Live Authentically: The True Key to a Healthy Life

Hello Psytroopers!

Apa kabar? Semoga kalian tidak bosan ya dengan PSIKOPEDIA. Nah, pada artikel kali ini kita akan ngobrolin cara menjadi diri yang lebih otentik. Tanpa Psytroopers sadari, permasalahan ini sebenarnya sangat dekat dengan kita loh. Contohnya, ketika kita merasa tetap tidak puas padahal sudah mendapatkan hasil yang bagus, atau bahkan merasa harus mengikuti sebuah standar untuk menjadi sesuatu walaupun kamu merasa hampa dalam melakukannya. Sebelum berasumsi, sebenarnya apa yang kamu lakukan bisa dikatakan manusiawi loh. Karena manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah motivasi kita untuk memenuhi potensi kita sehingga dapat mencapai tingkat kemanusiaan yang tinggi. Dengan kata lain, kita sebagai manusia sudah pasti ingin menjadi sesuatu, bahkan yang lebih tinggi dari itu. Seorang psikolog humanistik, Carl Rogers (1959), menyatakan bahwa motif dasar manusia adalah melakukan aktualisasi diri. (McLeod, 2025) Namun, jika kalian terus berusaha menjadi sesuatu yang tidak realistis, hal itu bisa membuat kamu tidak otentik dan dapat memengaruhi kesehatan mentalmu loh!

Yuk simak penjelasannya dari kacamata teori Person-Centered milik Carl Rogers!

  1. Self Worth, Real Self, dan Ideal Self

Rogers percaya bahwa kita memiliki tiga konsep diri, yaitu self worth, real self, dan ideal self. Self worth adalah nilai yang kita tetapkan dari dalam diri, yang dibangun berdasarkan kesuksesan, kegagalan, ataupun pandangan orang lain terhadap diri kita (Feist et al, 2023). Jadi pada dasarnya, nilai dalam diri kita ini dibangun dari pengalaman hidup, dan menurut Rogers, pembentukan self worth sudah ada sejak masa kanak-kanak sehingga Individu yang tumbuh dengan self worth yang tinggi cenderung mampu mentoleransi masalah dalam hidupnya (McLeod, 2025).

Kemudian ada real self, atau citra diri, yaitu pandangan paling nyata terhadap diri kita sendiri (Rogers, 1954). Carl Rogers percaya bahwa kita semua memiliki jati diri. Baik kita memandang diri sebagai baik atau buruk, hal tersebut tetap bagian dari jati diri kita yang paling nyata. Real self inilah yang menjadi salah satu penentu kesehatan mental kita (McLeod, 2025).

Selanjutnya ada ideal self. Ideal self adalah pandangan tentang diri yang kita idamkan. Tidak seperti real self yang tumbuh dari dalam diri, ideal self membutuhkan pengaruh eksternal untuk terbentuk. Ideal self terbentuk dari lingkungan yang tidak searah dengan bagaimana kita ingin melakukan aktualisasi diri, sehingga kita terpaksa menyerap nilai-nilai yang tidak sesuai dengan jati diri kita dan membentuk ideal self sebagai diri yang “sesuai” dengan standar sosial (Feist et al, 2023). Konflik terjadi ketika kedua konsep diri ini mengalami kesenjangan, yaitu ketika ideal self sulit diselaraskan dengan real self. Kesenjangan inilah yang disebut sebagai incongruence.

  1. Incongruence

Seperti yang dijelaskan tadi, incongruence muncul ketika real self dan ideal self saling melawan arah. Hal ini membuat kita berperilaku tidak selaras dengan jati diri sehingga kita merasa tidak puas pada diri kita (Feist et al, 2023).

Contohnya, ketika kamu merasa lelah setelah proyek kuliah dan mau me time. Tiba-tiba kamu diajak ikut proyek besar dari organisasi. Karena kamu punya keinginan memperindah CV dan membangun relasi, kamu akhirnya ikut proyek itu juga, padahal kamu awalnya ingin me time. Hal itu akhirnya membuat kamu bekerja tidak maksimal karena jenuh, dan berujung pada rasa frustasi. 

Jika incongruence tidak segera ditangani, hal ini dapat membentuk tekanan mental (Korenberg, 2025) seperti kecemasan, depresi, burnout, frustasi, serta memicu mekanisme pertahanan diri (defense mechanisms) seperti pengelakan dan distorsi terhadap pengalaman hidup. Tentu saja hal ini dapat memengaruhi self worth serta mengganggu kesehatan mental kita. Pada akhirnya, kondisi ini menghambat aktualisasi diri dan menurunkan kualitas hidup.

Lalu, bagaimana caranya mengatasi incongruence?

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencapai congruence. Congruence adalah kondisi ketika real self dan ideal self memiliki kesenjangan yang kecil. Atau dengan kata lain, kondisi dimana kita menjadi diri yang otentik. Menurut Rogers, kita membutuhkan lingkungan yang mendukung pertumbuhan, yakni lingkungan yang memberikan Unconditional Positive Regard atau lingkungan yang menerima kita apa adanya secara positif. Sebenarnya konsep ini digunakan dalam psikoterapi, tetapi bisa kita terapkan pada diri kita sendiri loh, Psytroopers! Lantas, apa saja yang bisa kita lakukan untuk mencapai congruence?

Self-awareness

Menurut Carl Rogers, kesadaran diri penting dalam proses pertumbuhan (Zhu & Liu, 2022). Kesadaran diri dapat membantu kita menciptakan Unconditional Positive Self-Regard. Dengan menyadari, merefleksikan dan mengeksplorasi perasaan kita lebih dalam, kita dapat lebih mengenali diri sendiri, yang menjadi pijakan pertama menuju congruence atau keotentikan diri.

Self-acceptance

Menurut Rogers, penerimaan diri merupakan hal yang sangat penting dalam proses pertumbuhan. Menerima diri tanpa menghakimi dapat menjadi pondasi untuk mencintai diri sendiri dan membangun harapan untuk berubah (McLeod, 2025). Selain itu, penerimaan diri juga dapat berpengaruh pada peningkatan self worth.

Memilih lingkungan yang mendukung pertumbuhan

Rogers menyatakan bahwa kita tidak mungkin membentuk positive self-regard (Sikap menghargai diri apa adanya) tanpa terlebih dahulu mendapatkan Unconditional Positive Regard dari lingkungan (Joseph, 2025). Maka dari itu, Psytroopers perlu banget memilih lingkungan yang mendukung pertumbuhan, seperti yang bisa menerima kamu apa adanya, yang dapat mengerti dirimu dengan tulus dan tempat yang membuatmu nyaman untuk mengekspresikan diri. Sehingga kalian dapat membangun positive self-regard dalam diri.

Set realistic goals

Dengan menetapkan tujuan yang realistis, kita dapat membangun keseimbangan konsep diri. Hal ini membantu kita bertumbuh secara optimal serta membangun positive self-worth yang berdampak baik pada kualitas hidup (Feist et al, 2023).

Jika langkah-langkah kecil ini dilakukan secara konsisten, kita mulai bergerak menuju kondisi yang oleh Carl Rogers disebut sebagai Fully Functioning Person, yang dimana seorang individu yang hidup selaras dengan dirinya, terbuka terhadap pengalaman, dan mampu menjalani hidup secara otentik tanpa merasa tertekan oleh standar yang tidak realistis (Zhu & Liu, 2022). Selain itu, fully functioning person juga memiliki karakteristik seperti mampu menerima diri dan orang lain, lebih kuat dalam menghadapi kecemasan atau tantangan, serta memiliki kendali terhadap peristiwa dalam kehidupannya. Menurut Rogers, individu seperti inilah yang telah berkembang dan memiliki kesehatan mental yang baik (Feist et al, 2023).

DAFTAR PUSTAKA

Gregory, J., & Feist, F. (2023). Theories of personality. McGraw-Hill Education.

Joseph, S. A. (2025). The humanistic psychology of Carl Rogers: Understanding the person-centered approach. Oxford University Press.

Korenberg, C. (2025). Are conditions of worth the main cause in the development of psychopathology? Person-Centered & Experiential Psychotherapies, 1–15. https://doi.org/10.1080/14779757.2025.2578852.

McLeod, S. (2025, April 28). Carl rogers humanistic theory and contribution to psychology. Simply Psychology. https://www.simplypsychology.org/carl-rogers.html.

Zhu, C., & Liu, H. (2022). On Becoming a Person: Perspectives from Carl Rogers, Huineng, Wang Yangming, and Ken Wilber. Beijing International Review of Education, 3(4), 564–577. https://doi.org/10.1163/25902539-03040005.

Tania Rahma Ayu