Meningkatnya Kekerasan Terhadap Wanita dan Anak Perempuan Selama Pandemi di Indonesia

Kesetaraan gender bukan hanya hak asasi manusia yang bersifat dasar, namun juga merupakan landasan yang diperlukan untuk dunia yang sejahtera, damai, dan berkesinambungan. Isu ini telah menunjukkan kemajuan selama beberapa waktu terakhir yang ditandai dengan banyaknya anak perempuan yang bersekolah, berkurangnya anak perempuan yang dipaksa untuk menikah di usia dini, banyaknya perempuan yang bekerja di parlemen dan mendapat posisi sebagai pemimpin, dan undang-undang yang direformasi untuk memajukan kesetaraan gender.

Walau begitu, masih ada beberapa tantangan yang harus kita hadapi terkait dengan kesetaraan gender. Salah satu di antaranya adalah kekerasan fisik atau seksual yang terjadi di kalangan masyarakat, terlebih di dalam keluarga. Meskipun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan sejak Mei 2020, kekerasan yang terjadi selama pandemi COVID-19 justru meningkat di Indonesia. Penambahan beban yang dirasakan oleh masyarakat akibat situasi krisis di berbagai bidang ­– dari kesehatan hingga ekonomi – menyebabkan wanita dan anak perempuan menjadi sasaran bagi pelaku kekerasan yang menggunakan beban dan kesulitan mereka sebagai alasan melakukan kekerasan.

Oleh karena itu, tujuan dituliskannya artikel ini adalah untuk mengetahui tingkat kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan yang terjadi selama pandemi COVID-19. Dengan mengetahui tingkat kekerasan ini, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan kesadarannya untuk lebih berhati-hati walaupun hanya menetap di rumah.

Pada data penelitian yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat beberapa responden wanita yang menjawab bahwa selama pandemi COVID-19, hubungan dengan pasangan mereka menjadi lebih tegang. Rata-rata usia responden tersebut adalah 31-40 tahun yang kebanyakan adalah pasangan menikah dengan penghasilan di bawah 5 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara tingkat keharmonisan dengan masalah ekonomi yang dialami selama masa pandemi. Secara umum, kekerasan psikologis dan ekonomi lebih sering dialami oleh responden dibandingkan dengan kekerasan fisik dan seksual di dalam suatu keluarga. Tidak hanya itu, ternyata anak juga teridentifikasi sebagai korban kekerasan di dalam rumah tangga. Persoalan ekonomi yang dihadapi masyarakat mendorong terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga.

Kekerasan yang terjadi juga disebabkan oleh rendahnya literasi teknologi masyarakat dalam mengakses layanan pengaduan, masalah kerja dari rumah, dan sekolah dari rumah. Upaya untuk melaporkan kekerasan ini ke Lembaga-lembaga yang berwenang juga menurun selama pandemi karena adanya sikap diam saja atau memberitahukan kepada orang yang lebih dekat dengan mereka. Hal ini juga disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat untuk menyimpan kontak layanan pengaduan. Berikut lampiran data responden berdasarkan provinsi.

Pada artikel lainnya, dikatakan bahwa tingkat kekerasan meningkat sejak masa pandemi COVID-19 sebanyak 75%. Angka ini adalah data yang dicatat oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Komnas Perempuan. Pada data ini juga ditunjukkan bahwa kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik yang jumlah kasusnya mencapai 5.548 kasus. Disusul oleh kasus kekerasan seksual sebanyak 4.898 kasus dan kekerasan psikis sebanyak 2.123 kasus.

Dari hasil di atas, dapat dilihat bahwa tingkat kekerasan saat pandemi COVID-19 meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh tingkat stress yang juga meningkat akibat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Adanya peraturan ini, membatasi para pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Beberapa hal lain, seperti pemutusan hak kerja (PHK), pemotongan gaji, dan pembatasan masuk kantor menjadi alasan-alasan meningkatnya stress pada masyarakat.

Alasan-alasan tersebut dijadikan dasar bagi para pelaku kekerasan untuk melancarkan aksinya. Wanita dan anak perempuan biasanya menjadi sasaran empuk bagi para pelaku karena pengaruh beberapa factor, misalnya beban domestic dan kesulitan ekonomi. Dua hal tersebut menjadi alasan kerentanan wanita dan anak perempuan meningkat.

Bagi wanita yang bekerja, mereka harus menyeimbangkan antara pekerjaan, rumah tangga, dan pendamping bagi anaknya. Di masa pandemi, anak-anak menjalankan sekolah mereka dengan cara school from home yang mengakibatkan para ibu – secara otomatis ­– harus menjadi pendamping juga guru privat bagi anaknya. Selain itu, wanita yang bekerja juga mengemban tugas untuk mengurus rumah tangga, seperti menyiapkan makanan dan membersihkan rumah karena sebagian dari mereka tidak lagi mempekerjakan pembantu. Mereka terpaksa tidak mempekerjakan pembantu karena adanya PSBB. Tidak hanya itu, wanita yang bekerja juga harus membagi waktu untuk melakukan pekerjaannya di rumah. Oleh karena itu, wanita harus bisa melakukan peran ganda ini. Namun, hal tersebut juga dapat menambah beban yang berat bagi wanita.

Ketika wanita tidak bisa memenuhi tugasnya, mereka menjadi lebih rentan terhadap tindak kekerasan. Kebanyakan orang Indonesia menganggap bahwa wanita bertanggung jawab dalam menyiapkan dan menyediakan makanan. Namun pada masa pandemi ini, wanita justru kesulitan untuk memenuhi hal tersebut karena melonjaknya harga makanan sehingga wanita harus merogoh uang lebih banyak untuk membeli bahan makanan demi keluarganya. LBH APIK menerangkan bahwa wanita lebih rentan terhadap kekerasan saat rumah tangganya tidak mendapatkan mekanan yang cukup.

Kesulitan ekonomi pun juga menjadi salah satu alasan bagi perempuan rentan akan kekerasan. Ketika pendapatan rumah tangga berkurang, sedangkan pengeluaran justru menjadi lebih banyak, ketegangan dalam rumah tangga akan meningkat. Kesulitan ekonomi ini, sering menjadi alasan bagi para pelaku kekerasan untuk melakukan aksinya.

Kebijakan pemerintah dalam mencegah penyebaran COVID-19 menyebabkan wanita kesulitan untuk mendapatkan bantuan. Adanya batasan-batasan akses terhadap layanan tersebut membuat wanita repot untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Literasi internet yang rendah juga kurangnya kesadaran untuk menyimpan kontak layanan pengaduan merupakan alasan lainnya wanita tidak melaporkan kekerasan dan lebih memilih untuk diam saja atau mencari bantuan melalui kerabat dekat.

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

  1. COVID-19 berdampak pada meningkatnya tingkat kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan karena berbagai batasan yang dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus tersebut.
  2. Kerentanan wanita dan anak perempuan menjadikan mereka sebagai sasaran tindak kekerasan. Peran ganda yang harus bisa dilakukan oleh wanita menjadi alasan kerentanan meningkat juga beban yang ditanggung menjadi lebih berat. Beban domestic serta kesulitan ekonomi pun turut menjadi alasan kerentanan wanita meningkat.
  3. Tindak kekerasan yang sering dialami wanita dan anak perempuan adalah kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan kekerasan ekonomi.
  4. Batasan-batasan yang tercipta akibat virus COVID-19 membuat wanita lebih memilih untuk diam saja atau meminta bantuan kepada kerabat dekat saat mereka mengalami tindak kekerasan.

Fiona Ramadhita Kasde