakterisasi struktur produk alami terpilih, kimia organik sintetis menjadi kontributor penting untuk obat-obatan dan sejumlah obat-obatan penting yang dimodelkan pada produk alami mulai akan dikembangkan (McChesney et al., 2019). Pengembangan aspirin berdasarkan asam salisilat kulit pohon willow merupakan contoh klasik. Pengujian berbagai senyawa kimia terhadap penyakit parasit penting dan dilihat khasiat (Rao , et al., 2010).
Saat ini penggunaan obat antimikroba tanpa melihat pandang bulu telah menyebabkan resistensi beberapa obat dalam mikroorganisme patogen manusia. Selain masalah ini, hipersensitivitas, penekanan kekebalan dan reaksi alergi yang menjadikan efek samping antibiotik pada inang. Situasi ini mejadikan ilmuwan untuk mencari agen antimikroba baru dan efektif untuk menggantikan rejimen saat ini (Kumar, et al., 2010). Menurut ahli farmakologi, negara-negara maju sudah sering menggunakan obat tradisional, sekitar 1.400 tanaman herbal digunakan untuk obat tradisional. Beberapa tanaman yang mengandung senyawa aktif dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Tanaman yang digunakan untuk antimikroba disebabkan oleh senyawa yang disistensis dalam metabolisme sekunder. Mempelajari sifat antimikroba nabati memberikan informasi tambahan dalam mengembangkan antibiotik alami dan menemukan alternatif obat antimikroba untuk pengobatan penyakit menular (Saad, Shahbudin et al., 2012).
Komponen fenolik termasuk bagian dari dari minyak esensial, serta dalam tanin. Minyak atsiri dari tanaman aromatik dan obat mendapat perhatian khusus sebagai agen alami yang potensial dalam pengawetan makanan karena efektivitasnya terhadap berbagai mikroorganisme. Staphylococcus aureus merupakan bakteri komensal dan patogen manusia. Penyebab utama bakteremia dan endokarditis infektif (IE) serta osteoartikular, kulit dan jaringan lunak, pleuropulmoner, dan infeksi terkait perangkat (Tong, et al., 2015).
No | Nama Tanaman | Pelarut | Bagian Tanaman | KHTM (mg/ml) | Diameter hambat (mm) | Refrensi |
1 | Alpinia galangal | Heksan | Akar | <0,625 | 34,1 | (Rao & Ch, 2010)
|
2 | Melia azedarach | Etanol | Biji | – | 26 | (Sen & Batra, 2012) |
3 | Sonneratia alba | Metanol | Daun | 1,110
|
12,5
|
(Saad et al., 2012) |
4 | L. pulcherrima | Minyak Atsiri | Daun | 3,9 | 22.0 ± 0,51 | (Joshi, Verma, & Mathela, 2010) |
5 | Garcinia mangostana | Etil Asetat | Daun | 0,025 | 12.9 ± 0.7 | (Radji et al., 2011) |
6 | Calotropis gigantea | Aqueous esxtract | Daun | 50 | 13,3 ± 1,15
|
(Kumar, Karthik, Venkata, & Rao, 2010) |
7 | Mentha piperita L | Minyak atsiri | Daun | 0,5 ± 0,03 |
17,2 ± 0,9 | (Singh, Shushni, & Belkheir, 2011) |
8 | Theobroma cacao | Etanol | Kulit | 800 | 10 | (Mulyatni, Budiani, & Taniwiryono, 2012) |
9 | Acalypha indica | Etanol | Daun | 20 | 14,53 | (A. N. Alam, Bintari, & Mubarok, 2017) |
10 | Kappaphycus sp. | n-heksan | Rumput Laut | 0,25 | 2 | (Mulyawati & Eso, 2016) |
Pembahasan
Bakteri Staphylococcus aureus termasuk bakteri aptogen yang dapat mengakibatkan infeksi, seperti infektif endokarditism, bacteremia, infeksi kulit dan jaringan kulit, osteoarticular, dan juga infeksi pleuropulmonary. Bakteri Staphylococcus aureus berevolusi menjadi Methycillin- Resistant Staphylococcus aureus atau yang disebut dengan MRSA. Methycillin-Resistant Staphylococcus aureus memiliki strain yang disebut Community-Associated Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) yang dapat menyebabkan infeksi pada setiap individu yang sehat tanpa terdapat factor resiko yang dapat diprediksi. MRSA merupakan pathogen yang merugikan pada lingkungan masyarakat. Berdasrkan penelitian, diketahui Staphylococcus aureus memiliki resistensi terhadap antibiotic diantaranya yaitu penisilin, tetrasiklin, metisilin, dan vankomisin.
