KARTINI, SUDAHKAH WANITA MERDEKA?

Rachel M.A Gultom / Pengurus Badan Informasi dan Komunikasi HIMPSIKO 2017

1901512540

”Ibu kita Kartini, putri sejati, Putri Indonesia,
Harum namanya. Wahai ibu kita Kartini, Putri Yang Mulia,
Sungguh besar cita-citanya bagi Indonesia”

Tidak asing di telinga, ketika kita mendengar senandung lagu dari syair di atas. Ya, Raden Ajeng Kartini, itulah sosok bersahaja di balik lagu tersebut. Dialah wanita tangguh nan berani yang terus berjuang demi memerdekakan kaum wanita pada masa itu. Tepat setiap 21 April kita memperingatinya sebagai hari Kartini, yang juga bersamaan dengan hari lahirnya. Perjuangan dan pemikirannya untuk memelopori keadilan bagi kaum wanita dapat kira rasakan hingga masa kini. Lewat berbagai surat terbuka yang ia tuliskan pada masa itu, Kartini muda mengungkapkan besarnya harapan dia untuk merasakan kesetaraan antara kaum wanita dan kaum pria. Pada masa itu, sesuai adat dan budaya Jawa, wanita ditempatkan sebagai kaum “rendah” atau disebut inferior. Menurut artikel yang ditulis oleh Sudrajat berjudul “Kartini : Perjuangan dan Pemikirannya”, menyatakan bahwa dalam konstruk budaya Jawa peranan wanita hanya berkisar pada tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak) dan di kasur (melayani suami). Lebih jauh gambaran wanita Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang. Wanita masa itu tidak diperbolehkan tampil dalam berbagai kegiatan publik, tidak mendapat pendidikan yang layak, dan bahkan kawin paksa begitu merajalela. Kenyataan tersebutlah yang akhirnya mendorong Kartini muda untuk berjuang menciptakan keselerasan antara kaum wanita dan kaum pria. Kartini paham betul bahwa hal penting untuk mencapai keselarasan tersebut adalah melalui bidang pendidikan. Hal tersebutlah yang mendorong Kartini begitu antusias dalam mendirikan berbagai sekolah terutama sekolah wanita.

Perjuangan Kartini tidak sia-sia, berkat jerih lelahnya, wanita masa kini dapat merasakan kesetaraan gender dan kebebasan untuk berkembang di tengah berbagai aspek kehidupan. Habis Gelap Terbiltah Terang, dulu berada dalam kekelaman kini wanita dapat merasakan ketenangan. Itulah kalimat yang tidak pernah lepas dari sosok Ibu Kartini.

Namun, apakah wanita masa kini masih melanjutkan perjuangan Ibu Kartini? Atau justru jatuh dan terjerumus dalam nikmat dunia semata. Masihkah kalimat Habis Gelap Terbitlah Terang terpancar dalam diri kita, atau justru Berangkat Gelap Pulangnya Terang? menjadi prinsip hidup generasi masa kini. Seringkali kita mendengar gurauan kalimat di atas. Zaman sudah berubah, wanita rela melakukan apapun hanya untuk mendapat kesenangan dunia semata. Bahkan nampaknya eksploitasi terhadap wanita menjadi hal lumrah yang dilakukan dari masa ke masa. Tidak salah kalau salah satu lirik lagu menuliskan syairnya demikian “wanita dijajah pria sejak dulu”. Berbagai artikel menuliskan keprihatinannya mengenai kaum wanita masa kini yang justru rela menjual harga dirinya demi mendapatkan berbagai hal duniawi. Jika Ibu Kartini berusaha sedemikan keras untuk menyadarkan berbagai wanita di masanya untuk lepas dari belenggu penindasan dan kebodohan, maka Kartini masa kini harus lebih bekerja keras lagi menyadarkan diri dan kaumnya (wanita) lebih berharga daripada sekedar nikmat duniawi semata.

Jadi, sudahkah kita (wanita) merdeka?

“Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri” –R. A. Kartini.