Beata Eugenia de Smet, Perawan
Beata Eugenia de Smet, Perawan
Tanggal Pesta: 2 Februari
Puteri berkebangsaan Perancis ini lahir pada tahun 1825 dan dikenal sebagai Pembina Tarekat Suster-suster Pembantu Jiwa-jiwa di Api Penyucian. Sejak berusia 17 tahun, ia sudah berniat mengabdikan dirinya bagi kemulian Tuhan. Ia bersedia dan rela menerima penyelenggaraan ilahi atas dirinya dengan melaksanakan apa saja yang diperintahkan Allah, kendatipun kehendak Allah itu terasa berat baginya. Sesudah menerima Komuni Kudus pada hari peringatan ‘Jiwa-jiwa di Api Penyucian’ tahun 1853, ia merasakan dalam hatinya suatu gejolak batin yang luar biasa kuatnya: Ia merasa mendapat panggilan Allah untuk membina suatu tarekat baru bagi suster-suster yang khusus mengabdikan diri bagi kepentingan jiwa-jiwa yang masih bergulat dengan penderitaan di api penyucian dengan doa dan tapa serta pekerjaan-pekerjaan amal kasih.
Gejolak batin itu tak tertahankan. Namun ia masih juga merasa ragu-ragu akan panggilan ilahi itu. Guna mendapat kepastian akan pentingnya mendirikan tarekat itu dan agar tarekat itu tidak didirikan atas dorongan emosional perseorangan belaka, ia meminta kepada Tuhan ‘lima buah tanda’ sebagai petunjuk perihal apa yang dikehendakiNya dari padanya. Tuhan mengabulkan permohonannya itu selama 2 tahun awal karyanya. Kecuali itu, ia pun meminta petunjuk dari Santo Yohanes Maria Vianney, Pastor Ars yang pada waktu itu sudah masyhur namanya karena berbagai karunia luarbiasa yang diberi Allah kepadanya. Kepada Eugenia, Pastor Ars yang kudus itu mengatakan bahwa pendirian tarekat baru yang diusulkannya berkenan kepada Allah dan sangat berguna bagi pembebasan jiwa-jiwa di Api Penyucian. Kata-kata Yohanes memberinya peneguhan untuk memulai karya agung itu. Dengan izin Uskup Agung Paris, rumah biara pertama tarekat itu dibangunnya di Paris pada tahun 1856.
Sejak itu ia mengganti namanya dengan nama baru: ‘Maria, Puteri Penyelenggara Ilahi’, karena segala yang terjadi atas dirinya adalah berkat Penyelenggaraan Ilahi Allah. Kepercayaannya akan Penyelenggaraan Ilahi tak pernah mengecewakan dia. Dalam beberapa tahun Tarekat Pembantu Jiwa-jiwa di Api Penyucian tersebar ke seluruh dunia: Eropa, Amerika dan Asia. Akan tetapi kemajuan ini tercapai tidak tanpa mengarungi sengsara. Banyak salib penderitaan yang ditanggungnya: ia terserang penyakit kanker, mengalami berbagai kesulitan dalam kepemimpinannya, kemiskinan, fitnahan dan olokan.
Meskipun demikian semuanya itu ditanggungnya dengan sabar penuh iman sambil tetap bersemangat melaksanakan tugasnya. Bapa pengakuannya sendiri bersusah payah mengendalikan dia agar tidak terlalu giat sementara ia dalam keadaan sakit. Namun Ibu Maria toh tidak dikekang semangat pengabdiannya, karena ia yakin bahwa Tuhan menyertainya. Setelah menerima sakramen-sakramen terakhir dari tangan Pater Petrus Olivaint, yang beberapa bulan kemudian mati sebagai martir di Tiongkok, Ibu Maria wafat dengan tenang pada tanggal 7 Februari 1872. Kata terakhir yang ditinggalkannya kepada suster-susternya ialah “Cinta kasih”. Ia digelar ‘beata’ oleh Paus Pius XII (1939-1958) pada tanggal 26 Mei 1957.