BIASNYA KESETARAAN GENDER (GENDER EQUALITY) KHUSUSNYA BAGI PEREMPUAN DI INDONESIA
Meski hampir semua negara membutuhkan isu kesetaraan gender, namun sebenarnya tidak mudah untuk mencapai kesetaraan gender. Sejak zaman dahulu, akibat diskriminasi terhadap peran laki-laki dan perempuan, penampilan tersebut telah menginfeksi konstruksi budaya patriarki. Konstruksi sosial semacam ini diwariskan dari generasi ke generasi. Padahal, meski dibutuhkan proses, masih ada harapan untuk mencapai kesetaraan gender. Ini termasuk memberi perempuan kesempatan penuh melalui pendidikan, mengendalikan kebijakan bias gender, melibatkan perempuan, dan memberikan perlakuan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Efek bias gender bisa berbahaya seluruh masyarakat. Posisi perempuan Setelah tertinggal, sulit bagi wanita untuk menjadi pasangan Kesetaraan membuat hubungan antar manusia menjadi kendur, ketimpangan bisa berakibat negatif, sehingga dapat dihindari dengan menjalani kehidupan yang harmonis di tempat yang berbeda. Isu kesetaraan gender ini kerap pula terjadi di dalam ruang lingkup pendidikan di Indonesia, hal tersebut sangat amat disayangkan karena peran wanita di ruang lingkup pendidikan menjadi amat sangat terbatas dengan adanya hal berikut.
Isu yang semakin banyak dibicarakan adalah masalah kesetaraan gender, dengan kata lain adalah masalah kesetaraan gender. Arti dari istilah kesetaraan gender terutama berkaitan dengan ketimpangan antara situasi dan status laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Mengapa masalah ini muncul dan menimbulkan kontroversi jangka panjang?
Hal ini karena dibandingkan dengan laki-laki, peluang perempuan untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kelembagaan dan lainnya serta kegiatan lainnya masih terbatas. Batasan ini bersumber dari berbagai nilai dan norma masyarakat yang membatasi gerak perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu, dalam kajian ini diharapkan fokus pembahasan berikut ini akan memberikan pemahaman yang cukup tentang isu kesetaraan gender (gender) antar lain:
(1) Apakah arti kesetaraan gender?
(2) Bagaimana memecahkan masalah kesetaraan antar manusia laki laki dan wanita?
(3) Mengapa ada ketidak seimbangan antara pria dan wanita?
(4) Aspek apa dari penelitian gender?
Dalam penelitian tentang isu gender, istilah “kesetaraan” lebih banyak digunakan dan direkomendasikan, karena pengertian “kesetaraan antara laki-laki dan perempuan” lebih mencerminkan keseimbangan dan pembagian tugas yang adil antara laki-laki dan perempuan. Rianingsih Djohani (1996: 7) meyakini bahwa untuk lebih memahami arti persamaan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini persamaan antara laki-laki dan perempuan biasanya disebut kesetaraan gender. Yang disebut gender mengacu pada “pembagian peran dan pembagian tanggung jawab antara laki-laki.
Masyarakat menentukan laki-laki dan perempuan berdasarkan ciri-ciri laki-laki dan perempuan, dan ciri-ciri tersebut dianggap sesuai menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Diharapkan melalui pembahasan mengenai kajian kesetaraan gender ini kita tidak mempermasalahkan gender ini sebagai sesuatu yang dianggap asing, tetapi yang penting agar gender tidak lagi dianggap sebagai masalah perempuan menghadapi laki-laki, melainkan dianggap bagian dari permasalahan masyarakat bersama sama.
Ketika salah satu pihak dirugikan, akan terjadi prasangka gender dan perlakuan tidak adil. Ketidakadilan yang dimaksud di sini apakah suatu jenis kelamin memiliki status, status dan status yang lebih baik. Bias gender ini mungkin saja terjadi pada pria dan wanita. Namun, terutama di Indonesia, perempuan lebih cenderung merasakan bias gender ini.
Ini sebenarnya adalah ketimpangan gender yang mungkin berbahaya bagi wanita membahayakan seluruh masyarakat jika itu seorang wanita yang berada pada posisi terbelakang tidak dapat bekerjasama dengan laki-laki atas dasar kesetaraan, sehingga hubungan kedua belah pihak akan menjadi tidak seimbang.
