International Webinar Series with NUNI
International Webinar Series: Dealing with People with Mental Issues and Taking Actions Against Bullying
Mental issues merupakan suatu hal yang sangat perlu diperhatikan keberadaannya. Mental issues sendiri merupakan situasi dimana seseorang tersebut memiliki mental illness atau gangguan mental yang menyebabkan terganggunya orang tersebut dari segi perilaku, perasaan, hingga suasana hati. Banyak dari mereka yang memiliki mental issues disebabkan oleh adanya perilaku bullying yang dilakukan oleh orang sekitarnya. Dari bullying tersebut dapat menjadikan seseorang trauma dan menjadi mengalami gangguan mental yang dapat berkepanjangan. Dengan adanya International Webinar Series yang bertema Dealing with People with Mental Issues and Taking Actions Against Bullying yang dilaksanakan oleh BINUS University diharapkan kita dapat memberikan tindakan yang tegas kepada seseorang yang melakukan bullying agar kasus tentang mental issues dapat dikurangi.
Webinar yang dilakukan pada hari Senin tanggal 12 April 2021 ini, diadakan melalui aplikasi Zoom yang akan dipandu langsung oleh seorang moderator yaitu Adsina Fibra S.Sos., M.Ed dengan mendatangkan tiga orang speakers atau pembicara. Pembicara pada hari ini datang dari berbagai kampus salah satunya adalah kamus BINUS University sendiri. Pembicara pertama yaitu ada Dr. Amalia Madihie PhD KB. PA dari Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS) selaku pembicara internasional. Lalu yang kedua ada Dr. Mohamad Fahmi selaku SDG Centre di Universitas Padjadjaran dan yang terakhir Dr. Esther Widhi Andangsari, M.Si., Psikolog. selaku internal speaker dari BINUS University.
Pembicara pertama yaitu Dr. Mohamad Fahmi dari Universitas Padjadjaran akan menjelaskan terkait laporan hasil pemantauan terkait dengan SDG4 (Sustainable Development Goal 4) dan cara menghindari bullying ini sendiri. SDG4 atau Sustainable Development Goal 4 merupakan poin ke-4 dari 17 poin Sustainable Development Goal. Poin ke-4 ini membahas tentang bagaimana pendidikan itu harus memiliki kualitas yang baik serta adil. Kesempatan untuk orang mendapat pendidikan pun harus sama dari dari kita kecil hingga dewasa semua mendapatkan kualitas pendidikan yang sama tersebut.
Pada SDG4 ini, Dr. Mohamad Fahmi menjelaskan adanya 10 target SDG4 ini.
Target:
4.1: Free Primary and Secondary Education
4.2: Equal access to quality pre-primary education
4.3: Equal access to affordable techical, vocational and higher education
4.4: Increase the nuber of people with relevant skills for financial success
4.5: Eliminate all discrimination in education
4.6: Universal Literacy and Numeracy
4.7: Education for sustainable development and global citizenship
Additional:
4.A: Build and Upgrade inclusive and safe school
4.B: Expand higher education scholarship for developing countries
4.C: Increase the supply of qualified teachers in developing countries
Laporan monitoring terkait dengan SDG4 ini merupakan suatu komitmen negara Republik Indonesia untuk mencapai bidang pendidikan yang lebih baik lagi. Laporan tentang pendidikan di Indonesia ini sudah mencapai targetnya pada tahun 2015-2018 yang dipantau 81 indikator dari 10 target yang ditetapkan oleh SDG4. Program ini sendiri merupakan suatu kolaborasi antara Kementrian Pendidikan, UNICEF dan SDGs Centre Universitas Padjadjaran. Hasil yang di dapatkan setelah beliau melakukan pemantauan tabulasi dari sekitar 81 indikator, ada 18 yang tidak dapat dinilai dan 63 dapat dinilai. Sekitar 15% mendapatkan nilai A dan 1% mendapatkan nilai C. Jika tidak ada permasalahan terkait dengan virus COVID-19 maka pada tahun 2030 akan tercapai 12 indikator berdasarkan laporan monitoring ini. Jika indikator ini dibagi kedalam empat buah diagram yang pertama yaitu Access target tercapai sebesar 67%. Lalu Quality yang tercapai sebesar 53%. Yang ketiga adalah Learning sebesar 62% dan yang terakhir adalah Equity sebesar 17%. Lalu ada beberapa indikator yang lebih cepat dari target dan mengalami akselerasi (A).
