Hubungan Parasosial Pada Era Media Sosial

Hi teman-teman Psikopedia! selamat datang kembali ke artikel terbaru ini. Kalian pasti pernah menggunakan media sosial kan? Media sosial selain merupakan saluran yang baik untuk berinteraksi sosial secara virtual, juga dapat menjadi platform (atau ibarat panggung) untuk mempersembahkan bakat dan karya diri sendiri kepada orang lain. Orang-orang yang membuat karya-karya ini disebut berbagai hal. Namun, secara umum dapat disebut dengan istilah content creator. Kalian pasti mengenal setidaknya beberapa content creator dari media-media sosial seperti YouTube atau Tiktok.

Content creator ini secara natural dapat memikat perhatian orang yang banyak melalui media sosial hingga menjadi pengikutnya. Karena sifat media sosial yang virtual, content creator dapat mengumpulkan pengikut dengan latar belakang yang beragam, seperti perbedaan negara, ras, budaya, dan agama dari seluruh dunia. Content creator di era modern tidak hanya sekedar menampilkan konten secara tersendiri, tetapi juga berinteraksi dengan pengikut-pengikutnya. Tujuan dari interaksi ini dapat berupa upaya memperdekatkan diri dengan audiensnya, ataupun hanya mendukung angka-angka statistik semata-mata, tergantung content creator itu sendiri. Penelitian oleh Sunghee Jun dan Jisu Yi (2020) dalam Journal of Product & Brand Management menunjukkan bahwa interaksi influencer (salah satu bentuk content creator) dengan audiens berhubungan secara positif dengan ‘pelekatan’ emosional (emotional attachment) pada influencer, kemudian pelekatan emosional berhubungan secara positif dengan kesetiaan atau loyalitas pada merek influencer (brand loyalty). Pelekatan emosional ini dapat menyebabkan terbentuknya hubungan parasosial (parasocial relationship) antara audiens dengan content creator

Hubungan parasosial merupakan istilah yang dipelopori oleh Donald Horton dan Richard Wohl. Horton dan Wohl (1956) menggunakan contoh televisi untuk menjelaskan hubungan parasosial, yaitu ilusi bahwa adanya suatu hubungan yang langsung antara penonton dan pembawa acara, dimana sebenarnya tidak ada. Meskipun artikel tersebut dipublikasikan tahun puluhan tahun yang lalu fenomena hubungan parasosial masih terjadi di era modern pula, umumnya dengan selebritas, artis, dan figur-figur terkenal lainnya termasuk content creator. Proses terbentuknya hubungan ini memiliki tahapan: 1) social and task attraction, 2) parasocial interaction, dan terakhir 3) a sense of relationship importance (Rubin & McHugh, 1987). Parasocial interaction juga merupakan istilah yang dikemukakan oleh Hort dan Wohl (1956), parasocial interaction berperan sebagai stepping point untuk terbentuknya suatu parasocial relationship, contoh yang diberikan adalah ketika pembawa acara berbicara menghadap kamera sehingga seolah-olah berbicara dengan penonton sendiri. Sense of relationship importance sedangkan mengimplikasikan bahwa hubungan parasosial antara audiens dengan seorang figur bukan hanya sekedar mengetahui figur tersebut secara mendalam, melainkan juga suatu hubungan yang seolah-olah memiliki intimasi, seperti hubungan dengan teman atau sahabat sendiri. 

Perkembangan teknologi memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih banyak dan jangkauan yang lebih jauh dari sebelumnya melalui media sosial. Namun, konsekuensi dari hal tersebut salah satunya adalah munculnya oportunitas untuk memekarnya hubungan parasosial antara tokoh-tokoh selebritas dengan pengikutnya. Studi oleh Jihyun Kim dan Hayeon Song (2016) menunjukkan bahwa hubungan parasosial seseorang dengan selebritas secara positif dipengaruhi oleh professional self-disclosure (bercerita tentang pekerjaannya), personal self-disclosure (bercerita tentang kehidupan pribadi), dan retweeting (fitur aplikasi Twitter untuk menyebarkan ulang tautan orang lain, dalam kasus ini selebritas). Dapat dikatakan bahwa media sosial menjadi wadah yang baik untuk terbentuknya hubungan parasosial, karena semakin mudah ter-expose terhadap kehidupan, pendapat, dan kepercayaan orang yang kita tidak kenal, dimana hal-hal ini yang seharusnya bersifat pribadi disebarkan kepada umum.

