Body Dysmorphic Disorder

Body  Dysmorphic Disorder

Wisnu Septiawan / 1901520385 / Pengurus Badan Pendidikan dan Kajian Keilmuan HIMPSIKO 2017

Adit Dwi Anugrah Putra / 2001550786 / Aktivis Badan Pendidikan dan Kajian Keilmuan HIMPSIKO 2017

Foto Bersama Pengurus HIMPSIKO & Crew Bengkel Psikologi BVOICE Radio

Hai-hai psytroopers ! Kembali lagi dengan kami, dimana kali ini kami akan membahas topik terutama untuk teman-teman yang seringkali merasa cemas atau tidak puas dengan penampilan kalian sendiri. Kalian pernah enggak sih ngerasa gak puas gitu sama penampilan kalian saat ini dan seringkali kali kalian berkata dalam diri sendiri “Ih, aku gendutan yah kayaknya; Aduh! Bagus gak yah kalau pakai baju ini ? atau Yaampun hari ini aku jelek banget !” Nah kalian penasaran gak kenapa orang bisa seperti itu dan ada hubungannya gak yah sama Ilmu Psikologi ? Kira-kira ini termasuk ke gangguan gak yah ? Yuk, kita lihat !

Pengertian secara sederhananya orang yang selalu mencemaskan penampilan karena merasa memiliki kekurangan pada tubuhnya (body image yang negatif) itu disebut Body Dysmorphic Disorder (BDD) loh psytroopers !

Nah jadi udah pada  tahu kan kali ini kita akan bahas apa? Ya! Kali ini kami akan bahas mengenai salah-satu gangguan psikologi yaitu Body Dysmorphic Disorder (BDD). Body Dysmorphic Disorder itu topic yang menarik untuk dibahas karena hal ini bisa kita lihat secara langsung di kehidupan sehari-hari kita loh, dan biasanya hal ini terjadi kebanyakan pada remaja seperti kita loh. Kalian harus tahu nih Body Dysmorphic Disorder (BDD) sebenarnya seperti apasih?

Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah gangguan pada seseorang yang mengalami ketidak-puasan terhadap beberapa bagian tubuh dengan tingkat kecemasan yang ditunjukkan dengan 16 perilaku obsesif-kompulsif, pikiran dan perasaan yang negatif mengenai tubuh, serta menghindari hubungan dan situasi sosial.

Penderita Body Dysmorphic Disorder (BDD) ini menghabiskan waktunya 3-8 jam per hari untuk memfokuskan perhatian pada kekurangan imajiner yang dirasakannya. Untuk menegaskan diagnosis mengenai Body Dysmorphic Disorder (BDD), dapat diukur dari tingkat distress yang signifikan, hubungan sosial yang buruk, misalnya sampai enggan sekolah atau bekerja, dan penurunan kepribadian serta peran sosial.

Orang yang punya masalah BDD bisa menghabiskan banyak uang atau waktu hanya untuk memperbaiki kekurangan mereka tapi enggak pernah merasa puas. BDD juga bisa merasa depresi kalau terjadi sesuatu pada penampilan mereka. Misalnya gara-gara jerawat kita malu keluar rumah atau bertemu dengan orang lain.

Secara klinis, Body Dysmorphic Disorder (BDD) merupakan bagian dari obsessive-compulsive disorder (Watkins, 2006; Thompson, 2002). Nah Body dysmorphic disorder itu kalo kalian ingin tahu, munculnya itu kebanyakan pada wanita cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya (Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian (Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).

Menurut Dr. Katherine Phillips, BDD pada umunya akan mulai kelihatan sejak seseorang (baik pria maupun wanita) memasuki masa remaja. Bahkan bisa juga sudah ada sejak kecil tetapi belum terdeteksi. Pada masa remaja itulah, seseorang akan semakin memperhatikan perubahan yang terjadi pada dirinya semisal ukuran dan bentuk tubuh.

Sebenarnya, adalah merupakan suatu kewajaran apabila seseorang memperhatikan penampilannya. Akan tetapi, pada orang normal, kebiasaan ini akan memudar seiring dengan berjalannya waktu dan dengan pembiasaan-pembiasaan dengan bentuk tubuh yang baru.

Riwayat dilecehkan tubuhnya pada masa kanak-kanak, tidak dicintai orang tua, dan mempunyai penyakit yang mempengaruhi penampilan, jerawat misalnya, bisa dikategorikan menjadi penyebab gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD). Jika diklasifikasikan, ada dua aspek yang masih menjadi dugaan penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD). Pertama, adanya ketidakseimbangan cairan kimia (hormon serotonin) 18 di dalam otak, yang berpengaruh terhadap kapasitas obsesi. Kedua, kemungkinan faktor-faktor sifat, psikologis, maupun budaya.

Bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body Dysmorphic Disorder (BDD) (menurut Watkins, 2006; Thompson, 2002; Wikipedia, 2006; Weinshenker, 2001; dan David Veale) adalah sebagai berikut :

  1. Memikirkan atau mengamati penampilannya selama 3-8 jam per hari atau menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan, seperti melalui cermin atau kamera.
  2. Mengukur atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang.
  3. Meminta pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat.
  4. Mengkamuflasekan kekurangan fisik yang dirasakannya.
  5. Menghindari situasi dan hubungan sosial.
  6. Mempunyai sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi idealitas penampilan fisiknya.
  7. Berpikir untuk melakukan operasi plastik.
  8. Selalu tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik.
  9. Mengubah-ubah gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya.
  10. Mengubah warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan.
  11. Berdiet secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir.

