Siapakah Saya?

Sumber : https://dibawaasik.wordpress.com/2016/04/15/who-am-i/

Identitas merupakan sesuatu hal yang penting karena apa yang kita pahami mengenai identitas kita pastinya mempengaruhi bagaimana kita menjalani hidup kita. Ketika kita memahami bahwa diri kita adalah seorang yang tidak berharga, maka kita akan kehilangan makna untuk hidup, begitu pula sebaliknya. Bahayanya hal sepenting identitas ini sering kita tentukan dari penerimaan orang di sekitar kita.

Orang-orang akan lebih menerima kita jika kita memiliki status sosial yang tinggi, relasi yang banyak, harta yang melimpah, penampilan yang ideal, dan masih banyak lagi. Jika seperti itu, tidak akan ada akhirnya sebab kita akan terus berusaha mencapai ekspektasi orang-orang terhadap kita. Kita pun tidak akan pernah memiliki identitas yang pasti karena pastinya pandangan orang terhadap kita berbeda-beda. Akibatnya, identitas kita menjadi terombang-ambing. Apakah benar untuk memiliki identitas yang demikian? Bagaimana pandangan kekristenan akan identitas yang sesungguhnya?

  1. Identitas tidak bisa dicapai, tetapi diterima

Di dalam Injil, melalui karya Kristus, identitas diubah menjadi sesuatu yang lebih besar. Identitas tidak dicapai melalui kinerja kita dalam peran sosial, atau melalui memenuhi ukuran moral dan agama kita, atau melalui keberhasilan dan pencapaian status kita. Identitas adalah pengakuan tertinggi, penerimaan Allah karena Dia melihat kita dalam Yesus Kristus. Identitas hanya “ditemukan dalam Dia, bukan kinerja dan usaha kita, tapi melalui iman dalam Kristus, kebenaran yang berasal dari Allah melalui iman” (Filipi 3:9, parafrase).

Filipi 3:9 TB

dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.

 

  1. Identitas yang tetap untuk selamanya
Yohanes 1:12 TB
Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya

 

Dari ayat tersebut, kita tidak akan menemukan adanya batas sampai kapan status sebagai anak-anak Allah itu valid. Sejak kita menerima Tuhan Yesus, status kita digantikan dari yang awalnya hamba dosa. Itu memungkinkan karena kasih Allah yang begitu besar bagi setiap kita yang percaya dan tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasihNya.

Roma 8:39 TB

atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

  1. Identitas yang memberi kebebasan sejati

Melalui Injil, kita memahami identitas kita dalam Kristus dan menyadari akan keberdosaan kita, termasuk keberdosaan hati kita yang tidak pernah puas akan penerimaan orang. Kita juga menyadari bahwa kita diterima oleh Tuhan lebih dari yang kita harapkan walau di masa lalu kita telah banyak berbuat dosa. Penerimaan Tuhan membuat kita bisa untuk rendah hati dan menerima orang lain karena Tuhan sudah terlebih dahulu mengampuni dan menerima kita. Dengan identitas yang baru, kita tidak lagi terbelenggu oleh dosa-dosa kita, justru kita akan semakin diubahkan hatinya untuk melakukan hal-hal yang dikehendaki Tuhan bagi dunia ini.

Efesus 2:10 TB

Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.

Jadi, pertanyaan tentang identitas yang seharusnya bukanlah “Siapa saya?”, tapi “saya milik siapa?” karena identitas selalu berasal dari penilaian seseorang di luar kita. Kita menjadi bagian darinya. Kita mendapat penerimaan mereka hanya ketika kita memuaskan sehingga nilai diri kita akan berubah-ubah tergantung seberapa baik kinerja kita. Tanpa disadari, kita telah menjadi budak. Hanya ketika Allah menjadikan kita umat-Nya, dan kita melayani Dia, barulah kita bebas dari perbudakan karena Dia mengasihi kita berdasarkan kinerja Yesus, bukan kita. Jika Dia menamai kita dan kita adalah milik-Nya, maka pada akhirnya kita bisa tenang dalam identitas kita sebagai anak-Nya.

Referensi:

Esther Vemberly & Jonathan Jason Jovanka