Stigma Negatif Terhadap Kesehatan Mental Berujung Fatal

Coba kamu perhatikan respon masyarakat ketika seorang selebritas mengungkapkan gangguan mental yang ia derita. Contohnya Sulli, mantan anggota girl group Korea yang mengakui bahwa ia sedang menderita gangguan mental, alih – alih mendapatkan simpati, masyarakat malah berbuat sebaliknya. 

Saat ini, kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental masih perlu ditingkatkan dan diungkapkan. Stigma negatif seputar masalah kesehatan mental seringkali disebabkan oleh kurangnya pemahaman. Pemahaman terhadap gangguan jiwa yang berakar pada sejarah – sejarah kelam seperti era Demonology atau keadaan dimana seseorang yang menderita gangguan jiwa dianggap kerasukan setan, atau era dimana seseorang yang menderita gangguan jiwa dianggap sebagai praktek ilmu sihir. Stigma – stigma negatif yang ada di zaman modern ini terbentuk dari sejarah – sejarah kelam tersebut. 

Seorang psikolog, Wirdatul Anisa, M.Psi. mendefinisikan stigma sebagai label negatif yang diberikan kepada individu atau kelompok tertentu oleh masyarakat. Akibat dari stigma ini, orang dengan gangguan mental sering kali mengalami penundaan dalam mencari bantuan bahkan ada yang enggan untuk mencari pertolongan sama sekali. Hal ini sesuai dengan studi pada jurnal yang digarap oleh Cooper, Corrigan, dan Watson, bahwa salah satu hambatan atau hal yang dapat mencegah penderita gangguan mental mendapatkan perawatan adalah stigma. 

Stigma ini dikelompokkan menjadi 2, yaitu Public Stigma dan Self Stigma. Public Stigma adalah Reaksi negatif dari masyarakat umum terhadap mereka yang memiliki penyakit fisik atau gangguan mental. Sedangkan Self Stigma adalah berkurangnya harga diri dan kepercayaan diri pada seseorang yang memiliki penyakit. Stigma – stigma ini dapat ‘diobati’ dengan mengikuti program Go-To Educator Training yaitu program pelatihan yang dirancang untuk membekali para pendidik dengan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi sumber daya utama dalam mendukung siswa, terutama dalam hal kesehatan mental dan kesejahteraan. 

Penting untuk menyadari dampak serius stigma negatif terhadap kesehatan mental dan mengambil langkah untuk mengubah persepsi masyarakat. Pendidikan yang lebih luas dan dukungan berkelanjutan diperlukan untuk menghilangkan stigma dan mendorong mereka yang membutuhkan untuk mencari bantuan tanpa rasa takut atau malu. Program seperti pelatihan Go-To Educator dapat membekali para pendidik dan masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka perlukan untuk mendukung kesehatan mental secara efektif. Melalui upaya kita juga dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan saling memahami sehingga setiap orang dapat merasa aman dalam perjalanannya menuju kesehatan mental.

 

Referensi

  • Cooper, A. E., Corrigan, P. W., & Watson, A. C. (2003). MENTAL ILLNESS STIGMA AND CARE SEEKING. The Journal of Nervous and Mental Disease, 191(5), 339–341. https://doi.org/10.1097/01.nmd.0000066157.47101.22
  • Indonesia masih darurat stigma tentang kesehatan mental. SAATNYA #KEJARMIMPI UNTUK INDONESIA. (n.d.). https://kejarmimpi.id/indonesia-masih-darurat-stigma-tentang-kesehatan-mental.html 
  • S. (2023, April 4). Stigma Buruk Gangguan Kesehatan Mental Hambat Pemulihan Pasien. Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/22185-stigma-buruk-gangguan-kesehatan-mental-hambat-pemulihan-pasien/https://ugm.ac.id/id/berita/22185-stigma-buruk-gangguan-kesehatan-mental-hambat-pemulihan-pasien/
Annisa Nabilah Cholfa