Belajar Peduli Tanpa Menyelam Terlalu Dalam

Hai Psytroopers! Pernahkah kalian merasa kelelahan setelah mendengarkan curhatan dari orang lain? atau bahkan ikut merasakan kesedihan, kegelisahan, hingga kesulitan tidur karena memikirkan masalah yang sebenarnya bukan milik kita? Bagi banyak mahasiswa Psikologi, pengalaman seperti ini bukanlah hal yang asing. Predikat sebagai “pendengar yang baik” sering kali membuat kita menjadi tempat pelarian bagi orang-orang terdekat yang sedang menghadapi tekanan.

Namun, tidak jarang kita justru merasa kosong, bingung, bahkan kewalahan secara emosional. Niat awal kita hanyalah ingin membantu dengan menjadi pendengar yang suportif, tetapi tanpa disadari, kita pun turut larut dalam beban yang dibagikan. Penting untuk diingat bahwa menjadi pendengar yang baik juga perlu dibarengi dengan kesadaran untuk menjaga batas dan kesehatan mental diri sendiri.

Fenomena ini kerap terjadi terutama bagi mahasiswa Psikologi dan bahkan Psikolog sekalipun. Penelitian yang dilakukan oleh (Romani-Sponchiado et al., 2021) menemukan bahwa empati berlebihan menunjukkan efek negatif yang lebih tinggi baik terhadap tenaga kesehatan seperti Psikolog atau mahasiswa psikologi. Artinya, ketika mahasiswa terlalu menyatu dengan perasaan orang lain, risikonya bukan hanya empati, tetapi juga kelelahan emosional dan burnout. Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh (Kounenou et al., 2023) yang mengemukakan bahwa empati berlebihan memainkan efek penting bagi praktisi kesehatan seperti Psikolog. Efek ini bukan hanya berdampak pada burnout, tetapi akan berdampak pada trauma tidak langsung (vicarious trauma). Sejalan dengan yang dikemukakan oleh (von Harscher et al., 2018) bahwa praktisi kesehatan mudah terkena kelelahan emosional karena empati yang harus mereka berikan akibat lingkungan kerja mereka.

Empati sendiri sering kali disamakan dengan simpati, padahal keduanya berbeda secara mendasar. Simpati adalah rasa kasihan atau iba terhadap kondisi orang lain, terutama mereka yang dianggap menderita secara tidak adil. Di sisi lain, empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan memahami perasaannya yang mengarah pada respons yang selaras dari pihak pengamat (Sinclair et al., 2017). Namun, perlu digaris bawahi bahwa empati itu tidak berarti kita harus ikut merasakan atau menanggung seluruh emosi orang lain. Karena sering kali, seorang pendengar justru merasa perlu terlibat, seolah-olah masalah orang lain menjadi beban pribadi. Inilah yang kerap terjadi ketika empati tidak diimbangi dengan kesadaran emosional yang sehat.

Di sinilah pentingnya konsep emotional boundaries atau batas emosional. Batas emosional adalah kemampuan untuk mengenali mana emosi yang milik kita sendiri dan mana yang milik orang lain. Membangun batas ini dapat memberi keuntungan pada kesehatan diri sendiri dan juga membuat hubungan dengan orang lain yang ada di sekitar lebih sehat (Fielding, 2023). Membangun batas ini bukan berarti menjadi dingin atau tidak peduli, tapi tahu kapan harus terkoneksi dan kapan harus menjaga jarak demi kesehatan mental diri sendiri. Tanpa adanya batas emosional, empati bisa berubah menjadi jebakan yang disebut emotional enmeshment atau suatu kondisi dimana batas antara emosi diri sendiri dengan orang lain menjadi kabur, bahkan melebur (McLeod, 2025).