Lalu, bagaimana dampak hubungan parasosial pada kondisi psikologis seseorang? Studi yang dilakukan oleh Young Min Baek, Young Bae, dan Hyunmi Jang (2013) menunjukkan bahwa ketergantungan pada hubungan parasosial berkorelasi secara positif dengan rasa loneliness (kesepian), tetapi berkorelasi secara negatif dengan interpersonal distrust (ketidaknyamanan dalam bersikap terbuka dengan orang lain). Ada pun istilah parasocial breakup, yang merupakan ketika hubungan parasosial seorang dengan suatu tokoh berakhir karena tokoh tersebut meninggal atau karena media dimana tokoh itu muncul diberhentikan (Liebers & Schramm, 2019). Dalam konteks media sosial, bentuk parasocial breakup dapat berupa ketika content creator berhenti membuat konten. Terutama pada remaja, parasocial breakup dapat menyebabkan rasa kesedihan (Cohen, 2003). Selebihnya, sebuah penelitian pernah dilakukan mengenai hubungan parasosial antara pemain bola basket terkenal Lebron James dengan penggemar-penggemarnya setelah beliau mengumumkan pensiun sementaranya (Lihat Bostwick & Lookado, 2017, untuk detail lebih lanjut). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggemar yang mengalami parasocial breakup secara umum memiliki perasaan duka ketika James pensiun. Meskipun penelitian tersebut melibatkan LeBron James yang merupakan seorang atlet terkenal, prinsip yang sama berlaku pada content creator. Seperti yang dikatakan oleh Jun dan Yi, interaksi antara influencer dan audiens dapat memunculkan pelekatan emosional dengan influencer. Pelekatan emosional ini yang kemudian menjadi bahan bakar untuk hubungan parasosial.

Interaksi antara content creator dan audiens nya dapat membangun rasa kenyamanan dan komunitas antar-sesama lain. Karena di era digital ini kita dengan sangat mudah dapat berbagi dengan orang lain tentang kehidupan, pendapat, dan kepercayaan kita. Namun, perlu disadari bahwa sesungguhnya figur-figur media sosial yang kita gemari bukanlah teman atau orang dekat dari kita. Oleh karena itu, hindarilah konsumsi media secara berlebihan agar tidak terbentuk hubungan parasosial dengan orang yang sesungguhnya tidak dikenal.

Referensi:

Jun, S., & Yi, J. (2020). What makes followers loyal? The role of influencer interactivity in building influencer brand equity. Journal of Product & Brand Management.

Horton, D., & Wohl, R. (1956). Mass communication and para-social interaction: Observations on intimacy at a iistance. Psychiatry, 19(3), 215-229 https://doi.org/10.1080/00332747.1956.11023049

Rubin, R. B., & McHugh, M. P. (1987) Development of parasocial interaction relationships. Journal of Broadcasting & Electronic Media, 31(3), 279-292. https://doi.org/10.1080/08838158709386664 

Kim, J., & Song, H. (2016). Celebrity’s self-disclosure on Twitter and parasocial relationships: A mediating role of social presence. Computers in Human Behavior62, 570-577. https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.03.083

Baek, Y. M., Bae, Y., & Jang, H. (2013). Social and parasocial relationships on social network sites and their differential relationships with users’ psychological well-being. Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 16(7), 512-517. https://doi.org/10.1089/cyber.2012.0510

Liebers, N., & Schramm, H. (2019). Parasocial interactions and relationships with media characters–An inventory of 60 years of research. Communication Research Trends, 38(2), 4-31.

Cohen, J. (2003). Parasocial breakups: Measuring individual differences in responses to the dissolution of parasocial relationships. Mass Communication & Society, 6(2), 191-202. https://doi.org/10.1207/S15327825MCS0602_5 

Bostwick, E. N., & Lookadoo, K. L. (2017). The return of the king: How Cleveland reunited with LeBron James after a parasocial breakup. Communication & Sport, 5(6), 689-711.

Penulis: Farall Gibran F.