Budaya Ikut-Ikutan di Indonesia, Apa Penyebabnya?
Budaya Ikut-Ikutan di Indonesia, Apa Penyebabnya?
Halo teman-teman! Gimana kabarnya hari ini? Semoga selalu dalam kondisi sehat dan baik ya. Tanpa terasa, sudah setahun lebih semenjak kasus pertama Covid-19 ditemukan di Indonesia. Selama kurun waktu ini, tentunya kita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Nah, apa saja nih yang teman-teman lakukan untuk mengisi waktu selama di rumah? Apakah teman-teman ikut menggunakan aplikasi Tiktok yang sempat viral di masa awal pandemi? Jika iya, ternyata teman-teman sedang melakukan konformitas, lho! Memangnya apa sih itu konformitas? Mungkin kebanyakan teman-teman masih asing dengan kata tersebut ya?
Sekarang, ayo kita berkenalan dengan konformitas!
Konformitas merupakan perubahan pada perilaku individu sehingga ia dapat sesuai dengan kriteria atau standar di kelompok tertentu, baik secara nyata maupun hanya berupa bayangan (Aronson et al., 2021; King, 2020). Dalam konformitas ini, sebenarnya individu tidak diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok, tetapi dorongan ini muncul dari dalam dirinya sendiri. Sederhananya, konformitas ini adalah fenomena saat kita mengubah perilaku kita karena kita ingin sesuai dengan kelompok tertentu. Nah, sampai di sini apakah teman-teman sudah memahami apa itu konformitas? Jika belum, mari kita simak contoh fenomena nyatanya, yuk!
Konformitas sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saja pada saat kegiatan pembelajaran di kelas. Ketika dosen mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa lalu meminta mereka untuk menjawab pertanyaan tersebut melalui kolom chat, umumnya semua mahasiswa akan memberikan jawaban yang sama. Padahal, bisa saja terdapat beberapa mahasiswa yang sama sekali tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut ataupun jawaban yang dituliskan belum tentu benar. Karena sudah terdapat mahasiswa yang memberikan jawabannya, mahasiswa lain pun menjadi lebih yakin untuk menuliskan jawaban yang sama.
Kenapa sih kita sampai bisa menampilkan perilaku konformitas atau ikut-ikutan itu?
Dikutip dari King (2020), terdapat tiga faktor yang dapat menjelaskan fenomena konformitas ini. Ayo kita bahas satu per satu!
- Faktor Biologis
Seperti namanya ya, teman-teman, aspek biologis pastilah berhubungan dengan gen, otak, hormon, dan sebagainya. Secara biologis, otak memberikan sinyal kepada kita bahwa berperilaku konformitas merupakan hal yang baik. Ketika kita menampilkan perilaku yang sesuai dengan kelompok, bagian otak yang berfokus pada penghargaan (reward) akan diaktivasi sehingga kita akan merasa lebih puas.
- Faktor Psikologis
Dari namanya, kita dapat mengetahui kalau faktor ini pastilah berhubungan dengan mental atau kejiwaan dan perilaku manusia. Apakah teman-teman pernah mendengar atau membaca peribahasa, “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”? Dari peribahasa itu, kita tahu bahwa kita perlu menghargai hal-hal yang berhubungan dengan tempat tinggal kita. Namun, kemudian muncul pertanyaan, “Bagaimana jika kita benar-benar baru di tempat tersebut dan belum mengetahui sama sekali tentang daerah itu?” Nah, disinilah peran dari faktor psikologis muncul. Kita akan cenderung menyesuaikan dengan perilaku orang-orang yang berada di tempat tersebut karena dua alasan, yakni kita ingin menjadi benar karena menganggap bahwa yang dilakukan oleh penduduk asli adalah benar serta kita ingin menyesuaikan diri supaya disukai oleh orang-orang di tempat tersebut.
- Faktor Budaya
Adanya faktor budaya juga turut mempengaruhi kemunculan konformitas nih, teman-teman. Apabila kita hidup di budaya yang mengedepankan budaya individualistis, yakni lebih mengedepankan pencapaian mandiri individu, kita akan lebih jarang memunculkan konformitas. Sebaliknya, individu yang hidup dengan budaya kolektif, yakni menekankan pada pencapaian berhubungan kuat dengan peran individu dalam kelompok, akan cenderung lebih mungkin untuk menampilkan konformitas.
Sekarang kita sudah sama-sama tahu nih tentang budaya ikut-ikutan dan penyebab kemunculannya. Kira-kira menurut teman-teman, itu adalah hal yang baik atau malah buruk? Ternyata konformitas ini punya dua sisi, lho! Dengan menyesuaikan diri dengan kelompok, hubungan individu di kelompok tersebut bisa menjadi lebih erat sehingga meningkatkan kerja sama dan kekompakkan di kelompok tersebut. Di sisi lain, adanya konformitas ini bisa membawa efek yang buruk, yakni ketika individu merasa adanya tekanan untuk menjadi sesuai dengan kelompok sehingga ia melakukan berbagai cara supaya dapat sama. Misalnya saja, ia menjadi tidak ragu untuk melakukan hal-hal ekstrem, seperti mengkonsumsi alkohol supaya ia tetap dapat sesuai dengan kelompoknya.
Nah, tentunya kita perlu membuat filter mandiri ya, teman-teman, pada saat dihadapkan dengan situasi yang mengarah pada konformitas. Apabila hal tersebut tidak merugikan kita, tidak ada salahnya untuk menyesuaikan perilaku dengan kelompok. Akan tetapi, apabila melakukan konformitas ini malah membawa dampak negatif untuk diri kita maupun orang lain, segera hindari, ya, teman-teman!
Sekian dulu pembahasan kali ini mengenai konformitas. Semoga teman-teman dapat menjadi lebih paham mengenai topik ini, ya! Semoga pembahasan kali ini berguna bagi, teman-teman. Jangan lupa untuk terus menjaga kesehatan diri dan keluarga ya, teman-teman! Sampai jumpa pada artikel selanjutnya!
Referensi:
Aronson, E., Wilson, T. D., & Sommers, S. R. (2021). Social psychology (10th ed. Global ed.). Pearson Education Limited.
Cherry, K. (2020). How does conformity influence behavior?. Verywell Mind. Diperoleh dari https://www.verywellmind.com/what-is-conformity-2795889
King, L. A. (2020). The science of psychology: An appreciative view (5th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Penulis: Elen Novianti