SELF DIAGNOSE YANG BERAKIBAT FATAL BAGI MENTAL ILLNESS
Sumber: https://www.gramedia.com/best-seller/self-diagnosis/
Masuknya era digitalisasi dimana banyaknya informasi mudah diakses, semakin banyak individu yang mendiagnosa diri sendiri terhadap kondisi kesehatan mental mereka. Meski informasi yang ada mudah untuk diakses dan pahami, namun melakukan diagnosa terhadap diri sendiri akan berakibat fatal. Self-diagnose merupakan sebuah kondisi seseorang yang mendiagnosa diri sendiri terkait gangguan atau penyakit yang dideritanya berdasarkan informasi yang diperoleh secara mandiri. Individu cenderung untuk mencocokan gejala-gejala yang dialaminya dengan informasi atau pengalaman orang lain.
Dengan adanya dorongan untuk mencari tau terkait informasi tentang kesehatan mental, penting bagi kita untuk memahami dampak apa yang timbul saat individu menafsirkan kondisi kesehatan mental mereka. Mental illness bukan hanya sekedar kondisi kesehatan yang dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang, namun Mental illness melibatkan kompleksitas individu yang memerlukan pendekatan professional untuk mendapatkan diagnosa yang sesuai dan perawatan yang tepat. Mental illness memiliki ciri-ciri seperti sering merasa sedih, kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi, kekhawatiran yang berlebih, perubahan mood yang drastis, delusi, halusinasi, stres, sulit tidur atau tidur yang berlebih, kebiasaan makan yang berubah, hingga berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Untuk self-diagnose sendiri, memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan mental illness. Menurut salah satu psikolog, Adriana Amalia, M.Psi, Psikolog Klinis dan CEO Asa Berdaya, salah satu ciri-ciri orang yang melakukan self-diagnose adalah adanya keyakinan atas pendirian yang belum tentu benar dan cepat panik terhadap gejala atau indikator tertentu. Seringkali, kedua sifat ini membuat orang yang melakukan self-diagnose stres dengan informasi yang diterimanya, sehingga berakibat pada penyangkalan terhadap kesehatan mental itu sendiri dan terkadang menolak berkonsultasi dengan ahli (psikolog atau psikiater).
Meskipun demikian, self-diagnose tidak sepenuhnya buruk. Seorang ahli psikiatri dari Universitas Indonesia, dr. Sylvia Detri Elvira, SpKJ(K) menyatakan bahwa self diagnose sendiri dapat meningkatkan self-awareness, yakni kesadaran akan dirinya sendiri dan tau apa yang harus dilakukan. Hal ini akan membuat orang tersebut menghindari hal-hal yang membuatnya “sakit” dan berpikir bahwa ia membutuhkan psikiater atau psikolog untuk memastikan diagnosanya dan melakukan penanganan.
Bahaya dari self-diagnose sendiri dapat membuat diagnosis yang salah, dan dapat membuat seseorang mengkonsumsi obat-obatan yang salah karena mengikuti apa yang diketahui dan belum tentu valid. Apabila ada gangguan kesehatan lain yang lebih serius, self-diagnose dapat membuat gangguan kesehatan tersebut tidak terdeteksi. Contohnya, seseorang mengira dirinya sedang mengidap mental illness, padahal sebenarnya ada tumor yang bersarang di otaknya. Self-diagnose sendiri dapat memicu gangguan kesehatan yang lebih parah lagi, karena kekhawatiran tidak berdasar yang mengundang stres.
Sebagai saran, kami menyarankan menjadwalkan pertemuan dengan ahlinya, seperti psikiater atau psikolog sebagai pilihan pertama. Psikiater atau psikolog akan melakukan beberapa pemeriksaan, pemeriksaan penunjang, analisis. Sehingga para ahli dapat melakukan observasi lebih lanjut. Saran lainnya adalah mengikuti tes kesehatan mental seperti MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory), Tes Kepribadian Ganda, dan Psychological Test.
Tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) sendiri digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan mental seseorang melalui dua tipe tes, yaitu MMPI-2 dan MMPI-A. Yang dimana MMPI-2 digunakan psikolog dan diperbarui menjadi MMPI-2-RF, dan MMPI-A untuk remaja. Kemudian, tes kepribadian ganda sendiri dilakukan secara online dengan dua tipe, yaitu tes yang fokus dengan gangguan kesehatan mental (platform Psymed dan Mind Diagnostic) dan tes yang fokus pada gangguan kepribadian (Personality Disorder Test). Terakhir, adalah Psychological Test, yaitu tes kesehatan mental online dengan catatan tes tersebut harus dari penyedia yang akurat.
References
- Amelia, D. (2022, October 28). Bedanya Tes Kesehatan Mental Sama Self Diagnose. Riliv. Retrieved December 10, 2023, from https://riliv.co/rilivstory/ada-tes-kesehatan-mental/
- Gumilang, N. A. (2022, March 28). Self Diagnosis: Pengertian, Ciri, Bahaya, dan Cara Mengatasinya. Gramedia. Retrieved December 10, 2023, from https://www.gramedia.com/best-seller/self-diagnosis/
- Kinanti, K. A. (2022, November 15). Arti dan Ciri Self Diagnose Menurut Psikolog. detikHealth. Retrieved December 10, 2023, from https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6406608/arti-dan-ciri-self-diagnose-menurut-psikolog
- Lifepack. (n.d.). Bahaya Self Diagnosis untuk Kesehatan Mental. Lifepack.id. Retrieved December 10, 2023, from https://lifepack.id/bahaya-self-diagnosis/
- Makarim, d. F. R. (2023, July 11). Bahaya Self-Diagnosis yang Berpengaruh pada Kesehatan Mental. Halodoc. Retrieved December 10, 2023, from https://www.halodoc.com/artikel/bahaya-self-diagnosis-yang-berpengaruh-pada-kesehatan-mental
- Nushratu, H., & Putri, G. S. (2019, October 16). Meski Berbahaya, Self Diagnosis juga Bisa Membawa Dampak Positif. Berita Sains Teknologi Terbaru Hari ini – Kompas.com. Retrieved December 10, 2023, from https://sains.kompas.com/read/2019/10/16/103200623/meski-berbahaya-self-diagnosis-juga-bisa-membawa-dampak-positif
- Primananda, d. A. P. (2022, August 16). Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Retrieved December 10, 2023, from https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1314/definisi-mental-illnessgangguan-mental