Senyawa metabolit sekunder tanaman yang memiliki fungsi sebagai antibakteri yaitu alkaloid, flavonoid, steroid/triterpenoid, fenolik, dan juga minyak atsiri. Besar kecilnya
kandungan senyawa yang dapat dipengaruhi oleh beberapa factor, salah satunya yaitu pemilihan jenis pelarut yan digunakan. Hal ini dipengaruhi dari tingkat kepolaran pelarut dan senyawa yang diekstrak. Senyawa yang akan larut pada pelarut memiliki kepolaran yang sama.
Pengujian antibakteri dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode difusi dan dilusi. Metode difusi terdiri dari lima metode yaitu metode disc diffusion, metode E-Test, Teknik Ditch plste, Teknik Cup-plate, dan Teknik Gradient-plate. Pada pengujian ini digunakan metode disc diffusion method dan agar well diffusion method. Biasanya metode difusi digunakan untuk menguji efek obat kimia pada bakteri. Well diffusion digunakan untuk mengetahui ekstrak tumbuhan dalam hal penghambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Metode dilusi yang digunakan diantaranya yaitu broth microdilution method, serial dilution, dan broth microdilution method. Hasil yang didapatkan berupa diameter zona inhibisi dan konsentrasi hambat tumbuh yang dapat disebutkan minimu inhibitory concentration (KHTM/MIC). MIC yaitu konsentrasi minimum yang menghambat pertumbuhan bakteri uji. Zona bening yang terdapat disekitar zat antimikroba membuktikan kekuatan penghambatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang ditandai adanya diameter zona hambat transparan. Setiap ekstrak tanaman dapat terjadi perbedaan KHTM , hal ini disebabkan ada variasi pada konstituen kimia dan sifat volatile dari konstituennya. Karakter hidrofobositas dari ekstrak tanaman dapat dihubungkan dengan efek antibakteri dari ekstrak tanaman, hal ini dapat bereaksi dengan protein dari membrane sel mikroba dan mitokondria yang sebagai mengganggu struktur dan mengubah permeabilitasnya.
Peningkatan aktivitas antibakteri pada tanaman terdapat meningkatnya konsentrasi ekstrak, yang memberikan zona inhibisi yang lebih tinggi dalam plat yang mengandung ekstrak dengan factor pengenceran lebih rendah.Efektevitas dari suatu zat antibakteri dapat dikelompok sebagai berikut:
Diameter Zona Terang (mm) | Respond Hambat Pertumbuhan |
>20 | Kuat |
16-20 | Sedang |
10-15 | Lemah |
<10 | Tidak ada |
(Greenwood, 1990).
Maka dapat diketahui ekstrak tanaman yang memiliki aktivitas kuat yaitu ekstrak dari Alpinia galangal, Melia azedarach, dan L. pulcherrima. Alpinia galangal memiliki aktivitas antimikroba yang kuat yang dapat dijadikan pengembangan obat-obatan alami karena seluruh bagian tumbuhannya dapat digunakan.