Akibatnya, ada ketidakcocokan dan perselisihan hidup bersama antara pria dan wanita dalam lingkungan keluarga dan seluruh komunitas. Munculnya bias gender ini (yang berdampak lebih besar pada perempuan) disebabkan oleh nilai dan norma sosial batasi langkah-langkah perempuan dan beri mereka tugas dan peran yang lebih penting daripada jenis gender lainnya (laki-laki). Berikut sebuah kasus sebagai gambaran:
CASE I | CASE II |
Ibu dan anak perempuan memiliki tanggung jawab untuk meletakkan makanan di atas meja dan membersihkan piring-piring kotor. Ayah dan anak laki-bisa pergi setelah makan, lalu meninggalkan meja untuk meninggalkan piring kotor yang tidak mereka gunakan. Meski istrinya bekerja keras untuk menghidupi keluarga, dia tetap berlari. Kewajiban pelayanan ini adalah kewajiban. Seorang gadis, padahal keduanya bersekolah dan sibuk menjalankan tugasnya. Dia masih membutuhkan bantuan untuk pekerjaan rumah, dan kakak laki-lakinya memiliki lebih banyak waktu dengan teman-temannya. Bahkan di perkotaan, gejala ini masih sangat umum terjadi. menggunakan
Akibatnya, distribusi beban kerja antara laki-laki dan perempuan menjadi tidak merata (lebih banyak perempuan). |
Seseorang laki laki yang sedang marah dianggap percaya diri. Saat seorang wanita marah atau tersinggung, dia dianggap emosional dan tidak mampu menahan diri. Ketika seseorang laki laki memukuli seseorang yang menghina dia, dia dianggap berani. Ketika seorang wanita menabrak seseorang yang melecehkannya, dia adalah
dianggap kelaki-lakian (karena perempuan pasti mengeluh karena malu-malu). Oleh karena itu, standar nilai perilaku laki-laki dan perempuan berbeda, dan standar nilai tersebut tidak setara dengan perempuan. |
*kasus ini diambil dari buku referensi “Teknik Participatory Rural Appraisal.”
Dari simpulan kasus di atas, dapat diketahui bahwa ketimpangan gender khususnya yang terjadi di Indonesia masih sangat sering terjadi. Bisa dilihat pada kasus pertama bahwa kasus ketimpangan gender yang terjadi dilingkungan rumah lah yang kerap kali kita temui sehari – hari. Kejadian seperti kasus satu sejatinya masih ditemukan di seluruh rumah di Indonesia. Laki – laki dianggap awam dalam melakukan kegiatan merawat MCK (Mandi, Cuci, Kakus. ). Mereka, laki – laki hanya bertugas untuk mencari nafkah dengan tujuan menghidupi keluarganya di rumah. Namun, hal tersebut juga tidak jarang berlaku pada wanita yang mencari nafkah pula. Misal ada keluarga yang bapaknya pengangguran, ibunya dan anak perempuannya bekerja untuk mencari nafkah sehari –hari, seharusnya pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan mengepel menjadi tanggung jawab bapak. Namun karena ketimpangan gender yang terjadi di Indonesia, hal tersebut tetap menjadi tanggung jawab para wanita di rumahnya karena hal tersebut adalah “kodrat” wanita.
Ketimpangan gender masih sangat jelas terjadi di Indonesia. Munculnya persyaratan kesetaraan gender baik pria maupun wanita harus direspons secara proporsional. Jika tidak demikian maka masalah kesetaraan ini masih terus dibicarakan. Oleh karena itu, sikap yang perlu diambil untuk mengatasi masalah kesetaraan ini adalah mengupayakan keseimbangan gender (menghapuskan ketidaksetaraan gender ). Dua jenis kelamin memberikan kesempatan yang sama untuk kedua jenis kelamin dan menjaga keadilan untuk kedua jenis kelamin. Pembahasan dari isu kesetaraan antara laki laki dan perempuan sangat perlu dikaji secara menyeluruh untuk kita semua. Karena kita jugalah yang akan menerima manfaatnya dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, semoga kajian berikut dapat menjadi acuan untuk penelitian berikutnya serta bermanfaat bagi bahan studi. Semoga bahasan berikut memberikan manfaat yang utuh bagi pembaca.
Reference :
- Rahminawati, N. (2001). Isu Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan (Bias Gender). Mimbar: Jurnal Sosial dan Pembangunan, 17(3), 273-283.
- Kumari, F., Hum, M., & Lasiyo, M. A. (2011). Relasi Gender Sachiko Murata Relevansinya dengan Konsep Kesetaraan Gender di Indonesia(Doctoral dissertation, [Yogyakarta]: Universitas Gadjah Mada).
- Hidayat, A. (2012) Penelitian Kualitatif: Penjelasan Lengkap. https://www.statistikian.com/2012/10/penelitian-kualitatif.html
- Fatmawati, E. (2013). Studi Komparatif Kecepatan Temu Kembali Informasi Di Depo Arsip Koran Suara Merdeka Antara Sistem Simpan Manual Dengan Foto Repro(Doctoral dissertation, Jurusan Ilmu Perpustakaan).
- Herlina, H. (2016). Pola kepemimpinan kepala perpustakaan dalam pengelolaan unit perpustakaan di Madrasah Aliyah Negeri I Medan(Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara).