Toksisitas Hustle Culture

Toksisitas Hustle Culture

Halo, semua! Kembali lagi di artikel Psikopedia untuk bulan Oktober yang tentunya akan membahas mengenai topik-topik seputar Psikologi yang tidak pernah mengecewakan dan tentunya menarik. Artikel ini akan membahas mengenai fenomena hustle culture serta hubungannya dengan toxic productivity yang dapat memberikan dampak psikologis yang negatif kepada individual. Wah, menarik kan? Yuk, langsung saja kita baca artikelnya!

Definisi ‘Hustle Culture

Hustle Culture, atau budaya hiruk pikuk, merupakan sebuah standar yang ditetapkan oleh masyarakat di mana kesuksesan hanya dapat dicapai jika seseorang mengerahkan diri pada kapasitas maksimum mereka. Alhasil, mereka perlu mencurahkan sebagian besar dari keseharian mereka kepada pekerjaan atau studi mereka. 

Sejak kapan sih fenomena maraknya budaya hiruk pikuk ini muncul? Fenomena ini pertama ditemukan pada tahun 1971, terutama pada kalangan milenial.  

Latar belakang hustle culture

Budaya hiruk pikuk ini juga dikenal sebagai “Burnout Culture”, “Workaholism”, dan “Toxic Productivity”. Sepintas, itu tampak seperti budaya yang sangat memotivasi, mendorong orang untuk bekerja keras untuk mencapai hasil maksimal dan Anda dapat berhasil jika Anda bekerja cukup keras. Namun, ini juga berarti tidak tidur, bekerja 24/7, dan tidak menjalani kehidupan yang seimbang.

Media sosial pun memerankan peran yang penting dalam mengglorifikasikan budaya ini. Terutama di masa pandemi, di mana pekerjaan dan sekolah di lakukan di rumah, sudah tidak ada batasan antara bekerja, belajar, dan bersantai. Banyak quotes yang beredar di media sosial mengenai hustle culture yang memiliki inti bahwa “Jika Anda tidak keluar dari karantina ini dengan keterampilan baru, kesibukan sampingan Anda dimulai, atau lebih banyak pengetahuan yang diperoleh … maka Anda kekurangan disiplin, bukan waktu” yang akhirnya memberikan dampak buruk terhadap kesehatan mental individu dan masyarakat.

Isu dari hustle culture

Di dunia yang mempromosikan gaya hidup yang sangat kompetitif dan serba cepat, budaya hiruk pikuk menjadi norma dan sarana untuk bertahan hidup di tempat kerja, maupun di dunia perkuliahan. Seperti yang dikutip oleh Tesla dan CEO SpaceX, Elon Musk, “Ada tempat yang jauh lebih mudah untuk bekerja, tetapi tidak ada yang pernah mengubah dunia dalam 40 jam seminggu.” Pernyataan ini mendukung budaya hiruk pikuk, mempromosikan gagasan bahwa bekerja 40 jam seminggu tidak hanya cukup untuk membuat dampak pada dunia saat ini. Dia percaya bahwa jumlah standar jam kerja harus 80 jam per minggu dan memuncak pada 100 jam.

Budaya hiruk pikuk ini bersifat eksploitatif. Meyakinkan orang-orang bahwa mereka yang bekerja terlalu keras adalah apa yang dibutuhkan untuk menjadi sukses. Banyak orang yang hustling begitu keras karena adanya tekanan finansial, pencarian minat, serta tekanan untuk mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan penghasilan yang stabil di era di mana pasar kerja semakin kompetitif. Di Indonesia, 1 dari 3 pekerja menderita gangguan kesehatan mental karena terlalu banyak bekerja sendiri. Bahkan, pada tahun 2013, seorang pekerja yang bernama Mita Diran yang bekerja di salah satu perusahaan di Indonesia meninggal dunia setelah mengalami koma akibat bekerja selama 30 jam tanpa henti. 

Dampak dari hustle culture

Budaya hiruk pikuk mengabaikan kesehatan dan kebutuhan mental masyarakat, seperti istirahat, makan, tidur, minum, dll. Apa yang dilakukan adalah menciptakan tekanan psikologis, membawa perasaan bersalah, mengasihani diri sendiri, kebencian, kemarahan, emosi terpendam, self-talk negatif, perasaan berlebihan, harapan yang tidak realistis, perbandingan, dan rasa gagal. Tekanan untuk terus-menerus bersaing dan memastikan untuk berhasil pada era yang serba cepat ini di mana orang-orang dipaksa oleh keluarga dan teman-teman mereka untuk mencapai pencapaian pekerjaan dan akademis, serta meremehkan dan mengabaikan trauma yang dialami orang selama pandemi ini mempengaruhi mental dan kesehatan mereka.

