Perspektif Biopsikologis Terhadap LGBT
Hai, teman-teman semua! Selamat datang di artikel baru Psikopedia. Pada waktu-waktu belakangan ini, semakin besar jumlah aktivis-aktivis sosial yang memperjuangkan hak kaum LGBT dan menormalisasikannya, mau itu dari kalangan LGBT sendiri atau di luarnya. Akan tetapi di sisi lain, banyak juga dari kaum religius dan konservatif yang menolak toleransi terhadap LGBT dengan mengatakan bahwa hal tersebut melawan kodrat manusia dan sebagainya. Dimana pun posisimu dalam argumen mau itu pro atau kontra LGBT, dapat diakui bahwa eksistensi LGBT menjadi topik yang sangat diperbincangkan di zaman sekarang. Perdebatan ini sepertinya tiada hentinya, melihat bagaimana budaya-budaya berbeda memiliki pandangan berbeda pula mengenai moralitas dari hal-hal tertentu, artikel ini tidak bertujuan memecahkan hal tersebut. Melainkan, artikel ini bertujuan memberikan perspektif yang ilmiah terhadap bagaimana seseorang menjadi homoseksual, biseksual, atau transgender, dan menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin ada tentang topik-topik tersebut.
Apa yang menyebabkan seseorang menjadi LGBT?
Salah satu pemikiran yang besar adalah bahwa homoseksualitas merupakan sesuatu yang dapat ditularkan dari satu orang ke orang lainnya atau pun hanya dapat “muncul” akibat faktor lingkungan, sehingga orang tua berupaya mencegah anaknya dalam pergaulan tertentu agar tidak “menjadi” LGBT. Namun, ada beberapa perbedaan pandangan mengenai pemikiran tersebut. Garrett et al. (2017) mengutip Van Wyk et al. (1984) bahwa orang dewasa heteroseksual dan homoseksual memiliki perbedaan pengalaman tertentu di masa kecilnya. Contohnya, seperti pergaulan dengan teman lawan jenis lebih banyak di masa kanak-kanak, dan kontak homoseksual di masa remaja. Namun, ini juga dapat berupa pertanda awal dari homoseksualitas, bukan penyebab. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa orientasi seksual seseorang (ketertarikan terhadap jenis kelamin tertentu) juga ditentukan oleh faktor biologis seseorang. Menemukan bahwa homoseksualitas dua sampai tujuh kali lebih menampak di antara saudara dibanding populasi umum (Bailey et al., 1993, dikutip dalam Garrett et al., 2017 ), yang dapat dianggap sebagai bukti peran genetika dalam menentukan orientasi seksual. Namun, gen spesifik yang menyebabkan homoseksualitas belum dapat ditentukan dengan pasti. Perbedaan orientasi seksual juga dapat disebabkan adanya kendala dalam diferensiasi seksual (penentuan kelamin) dalam otak. Hormon testosteron saat diferensiasi berperan dalam membentuk identitas laki-laki dan orientasi laki-laki heteroseksual (Swaab, 2004). Dari hal tersebut, bisa dimengerti bagaimana hambatan dalam memproduksi atau menerima hormon tentunya dapat mempengaruhi tak hanya orientasi seksual seseorang, tetapi gender identity juga (akan dijelaskan lebih lanjut). Belum ada kesepakatan yang pasti mengenai asal-usul homoseksualitas dan orientasi seksual secara umum, tetapi ada dukungan yang cukup kuat tentang faktor internal untuk orientasi seksual. Sehingga, kita harus dapat dipertimbangkan juga dengan faktor eksternal saat berbicara tentang orientasi seksual.
Gender Identity, beda kah dengan jenis kelamin fisik?
Sebelumnya telah disebutkan bahwa diferensiasi seksual pada otak berpengaruh pada gender identity seseorang, tetapi apa itu gender identity? Gender identity merupakan perasaan subyektif seseorang terhadap apakah dia termasuk laki-laki atau perempuan (Garrett et al., 2017). Gender identity ini secara konsep berbeda dengan sex, yaitu perbedaan ciri-ciri biologis yang menentukan pengelompokkan individu menjadi laki-laki atau perempuan (Garrett et al., 2017). Mayoritas orang memiliki sex dan gender identity yang selaras, tetapi tidak selalu seperti itu. Kondisi ketika individu merasa bahwa sex dan gender identity tidak cocok dapat menyebabkan rasa tertekan atau ketidaknyamanan, rasa tertekan ini disebut dengan gender dysphoria, sedangkan orangnya sendiri yang merasakannya disebut dengan transgender (Garrett et al., 2017). Ingat sebelumnya bagaimana peran hormon dalam menentukan gender identity seseorang? Kenyataannya, diferensiasi seksual di otak terjadi pada waktu berbeda dengan diferensiasi alat kelamin, (Bao et al., 2011), ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara kelamin fisik seseorang dengan persepsi identitas kelaminnya. Zhou et al. (1995) menemukan bahwa bagian central bed nucleus dari stria terminalis (BSTc) lebih besar di individu laki-laki dari perempuan. Menariknya, individu laki-laki yang mempersepsikan identitasnya sebagai perempuan (alias, seorang perempuan transgender) memiliki ukuran BSTc yang sama dengan perempuan “sejati”. Penelitian-penelitian tersebut terus digunakan sebagai bukti bahwa transgenderisme lebih terikat dengan neurologis seseorang sendiri, tak hanya sekedar kepercayaan.
Apa yang dapat dipelajari dari penelitian-penelitian tersebut? Di Indonesia terutama, pembahasan tentang LGBT, seksualitas, dan identitas seksual masih dapat dianggap topik yang cukup tabu. Akan tetapi, dengan artikel ini diharapkan bahwa pengetahuan kita semua tentang topik-topik ini menjadi semakin lengkap, agar tidak menyebarkan misinformasi dan menghasilkan diskusi yang bermanfaat.
Referensi:
Bailey, J. M., Bell, A. P. (1993). Familiality of female and male homosexuality. Behavior Genetics, 23, 313–322.
Bao, A., Swaab. D. F. (2011). Sexual differentiation of the human brain: Relation to gender identity, sexual orientation and neuropsychiatric disorders. Frontiers in Endocrinology, 32(2), 214-226. https://doi.org/10.1016/j.yfrne.2011.02.007
Garrett, B., Hough, G. (2017). Brain & behavior: An introduction to behavioral neuroscience (5th ed.). SAGE
Swaab, D. F. (2004). Sexual differentiation of the human brain: relevance for gender identity, transsexualism and sexual orientation. Gynecological Endocrinology, 19(6), 301-312. https://doi.org/10.1080/09513590400018231
Van Wyk, P. H., Geist, C. S. (1984). Psychosocial development of heterosexual, bisexual, and homosexual behavior. Archives of Sexual Behavior, 13, 505–544.
Zhou, J. N., Hofman, M. A., Gooren, L. J., Swaab, D. F. (1995). A sex difference in the human brain and its relation to transsexuality. Nature, 378, 68-70. https://doi.org/10.1038/378068a0
Penulis: Farall Gibran F.