Misophonia: Noise Can Be A Nightmare

Pernahkah Anda merasa risih ketika mendengar suara orang mengecap makanan? Atau ketika seorang mendecakkan lidah? Atau suara sebuah pulpen dimainkan (pen clicking sound)? Jika jawaban-nya adalah “Iya”, bisa jadi Anda mengalami suatu keadaan yang disebut Misophonia.

Misophonia adalah kondisi neurofisiologis dimana seorang bereaksi negatif terhadap suatu suara spesifik dan memicu respons emosional atau fisiologis (fight or flight response). Misophonia berasal dari bahasa Yunani. ‘Miso’ yang berarti benci dan ‘Phon’ yang berarti suara, sehingga misophonia secara harifiah berarti benci akan suara. Gangguan ini juga disebut sindrom sensitivitas suara selektif.

Konsep misophonia pertama kali dicetuskan oleh Margaret M. Jastrerboff, seorang profesor dalam bidang audiologi yang menemukan adanya kesamaan antara misophonia dan tinnitus (kondisi telinga berdenging). Kedua kondisi ini dipicu oleh koneksi berlebihan yang terjadi antara sistem auditori dan sistem limbik, sehingga minumbulkan reaksi berlebihan terhadap suara tertentu. Ketika kita mendengar suara, gelombang suara akan menyebabkan tulang dibagian tengah telinga bergetar. Getaran tersebut diubah menjadi sinyal elektrik yang dikirim ke saraf pendengaran pada otak. Sinyal tersebut akan melalui dua jalur, amigdala dan medial prefrontal cortex. Pergerakan sinyal melalui amigdala cenderung cepat seperti saat Anda terkejut ketika mendengar suara keras, sedangkan pergerakan sinyal melalui medial prefrontal cortex membutuhkan waktu lebih lama. Medial prefrontal cortex berperan memberikan Anda ekspresi emosi dan interpretasi terhadap suatu suara. Ada kemungkinan, penderita misophonia mengalami kerusakan pada medial prefrontal cortex. Namun, sampai saat ini belum ada penjelasan pasti yang dapat mengungkapkan mengapa seorang menderita misophonia.

Misophonia sendiri terdiri dari beberapa tingkatan, pada tingkatan terendah, penderita hanya merasakan gelisah, tidak nyaman, jijik, dan terdesak untuk melarikan diri. Pada tingkatan yang lebih tinggi, penderita dapat merasa marah, frustasi, takut, dan panik. Sedangkan pada tingkat yang lebih parah, respons penderita dapat berupa stress, ketakutam, emosi, keinginan untuk membunuh, bahkan bunuh diri. Sehingga seringkali, penderita misophonia merasa kondisi yang dialaminya berdampak pada kehidupan sosial penderita. Penderita cenderung menghindari acara-acara yang dapat membuat penderita merasakan misophonia, sehingag sering kali penderita mengurung diri dan menarik diri dari sosialisasi. Jika hal ini dibiarkan, penderita misophonia dapat mengalami depresi.

Kondisi misophonia memang mempengaruhi kehidupan sehari-hari penderitanya, tetapi Anda dapat belajar mengelolanya. Penderita misophonia juga dapat menggunakan perangkat seperti alat bantu dengar yang menghasilkan suara di telinga seperti air terjun ataupun menggunakan earphone untuk mengurangi suara yang membuat penderita merasa risih. Perawatan lain yang dapat dilakukan termasuk terapi bicara. Selain itu gaya hidup juga berperan dalam menekan misophonia, olahraga tertatur, tidur yang cukup, dan sistem kelola stress juga dapat menekan kondisi misophonia. Namun, kurangnya pengetahuan mengenai misophonia menyebabkan pilihan pengobatan yang tersedia menjadi sangat terbatas. Belum ada pengobatan khusus yang dapat benar-benar menyembuhkan mispohonia.

Inggried Kurniawan