Puasa Berdasarkan Perspektif Psikologi

Selamat Pagi!!

Bulan Ramadhan emang sebentar lagi akan usai teman-teman, tapi nggak ada salahnya kan untuk tetap memberikan informasi tentang puasa ? Nah kali ini kita ingin memberikan informasi pentingnya berpuasa dilihat dari perspektif psikologinya.

Ritual puasa bagi umat Islam adalah merupakan kredo peribadatan yang sifatnya rutin, terjadi terus menerus setiap setahun sekali, dimana umat islam wajib untuk melaksanakan karena puasa ini merupakan perintah Agama. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertaqwa.”(QS. Al Baqarah 183).

Inti perintah untuk menjalankan ibadah bagi umat Islam adalah pengendalian diri atau self control. Mengapa aspek pengendalian ini penting ? Karena pengendalian diri merupakan salah satu komponen utama bagi upaya perwujutan kehidupan jiwa yang sehat.

Dalam perspektif ilmu psikologi dan kesehatan mental, kemampuan mengendalikan diri adalah merupakan indikasi utama sehat tidaknya kehidupan rohaniah seseorang. Orang yang sehat secara kejiwaan akan memiliki tingkat kemampuan pengendalian diri yang baik, sehingga terhindar dari berbagai gangguan jiwa ringan apalagi yang berat.

Manfaat Pengendalian Diri

Bukti ilmiah tentang manfaat mengendalikan diri ditulis oleh Daniel Goleman, seorang ahli kepribadian dan peneliti tentang kecerdasar emosi. Salah satu penelitiannya mengadakan penelitian pada anak-anak berusia empat tahun di taman kanak-kanak. Pertama sekali anak-anak di suruh masuk kesebuah ruangan satu persatu, dimana sepotong manisan di letakkan diatas meja di depan mereka, sambil diperintahkan “kalian boleh makan manisan ini jika mau, saya mau keluar sebentar, tetapi kalau ada yang tahan memakannya nanti setelah saya kembali ke sini, dia akan berhak mendapatkan sepotong lagi”.maka hasilnya ada yang memakan dan ada yang tidak.

Setelah empat belas tahun kemudian, dimana anak-anak itu telah lulus sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) anak-anak yang dahulu langsung memakan manisan dan anak-anak yang mampu mengendalikan diri sehingga mendapat dua potong menunjukkan perkembangan sebagai berikut. mereka yang langsung memakan manisan cendrung tidak tahan menghadapi stres, mudah tersinggung, mudah berkelahi, dan kurang tahan uji dalam mengejar cita-cita mereka

Peneliti juga menemukan hasil yang mengejutkan dimana anak-anak yang mampu menahan diri dalam uji manisan, memperoleh nilai yang lebih tinggi dalam ujian masuk ke perguruan tinggi dan juga ketika anak-anak TK itu tumbuh menjadi dewasa dan bekerja, perbedaan-perbedaan diantara mereka semangkin mencolok, dipenghujung usia duapuluhan, mereka yang lulus uji manisan tergolong orang-orang yang sangat cerdas, berminat tinggi dan lebih mampu berkonsentrasi, mereka lebih mampu mengembangkan hubungan yang tulus dan akrab degan orang lain, lebih handal dan bertanggung jawab serta pengendalian dirinya lebih baik saat menghadapi prustasi.

Dari hasil penelitian di atas dapat dipahami bahwa orang yang dapat mengendalikan diri diperkirakan akan mampu menghadapi tantangan, godaan dan rintangan hidup, mereka juga diperkirakan akan memiliki tingkat konsentrasi lebih tinggi dalam bekerja, dan mereka juga mampu mengembangkan hubungan yang akrab dan tulus dengan orang lain, mereka mempunyai hubungan sosial yang lebih baik, mereka juga lebih handal dan bertanggung jawab dan pengendalian dirinya lebih baik saat dia menghadapi masalah sehingga tidak menimbulkan prustasi.