Adapun indikator tersebut yaitu tingkat penyelesaiian pendidikan dasar dan menengah, akses internet, proporsi guru berkualifikasi S1 (Semua Jenjang), dan lainnya meliputi APK PT, Rasio murid per guru (SMP), tingkat anak tidak sekolah SMP. Sebaliknya, ada beberapa faktor yang lebih lambat dari target dan mengalami perlambatan (D) yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu The last mile problem, Perkembangan relatif kurang baik di periode monitoring juga BAU, dan Perkembangan relatif kurang baik di periode monitoring tapi BAU cukup baik. The last mile problem terdiri dari empat indikator angka melek huruf, satu indikator tingkat anak tidak sekolah dasar, dan satu indikator terkait pre-elementary. Yang kedua yaitu perkembangan relatif kurang baik di periode monitoring juga BAU adalah partisipasi pemuda dalam training atau edukasi. Yang terakhir adalah perkembangan relatif kurang baik di periode monitoring tapi BAU cukup baik yaitu rasio murid per guru bersertifikasi SD/SMA.
Pada tahun 2019, laporan hasil monitoring SDG4 memerlihatkan beberapa indikator terkait dengan kasus bullying. Di Indonesia sendiri, kasus bullying dan kekerasan merupakan hal yang marak terjadi dan kita harus menguranginya. Kasus ini marak terjadi di sekolah dan membuat rasa aman yang seharusnya ada menjadi hilang begitu saja. Menurut survei nasional pengalaman hidup yang dilakukan kepada anak – anak dan remaja yang diberikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2018 terdapat dua dari tiga anak yang berumur 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan kurang lebihnya sekali dalam hidupnya. Lalu terdapat tiga dari empat orang anak yang pernah mengalami kekerasan kurang lebih sekali yang dilakukan oleh teman mereka ataupun rekan kerja. Di tambah dengan adanya internet, sekitar 45% dari 2,777 anak yang berusia 14-24 tahun di Indonesia melaporkan bahwa mereka mengalami pembullyan secara daring atau biasa disebut cyberbullying dimana lebih banyak korban laki-laki sebesar 54% dibandingkan perempuan sebesar 46%. Walaupun menurut data pada tahun 2015 bullying dan kekerasan sudah berkurang tetapi setiap tahunnya masih ada saja kejadian tersebut dan selalu terjadi di sekolah. Berdasarkan U-Report, 2019, sekitar 16% dari 2,507 anak muda tidak ingin pergi ke sekolah karena mereka dibully oleh temannya secara daring. Beberapa tipe dari bullying yang dialami oleh anak sekolah terdiri dari di pukul atau di dorong, lalu siswa lain mengambil atau merusak barang pribadi, diancam oleh siswa lain, mengolok-olok saya, mengucilkan, hingga menyebarkan rumor buruk tentang saya yang belum tentu keasliannya. Maka dari itu banyak dari mereka yang menganggap bahwa sekolah bukanlah tempat yang aman. Kekerasan serta bullying yang terjadi di Indonesia memiliki beberapa faktor pendukungnya yaitu adanya sikap intoleransi sebesar 49% terhadap keberagaman yang ada di Indonesia, kurangnya kesiapan anak untuk memiliki sikap sosial-emosi hanya 30% pada masa pre-primary, dan budaya otoriter sekolah yang dilakukan oleh guru kepada muridnya sebesar 44% yang menyebabkan insiden tersebut terjadi.
Prinsip pencegahan terhadap bullying yang dapat dilakukan menurut Whitted & Dupper (2005) yaitu, strategi atau program harus memiliki dukungan empiris, strategi ini juga harus sesuai dengan perkembangan dan bermakna serta menyenangkan bagi siswa, dan sekolah juga harus melakukan pelatihan tentang peka terhadap budaya yang efisien. Indonesia telah memlakukan pencegahan tindak bullying ini dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur tentang tindakan penanggulangan, sanksi dan pencegahan. Lalu yang kedua yaitu Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2010 tentang pedoman pembentukan dan pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang bersedia untuk melayani korban kekerasan mulai dari pengaduan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, serta bantuan hukum untuk reintegrasi sosial.
Selanjutnya, webinar ini dilanjutkan oleh pembicara kedua yaitu Dr. Amalia Madihie PhD KB. PA. dari Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS) yang akan menjelaskan tema Mental Health of Children. Mental health sendiri merupakan suatu keadaan emosional dan psikologis dimana individu mampu menggunakan kemampuan kognitif dan emosionalnya dalam hidup bermasyarakat dan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Menurut Dr. Amalia, memiliki pemikiran yang sehat merupakan hal yang sama pentingnya dengan memiliki tubuh yang sehat juga. Karena ketika kita pergi ke dokter untuk memerikasakan fisik atau tubuh kita yang sakit dokter dapat membantu dan sembuh dengan cepat. Namun ketika anak kita tiba-tiba diam dari yang sebelumnya ektrovert menjadi introvert, memiliki mimpi buruk hingga tidak mau makan kita sebagai orang tua akan menjadi bingung.