Senyawa yang dikandung Alpinia galangal yaitu fenilpropanoid, monoterpene, sesquiterpene dan minyak essensial yang dapat membantu dalam memeriksa resistensi antibiotik A. Melia azedarach mengandung senyawa etanol methanol, eter minyak bumi dan ekstrak cair yang dapat menghambat bakteri pathogen yang diuji sehingga menjadi antimikroba yang memiliki potensial sebagai pengembangan industri farmasi. Minyak dari L. pulcherrima memiliki nilai penghambat lipid peroksida yaitu IC50-0,74 mg/ml yang menunjukan aktivitas antibakteri yang sedang hingga tinggi terhadap E.coli, S. enterica, P. multocida, Staphylococcus aureus.
Hasil dari beberapa jurnal dapat disimpulkan ekstrak tanaman mempunyai sifat antibakteri terhadap dan juga terdapat perbedaan kekuatan untuk menghambat pertumbuhan yang bergantung pada metabolit sekunder yang terdapat ekstrak tanaman.
Reference:
Alam, A. N., Bintari, S. H., & Mubarok, I. 2017. Penentuan Konsentrasi Minimum Ekstrak Daun Anting-Anting ( Acalypha indica L .). Life Science. Vol. 6(1): 34–39.
Kumar G., Karthik L., and Bhaskar Rao. 2010. Antibacterial activity of aqueous extract of Calotropis gigantea leaves An in vitro study. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research. Vol. 4 No. 2.
McChesney J. D., Dou J., Harrington P. B. 2019. The Development of Botanical Drugs A Review. Pharmaceut Reg Affairs. Vol. 8 No. 2.
Mulyatni, A. S., Budiani, A., & Taniwiryono, D. 2012. Aktivitas antibakteri ekstrak kulit buah kakao (Theobroma cacao L .) terhadap Escherichia coli , Bacillus subtilis , dan Staphylococcus aureus. Menara Perkebunan. Vol. 80(2): 77–84.
Mulyawati, S. A., & Eso, A. 2016. Uji Daya Hambat Fraksi Rumput Laut Merah Kappaphycus sp. terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus. Jurmal Medula. Vol. 4: 303–308.
Nimsha S. W., Nola C., Mark S. T., Gary A. D. 2010. In vitro antimicrobial activity of less- utilized spice and herb extracts against selected foodborne bacteria. Food Control. Vol. 21: 1408–1414
Radji, M., Sumiati, A., Rachmayani, R., & Elya, B. 2011. Isolation of fungal endophytes from Garcinia mangostana and their antibacterial activity. African Journal of Biotechnology. Vol. 10(1): 103– 107.
Rao Kiranmayee, Ch. Bhuvaneswari, Lakshmi M., and Archana G. 2010. Antibacterial Activity of Alpinia galanga (L) Willd Crude Extracts. Applied biochemistry and biotechnology. Vol. 162:871- 84.
Saad S, Taher M, Susanti D, Qaralleh H, Awang AF. 2012. In vitro antimicrobial activity of mangrove plant Sonneratia alba. Asian Pac J Trop Biomed. Vol. 2(6):427‐429.
Sen, A., & Batra, A. 2012. Evaluation of Antimicrobial Activity of Different Solvent Extracts of Medicinal Plant: Melia Azedarach L. International Journal of Current Pharmaceutical Research. Vol. 4(2).
Singh, R., Shushni, M. A. M., & Belkheir, A. 2011. Antibacterial and antioxidant activities of Mentha. Arabian Journal of Chemistry. Vol 8(3).
Joshi, S. C., Verma, A. R., & Mathela, C. S. 2010. Antioxidant and antibacterial activities of the leaf essential oils of Himalayan Lauraceae species. Food and Chemical Toxicology.Vol. 48(1): 37– 40.
Tong S. Y. C., Davis J. S., Eichenberger E., Holland T. L., Fowler V.G. 2015. Staphylococcus aureus infections: epidemiology, pathophysiology, clinical manifestations, and management. Clin Microbiol Rev. Volume 28 No. 3.
Weerakkody, N. S., Caffin, N., Turner, M. S., & Dykes, G. A. 2010. In vitro antimicrobial activity of less-utilized spice and herb extracts against selected food borne bacteria.Food Control. Vol. 21(10):1408– 1414.