Hubungan Puasa dengan Kesehatan Jiwa

Doktor Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja pada lembaga psikiatri Moskow mencoba menyembuhkan gangguan jiwa dengan berpuasa. Dalam usahanya itu ia melakukan terapi terhadap pasiennya dengan menggunakan 30 hari puasa (persis puasanya orang Islam).

Nicolayef mengadakan penelitian ekperiment dengan membagi subyek menjadi dua kelompok yang sama besar, baik usia maupun berat ringannya gangguan. Kelompok pertama diberi terapi atau pengobatan dengan menggunakan obat-obatan medis. Sementara kelompok ke II diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Dua kelompok tadi diikuti perkembangan fisik dan mentalnya dengan tes-tes psikologi.

Dari ekperimen ini diperoleh hasil yang sangat baik, yaitu banyak pasien-pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medik ternyata bisa sembuh dengan berpuasa. Sementara itu Prof. Dr. Dadang Hawari, guru besar psikitari UI Jakarta dalam penelitiannya juga menemukan bahwa gangguan-gangguan jiwa non psikosis (seperti fobia, obsesif kompulasi, panic disorder) dapat disembuhkan dengan terapi puasa, baik puasa ramadhan maupun puasa sunat.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta tentang hubungan puasa dan kepekaan sosial, menemukan temuan bahwa puasa secara significan berhubungan positip dengan sensitifitas sosial. Artinya perilaku puasa dapat meningkatkan kepekaan sosial sehingga dengan kepekaan itu individu manjadi mudah memberi pertolongan (helping behavior) dan suka mengembangkan perilaku-perilaku yang bersifat pro sosial.

Menurut Drs. Soleh Amini Yahman. MSi. kandungan puasa yang berefek positip bagi perkembangan kecerdasan emosional manusia.

  • Mengontrol diri. Tak ada kamus bagi manusia untuk menahan haus dan lapar. Secara instingtif manusia akan melakukan tindakan makan atau minum begitu merasa lapar atau dahaga. Namun dengan berpuasa manusia dilatih dan menjadi terlatih untuk mengontrol/menahan diri untuk tidak makan atau minum sehebat apapun rasa haus dan lapar tersebut, karena ia sadar bahwa dirinya sedang berpuasa.
  • Menahan emosi. Tempramen manusia kadang sulit dikendalikan. Lewat puasa manusia dilatih dan terlatih untuk menahan emsosi, sebab ada nilai dalam puasa yang mengajarkan “kalau sedang puasa tidak boleh marah-marah” atau “ tidak boleh bertengkar, nanti puasanya batal lho” dan sebagainya.
  • Mengajarkan arti berbagi, bulan puasa adalah bulan untuk banyak berbagi (beramal). Orang tua bisa memberi contoh dan menjelaskan realitas kepada anak-anaknya (murid-muridnya) bahwa di luar lingkungan keluarganya (diluaran sana) ada orang yang kekurangan, harus dibantu harus ditolong dan sebagainya, saat berbagai dengan orang lain (misalnya sedekah, zakat) libatkanlah anak, minta anak memberikan sumbangan atau bantuan.

Cara ini akan melatih emosi anak untuk lebih peduli (empati) pada orang lain. Selain itu akan mengurangi ego anak, dan mengajarkan anak untuk mau dan senang berbagi dengan orang lain. Marhaban ya Ramadhan, selamat menjalankan ibadah puasa semoga puasa membawa kita menjadi manusia santun, sabar dan mampu menahan diri. Amin.

 

Sumber :

Dra. Seriawati Bukit, M.Psi. 2013. Puasa dipandang dari sudut psikologi. Diambil dari http://sumut.kemenag.go.id/file/file/TULISANPENGAJAR/ovjl1374463509.pdf

Drs. Soleh Amini Yahman, M.Si. 2010. Puasa: pengendalian diri untuk kesehatan jiwa. Diambil dari http://solehamini.blogspot.com/2010/05/ritual-puasa-bagi-umat-islam-adalah.html