Kita seharusnya bertanya serta berbicara dengan baik-baik kepada mereka ada apakah yang terjadi yang membuat mereka ini dapat berubah secara drastis. Beliau juga memberikan tips dan trik bagaimana kita dapat memiliki mental dan psikis yang siap. Terdapat lima tips dan trik yang dapat kita terapkan dalam membantu diri kita sendiri dan sesama yang terdiri dari meningkatkan kesehatan mental, lalu mengajakan cara mengatasi stres untuk mengelola stres dan kesehatan mental yang buruk serta meningkatkan ketahanan mental, menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan aman untuk semua, mengurangi stigma masyarakat terkait dengan penyakit mental, dan yang terakhir adalah membantu teman untuk mengidentifikasi kesehatan mental mereka. Individu juga harus mengenali terkait istilah 2R yang terdiri dari rekonseptualisasi dan review. Rekonseptualisasi merupakan bagaimana seorang individu berpikir dan berbicara mengenai kesehatan mental dan penyakit mental. Lalu yang kedua yaitu review yaitu individu harus meninjau hak kesehatan mental dan tanggung jawabnya dari hak yang telah diberikan. Terdapat spektrum warna mental healt yang terdiri dari Health yang dilambangkan warna hijau pada sebelah kiri, lalu selanjutnya ada Coping yang dilambangkan warna kuning di sebelahnya, yang ketiga adalah Struggling yang dilambangkan warna oranye pada sebelah kanan Coping, dan yang terakhir adalah Unwell yang berwarna merah terdapat pada paling kanan spektrum tersebut yang menunjukkan dimana sebuah mental health yang sudah parah.
Pembicara ketiga setelah Dr. Amalia adalah Dr. Esther Widhi Andangsari, M.Si., Psikolog selaku internal speaker Departemen Psikologi BINUS University yang akan membawakan topik berjudul “Melawan Kesepian dengan Nostalgia”. Pada materinya ini, beliau menjelaskan tentang tiga objektif. Yang pertama yaitu adanya pemahaman tentang kesepian sebagai masalah kesehatan mental. Lalu yang kedua adalah nostalgia meningkatkan hubungan sosial dan yang terakhir yaitu program berbagi dengan teman yang merupakan program dari Departemen Psikologi di BINUS University. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh SASC pada bulan Mei hingga Juni pada tahun 2020 terdapat sekitar 3,148 binusian yang mengisi quesioner ini. Terdapat sekitar 16% binusian yang memiliki pemikiran untuk bunuh diri, 54.9% merasa kurang bahagia, 38.8% merasa harga dirinya rendah atau kurang dihargai, dan 52.8% hilangnya rasa ketertarikan. Fenomena yang sering terjadi pada psikologis mahasiswa adalah kecemasan selama pembelajaran daring, kurangnya dukungan sosial termasuk dari dukungan keluarga, dan beberapa berpikir untuk bunuh diri. Kesepian bukan berarti sendiri. Mereka yang mengalami rasa kesepian merasakan bahwa orang disekitarnya seperti keluarga, teman atau pasangan, dan sosial tidak menghargai, tidak menganggap, dan tidak merasakan adanya dia. Orang yang kesepian merasa cenderung seperti dikucilkan oleh masyarakat. Mahasiswa yang mengalami kesepian cenderung menarik diri dari pertemanan karena memiliki anggapan kurangnya dorongan dari masyarakat. Lalu yang selanjutnya adalah meningkatnya penggunaan internet untuk hal yang kurang produktif, dan yang ketiga adalah menunda kegiatan akademik yang sedang dijalani. Kembali lagi efek dari kesepian ini adalah depresi. Depresi merupakan suatu stres yang menumpuk sehingga membuat beban di tubuh individu semakin berat. Dari depresi ini dapat mengarah kepada hal yang tidak wajar yaitu bunuh diri atau yang biasa kita sebut sebagai suicide.
Dari ketiga pembicara tersebut dapat disimpulkan bahwa masih banyak orang yang tidak mengetahui perihal mental health dan mental issues. Masih banyak dari mereka juga yang tidak dapat mengatasi keadaan dirinya dan orang lain yang ternyata memiliki mental illness. Banyak dari mental illness juga berasal dari pembullyian yang dilakukan secara langsung yang sering terjadi di sekolah atau secara daring dengan cyber bullying. Hal tentang mental health merupakan hal yang tidak sepele. Kita dapat mengubah hidup orang dengan membully atau menindas mereka. Hal ini juga dapat merusak masa depan mereka. Banyak dari mereka yang tidak dapat bertahan hidup karena bullyian serta kekerasan yang dilakukan oleh banyak orang. Maka dari itu, kita harus lebih concern lagi kepada mental health. Karena mental health memengaruhi tubuh kita juga. Walaupun tubuh dan fisik baik namun mental dan pemikiran tidak, kita tidak dapat hidup berjalan dengan lancar di dunia ini.