Jika kita bertemu atau berhadapan langsung dengan mereka yang sedang mengalami BDD, kita tidak perlu menjauhi mereka atau menaruh perhatian terhadap cara mereka menanggulangi masalah tersebut. Ada beberapa cara yang masih bisa kita lakukan untuk menangani teman teman kita yang sedang mengalami BDD.

  1. Obat-obatan. Obat yang bisa kita pergunakan adalah SSRs atau Selective Serotonin-Reuptake Inhibitors (antidepressant). Obat ini bisa digunakan untuk menangani depresi yang biasa dialami oleh penderita BDD. Sayangnya, layaknya obat kebanyakan, SSRs pun memiliki efek samping apabila terus menerus dikonsumsi dalam jangka waktu lama.
  2. Cognitive-Behavioral Therapy, terapi ini adalah pilihan yang sangat tepat apabila seseorang ingin menanamkan pola pikir positif dan membuat penderita BDD merasa lebih percaya diri dengan dirinya.
  3. Exposure & Response Prevention (ERP)
  4. , terapi ini dengan cara menempatkan klien pada kondisi yang memicu perilaku BDD.
  5. Seorang penderita BDD bisa dibimbing dan dilatih untuk membangun strategi dan jalan keluar dalam mengatasi pikiran-pikiran negatif yang mengganggu konsentrasi. Hal ini juga meningkatkan pengendalian diri terhadap tindakan kompulsifnya.
  6. Dukungan keluarga. Tindakan terakhir ini bisa jadi merupakan ‘senjata’ paling ampuh dalam menangani kepercayaan diri penderita BDD. Akan lebih baik jika keluarga membantu mereka dalam mengungkapkan perasaan-perasaan stress, depresi, frustasi dan yang lainnya untuk menjaga terjadinya frustasi yang semakin besar lagi.

Referensi

https://wolipop.detik.com/read/2017/02/09/135441/3417902/1137/50-kali-operasi-plastik-pria-mirip-ken-barbie-ini-kesulitan-bernapas

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI_PEND_DAN_BIMBINGAN/197102191998021-NANDANG_BUDIMAN/BODY_DYSMORPHIQ_DISORDER.pdf

http://cewekbanget.grid.id/Love-Life-And-Sex-Education/Kenali-Gejala-Body-Dysmorphia-Disorder

http://publication.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/5348/1/JURNAL%20SKRIPSI.pdf

http://digilib.mercubuana.ac.id/manager/n!@file_skripsi/Isi2418383832621.pdf

  1. Salam sejahtera. Sebagai sesama mahasiswa psikologi, dengan hormat saya ingin mengkritisi tulisan Anda. Saya menilai bahwa informasi yang disajikan sudah cukup lengkap dan baik adanya. Hanya saja, ada beberapa hal yang dapat diberbaiki, seperti pemilihan kata, susunan kalimat, dan penggunaan tanda baca masih kurang tepat. Hal ini dapat mengurangi kualitas karya tulis yang Anda sajikan. Saya akan mengambil beberapa contoh, seperti ini: • "Hai-hai psytroopers !" (Par. 1, kal. 1) --> "Hai" tidak perlu diberi "-" karena bukan kata ulang seperti "undang-undang" atau "layang-layang". Tidak ada "hai-hai" dalam KBBI. Sebaiknya diubah menjadi "hai, hai, psytroopers". Jangan lupa di italic untuk penggunaan bahasa asing. • "Nah jadi udah pada tahu kan kali ini kita akan bahas apa?" (Par. 3, kal. 1) --> Saya pikir tidak perlu banyak bertanya kepada pembaca, terutama pertanyaan seperti ini, dan muncul setelah pemaparan definisi BDD. Pembaca bisa saja kehilangan selera ketika ada tulisan-tulisan interaksi yang tidak diperlukan. • "Ada beberapa cara yang masih bisa kita lakukan untuk menangani teman teman kita yang sedang mengalami BDD." (Par. terakhir) --> Terus terang, saya merasa ini keliru. Pemberian obat-obatan dan terapi lainnya hanya dapat dilakukan oleh profesional, seperti psikolog klinis dan psikiater. Sebagai awam dan calon sarjana psikologi, ataupun sarjana psikologi, yang dapat dilakukan hanya memberi rujukan untuk mengunjungi profesional untuk segera mendapatkan penanganan yang tepat. Tentunya, kita belum boleh mendiagnosis apalagi menangani "teman-teman" kita yang mungkin memiliki gangguan. Sebaiknya, penulis lebih detail dan cermat dalam menjelaskan hal ini. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dari entry ini selain contoh yang saya sebutkan di atas. Saran saya, ada baiknya jika dibentuk tim editorial yang paham betul mengenai aturan dan penulisan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, tim penulis dapat berkonsultasi dengan dosen sebelum mengupload artikel ataupun karya tulis, supaya terhindar dari kesalahan informasi. Dan untuk penggunaan sumber, ada baiknya jika penulis menggunakan jurnal ilmiah sebagai referensi dan menghindari "blog" non-ilmiah. Demikian komentar yang saya berikan. Besar harapan saya agar Psikologi Binus terus berkembang dan mampu mengedukasi masyarakat lebih lagi. Terima kasih.