Happy Birthday for Himpsiko

Happy birthday , happy birthday , happy birthday to you..

Hayooo, siapa yang ga seneng sih kalau di nyanyiin lagu diatas, apalagi dinyanyiin sama orang- orang yang kita sayangi dan kita harapkan. nah, tau ga soih kalian bahwa perayaan ulang tahun itu bisa dilihat dari sisi psikologi?

Penasaran?? check artikel berikut yaaa

Tapiii, Sebelumnya kita mau ngumumin nih bahwa kemarin tanggal 28 September Himpsiko baru aja berulang tahun yang ke 7 nih, HOREE  YEEAAAAAAH.  Maka dari itu, kali ini kita ingin membahas tentang gimana sih makna merayakan ulang tahun menurut psikologi ?

Pentingkah merayakan ulang tahun? Pertanyaan seperti itu sering terlontar ketika ada teman tengah heboh menyiapkan acara ulang tahunnya. Saking hebohnya, sampai-sampai di antara kita memunculkan pertanyaan. Apa iya, sih, sebegitu pentingnya ulang tahun sehingga harus selalu kita rayakan?

Ternyata merayakan ulang tahun itu penting, begitu pendapat psikolog sosial yang juga pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Faturochman. Namun, dia mengingatkan, sebaiknya rayakanlah secara sederhana saja. Apalagi untuk kita yang berstatus mahasiswa.

Menurut Faturochman, pengabaian hari ulang tahun (ultah) secara umum membuat kita tidak tahu persis berapa sebenarnya usia kita. Padahal informasi itu penting, terutama bagi keperluan profil demografi.

Data usia paling lengkap dari Provinsi Sulawesi Utara. Besar kemungkinan karena warga di sini sejak dulu mengadopsi kebiasaan bangsa Barat untuk merayakan ultah.

Makna perayaan

Menurut Faturochman secara pribadi, perayaan ultah mengingatkan kita pada pencapaian yang sudah kita lakukan dan apa rencana ke depan

Dia menyatakan, di situlah sesungguhnya makna dari perayaan ultah. Merayakan ulang tahun bisa menjadi saat kita untuk bersyukur atas berkat Yang Maha Kuasa. Maka perayaannya bisa dengan cara sederhana, umpamanya shalat bagi yang Muslim, ibadah ke gereja, atau ke kuil bagi umat agama yang lain

Dari sisi anak muda, banyak cara untuk merayakan ultah. Kebanyakan dari mereka akan berpendapat bahwa ulang tahun yang ke-17 atau sweet seventeen adalah ulang tahun yang tidak terlupakan.

*bisa diisi dg nyeritain sweet seventennya kalian*

Hasil angket yang diisi 400 mahasiswa dari empat perguruan tinggi, yakni Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Tarumanegara Jakarta, dan Universitas Bina Nusantara Jakarta, awal Maret 2014 lalu memperlihatkan, satu dari empat responden menyebut sweet seventeen sebagai saat tak terlupakan.

Ada perayaan meriah yang sengaja diadakan. Kejutan dan aneka keisengan pun biasanya muncul dari teman-teman dekat yang bersangkutan.

Kini, saat sudah kuliah, apa makna ultah bagi mereka? Sebagian besar mengatakan ultah menjadi momen bersyukur atas berkat dan rahmat yang dianugerahkan Sang Pencipta. Sebagian lain menyebut sebagai waktu untuk introspeksi diri.

Perbedaan memaknai ultah melahirkan sikap beragam. Mereka yang menganggap ultah tak beda dengan hari biasa enggan merayakannya.

Sebaliknya, mereka yang menilai hari lahirnya sebagai momen spesial, biasanya akan berusaha merayakannya. Mayoritas pengisi angket mengaku tak membuat acara khusus setiap tahun, hanya pada usia tertentu. Namun, satu dari tiga orang mengadakan perayaan ultah setiap tahun.

Biasanya, pemilihan lokasi perayaan akan berimplikasi terhadap dana. Semuanya tergantung kepada pilihan kamu mau ngerayain ulang tahun dimana. Dalam penelitian ini ada contoh dari mahasiswi yang bernama Sonia.

Sonia, mahasiswi Jakarta, semula ngotot akan merayakan ultah ke-19 di sebuah kafe di Jakarta Selatan, bersama teman-temannya.

Namun, setelah berdiskusi dan bernegosiasi dengan ibunya, dia memutuskan merayakan ultah di sebuah panti sosial di Jakarta Selatan yang menampung anak berkebutuhan khusus dan ditinggalkan orangtuanya.

”Tadinya pengin kayak temanku yang merayakan ultah di kafe, tetapi aku pikir, anak dan pengasuh panti sosial itu akan senang jika kita makan bersama dan mengajak mereka bermain,” kata dia.

Apa yang terjadi itu berbeda dengan kultur di negara yang miskin sumber daya, seperti Singapura, Korea, dan Jepang. Mereka harus bekerja keras untuk hidup. Oleh karena itulah, mereka umumnya cenderung tak suka menghamburkan uang.

Mengutip disertasi yuniornya, Faturochman menyebut sebagian orang Indonesia ternyata tak pernah tumbuh dewasa.

”Mereka tetap dalam posisi being young walau tak muda lagi dalam usia sehingga sikapnya tidak pernah dewasa dan tetap kekanak-kanakan,” ujar dia.

Bagaimana cara mengakhiri kondisi itu? Menurut Faturochman, cara paling efektif adalah keteladanan dari orangtua dan lingkungan, tempat anak muda tumbuh dan berkembang.