Diet Ketogenik, Amankah?

Claresta Constantine
1901518071

Diet ketogenik tengah populer di kalangan masyarakat saat ini yang diyakini dapat menurunkan berat badan secara cepat tanpa mengalami rasa lapar berlebihan. Metode diet yang awalnya ditujukan bagi penderita epilepsi tersebut dijalankan dengan cara membatasi jumlah asupan karbohidrat serendah mungkin yang digantikan dengan asupan lemak dalam jumlah tinggi sebagai sumber energi utama disertai asupan protein dalam jumlah sedang, yang umumnya dengan proporsi lemak 70-80%, protein 10-20%, dan karbohidrat 5%. Kurangnya asupan karbohidrat yang merupakan sumber energi bagi sel tubuh menyebabkan terjadinya proses ketosis, yakni pemecahan lemak yang tersimpan dalam tubuh menjadi molekul senyawa keton dalam tubuh (ketone bodies) yang akan masuk ke dalam aliran darah untuk digunakan sebagai sumber energi hingga kembali terdapat karbohidrat dalam jumlah yang mencukupi.

Sumber: http://choicehealthwestfield.com/31-detox-tips-tip-6-ketogenic-diet/

Sejauh ini, masih terdapat perdebatan mengenai keamanan dan resiko dari diet ketogenik. Diet dengan sedikit karbohidrat dan banyak lemak diyakini dapat menurunkan timbunan lemak dalam tubuh, menghasilkan tingkat energi yang konsisten sepanjang hari, memberikan efek kenyang yang lebih lama, meningkatkan proporsi kolestrol baik (HDL), menurunkan tingkat trigliserida (molekul lemak dalam darah yang dapat menyebabkan penyakit jantung), menurunkan tekanan darah secara signifikan sehingga resiko penyakit jantung dan stroke lebih rendah, dan menurunkan lebih banyak berat badan dibandingkan diet rendah lemak. Akan tetapi, disamping memberikan manfaat-manfaat tersebut, terutama menyebabkan penurunan berat badan dalam waktu singkat, diet ketogenik juga diketahui memiliki serangkaian resiko apabila diterapkan dalam jangka panjang. Membatasi asupan karbohidrat secara ekstrim dapat memicu efek samping seperti sakit kepala, mual, keram otot, dan kelelahan atau dikenal sebagai “keto flu” yang disebabkan oleh kurangnya elektrolit dalam tubuh, terutama natrium yang tersimpan dalam ginjal akibat terjadinya penurunan tingkat insulin dalam tubuh. Selain itu, terdapat pula masalah-masalah lain yang mungkin muncul seperti nafas berbau, konstipasi (sulit buang air besar), osteoporosis, penurunan massa otot, malnutrisi, hingga terkena batu ginjal.

Maka dari itu, perlu dilakukan pertimbangan secara matang dan konsultasi dengan pakar atau ahli gizi berpengalaman sebelum melakukan perubahan pada pola diet yang dijalankan selama ini. Sifat diet ketogenik yang idealnya hanya dijalankan dalam waktu singkat (2-4 minggu) dengan efek berbeda terhadap masing-masing individu selayaknya dilakukan di bawah pengawasan klinis agar tetap dapat merasakan manfaat yang dimiliki serta menghindari efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa saran yang dapat diterapkan untuk menjalankan diet ketogenik dengan sehat diantaranya pengaturan asupan makronutrien (lemak, protein, karbohidrat) secara tepat, pengkonsumsian lemak sehat yang bersumber dari hewani (ikan) dan nabati (minyak zaitun, kacang-kacangan, biji-bijian, alpukat) secara seimbang, peningkatan konsumsi sayur rendah karbohidrat, pembatasan konsumsi makanan olahan dan minuman manis atau mengandung gula maupun gula alkohol, dan pengkonsumsian air dalam jumlah mencukupi.

Referensi:

https://www.health.harvard.edu/blog/ketogenic-diet-is-the-ultimate-low-carb-diet-good-for-you-2017072712089

https://www.healthline.com/health-news/keto-diet-is-gaining-popularity-but-is-it-safe-121914

https://www.tasteaholics.com/the-complete-keto-diet-guide-for-beginners/

http://lifestyle.kompas.com/read/2017/09/27/070900620/6-hal-yang-terjadi-pada-tubuh-saat-melakukan-diet-ketogenik

http://blog.myfitnesspal.com/ketogenic-diet-safe-weight-loss/