Empati ini bukanlah bawaan yang melekat begitu saja pada setiap orang tanpa bisa diubah, tapi ini bisa dilatih supaya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain (Abramson, 2021). Untuk bisa membangun empati yang memberi dampak positif, seseorang harus memiliki kesadaran diri. Kesadaran diri adalah fondasi supaya bisa mengenali kapan perasaan mulai campur aduk dan harus segera mengambil jeda (Posluns & Gall, 2020). Kemudian, latihan grounding seperti menarik napas dalam, melakukan refleksi setelah mendengarkan curhat bisa membantu menjaga koneksi tetap sehat (Centeno & Fernandez, 2020). Di sisi lain, konsep detachment with compassion (menjaga jarak dengan kasih) juga penting untuk membangun empati yang berkelanjutan (Togtokhbaatar, 2025). Seperti yang dikatakan Brene Brown bahwa Empathy has no script. There is no right way or wrong way to do it. It’s simply listening, holding space, withholding judgment, emotionally connecting, and communicating that incredibly healing message of ‘You’re not alone.” Dari sana dapat diketahui bahwa empati bukan soal larut dalam penderitaan orang lain, tapi tentang hadir dengan kehadiran yang penuh kesadaran.

Empati yang sehat bukan berarti memikul semua emosi orang lain, melainkan kemampuan untuk peduli tanpa mengorbankan diri sendiri. Empati ini adalah keterampilan yang bisa dilatih, bukan semata-mata naluri alami. Keterampilannya bisa dilatih dengan kesadaran, latihan reflektif, dan batas emosional yang jelas. Sebagai mahasiswa Psikologi yang kelak akan terjun ke dunia profesional, penting untuk mulai belajar membangun empati yang sadar batas sejak dini. Bukan hanya demi menjaga kesehatan mental pribadi, tapi juga sebagai bekal untuk menjadi profesional yang mampu mendampingi tanpa ikut tenggelam.

DAFTAR PUSTAKA
Abramson, A. (2021, November 1). Cultivating Empathy: Psychologists’ research offers insight inti why it’s so important to practice the “right” kind of empathy and how to grow these skills. American Psychological Assosiation. https://www.apa.org/monitor/2021/11/feature-cultivating-empathy

Centeno, R. P. R., & Fernandez, K. T. G. (2020). Effect of Mindfulness on Empathy and Self-Compassion: An Adapted MBCT Program on Filipino College Students. Behavioral Sciences, 10(3), 61. https://doi.org/10.3390/bs10030061

Fielding, S. (2023, July 21). How to Create Emotional Boundaries in Your Relationship. Verywellmind. https://www.verywellmind.com/how-to-create-emotional-boundaries-in-relationships-7504544

Kounenou, K., Kalamatianos, A., Nikoltsiou, P., & Kourmousi, N. (2023). The Interplay among Empathy, Vicarious Trauma, and Burnout in Greek Mental Health Practitioners. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(4), 3503. https://doi.org/10.3390/ijerph20043503

McLeod, S. (2025, February 17). What is Enmeshment? SimplyPsychology. https://www.simplypsychology.org/what-is-enmeshment.html

Posluns, K., & Gall, T. L. (2020). Dear Mental Health Practitioners, Take Care of Yourselves: a Literature Review on Self-Care. International Journal for the Advancement of Counselling, 42(1), 1–20. https://doi.org/10.1007/s10447-019-09382-w

Romani-Sponchiado, A., Jordan, M. R., Stringaris, A., & Salum, G. A. (2021). Distinct correlates of empathy and compassion with burnout and affective symptoms in health professionals and students. Brazilian Journal of Psychiatry, 43(2), 186–188. https://doi.org/10.1590/1516-4446-2020-0941

Sinclair, S., Beamer, K., Hack, T. F., McClement, S., Raffin Bouchal, S., Chochinov, H. M., & Hagen, N. A. (2017). Sympathy, empathy, and compassion: A grounded theory study of palliative care patients’ understandings, experiences, and preferences. Palliative Medicine, 31(5), 437–447. https://doi.org/10.1177/0269216316663499

Togtokhbaatar, T. (2025, June 26). Compassionate Detachment: Balancing Empathy and Boundaries in Human Relationships. Medium. https://medium.com/@tuvshintuultogtokhbaatar/compassionate-detachment-balancing-empathy-and-boundaries-in-human-relationships-by-tuvshintuul-96e9dac2e705

von Harscher, H., Desmarais, N., Dollinger, R., Grossman, S., & Aldana, S. (2018). The impact of empathy on burnout in medical students: new findings. Psychology, Health & Medicine, 23(3), 295–303. https://doi.org/10.1080/13548506.2017.1374545

 

Farah Amalia