Beberapa masalah kesehatan yang disebabkan oleh budaya yang tidak sehat ini adalah kelelahan atau burnout, stres kronis, depresi, kecemasan, serta penyakit kardiovaskular. Apa itu burnout? Burnout adalah ketika stres yang berlebihan dan berkepanjangan menyebabkan keadaan kelelahan fisik, emosional, dan mental.

Cara memiliki produktivitas yang sehat

  • Menyadari bahwa kita memiliki produktivitas yang tidak sehat

Jika kalian menyadari bahwa kalian sering memiliki perasaan bersalah yang berhubungan dengan pekerjaan kalian, sering merasa bahwa kalian harus selalu sibuk dan melakukan sesuatu, dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti tidur, kalian sudah menyadari bahwa kalian mengalami produktivitas yang tidak sehat. Alhasil, kalian bisa mulai mencari solusi untuk menghindari toksisitas tersebut.

  • Self-care

Usahakan untuk berupaya lebih dalam menyempatkan kegiatan self-care atau kegiatan-kegiatan yang kalian nikmati, baik itu menonton film, menggambar, yoga, senam, lari pagi, dan lain-lain. 

  • Atur waktu

Dengan mengatur waktu, tugas-tugas serta tanggung jawab yang kalian miliki tidak akan bertumpuk. Bertumpuknya tugas-tugas dapat membuat kalian kewalahan dan makin letih.

  • Menentukan skala prioritas

Jika kalian mengurutkan kepentingan kalian ke dalam sebuah skala prioritas, kalian dapat menentukan yang mana yang perlu kalian lakukan di waktu yang dekat, dan mana yang bisa didelegasikan, atau bahkan kalian lepas. Karena tidak seluruhnya perlu kalian pegang sendiri.

  • Fleksibilitas

Menyelesaikan tugas dan kepentingan berdasarkan deadline itu penting, namun penting juga untuk kalian memiliki fleksibilitas, di mana kalian tidak terpaku atas suatu deadline yang fixed. Karena ketidak fleksibilitas an tersebut dapat membuat kalian lebih stres, dan dapat menimbulkan rasa-rasa bersalah jika seandainya kalian tidak mampu menyelesaikannya di waktu yang sudah ditentukan oleh diri kalian sendiri.

Hustle culture memang sudah menjadi budaya yang menjadi semakin marak pada era sekarang ini. Maka dari itu, penting sekali untuk pelajar-pelajar Indonesia serta masyarakat Indonesia secara general untuk mementingkan kesehatan mental dan kesehatan fisik masing-masing juga agar tidak mengalami dampak-dampak buruk dari bekerja berlebihan dan produktivitas yang tidak sehat. Semoga artikel ini dapat membantu kalian menyadari bahaya toxic productivity dan mendorong kalian untuk memulai mengimplementasikan produktivitas yang sehat, ya! Sampai jumpa di artikel berikutnya!

Referensi:

BBC News Indonesia. (2021, Juli 13). Mengapa kita memuja “kerja berlebihan”? BBC NewsIndonesia. https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-57799771 

Griffith, E. (2019, Januari 26). Why Are Young People Pretending to Love Work? The New York Times. https://www.nytimes.com/2019/01/26/business/against-hustle-culture-rise-and-grind-tgim.html 

Jalbert, M. (2021b, Februari 4). “What is ‘Hustle Culture’ and How Do We Break It?” [Creator’s Block, Ep. 102]. IMPACT. URL: https://www.impactplus.com/blog/what-is-hustle-culture-and-how-do-we-break-it-ep-102 

Komunitas Kala Krisis Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. (2020, September 2). Mengenal Hustle Culture, Budaya Gila Kerja Generasi Muda | Kedokteran – Universitas Airlangga. Fakultas Kedokteran UNAIR. https://fk.unair.ac.id/mengenal-hustle-culture-budaya-gila-kerja-generasi-muda/ 

Lorelie, C. (2020, Desember 28). Hustle Culture: Why Is Everyone Working Too Hard? – The Post-Grad Survival Guide. Medium. https://medium.com/the-post-grad-survival-guide/hustle-culture-why-is-everyone-working-too-hard-69f9f5331ab5 

Mukhtar, S. (2020). Psychological health during the coronavirus disease 2019 pandemic outbreak. International Journal of Social Psychiatry. URL: https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0020764020925835

Riz. (2017, Januari 25). `Kerja Maut` 30 Jam Mita Diran Disorot Dunia. liputan6.com. https://www.liputan6.com/global/read/777243/kerja-maut-30-jam-mita-diran-disorot-dunia 

Smith, M., Segal, J., & Robinson, L. (2021, Oktober 5). Burnout Prevention and Treatment. HelpGuide.Org. https://www.helpguide.org/articles/stress/burnout-prevention-and-recovery.htm 

Penulis: Talulla Salma

Talulla Salma