Vitro Meat: Solusi Inovatif untuk Tantangan Daging Masa Depan
1. Key Point
Memproduksi daging tanpa beternak? benar, saat ini ada inovasi pangan produk daging
yang tidak memerlukan kegiatan beternak yaitu vitro meat. Produksi daging ini dilakukan in
vitro di laboratorium menggunakan bagian sel hewan. Inovasi ini muncul karena kebutuhan
manusia terhadap daging yang terus meningkat tetapi industri peternakan tidak dapat dipastikan
dapat memenuhinya. Meskipun inovasi vitro meat menguntungkan bagi manusia dan
lingkungan tetapi penerimaan masyarakat terhadap daging ini tidaklah mudah karena hingga
saat ini masih menjadi pro dan kontra yang menuai perdebatan.
2. Quotes
“The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for
existing.”-Albert Einstein. Melalui article ini, bersama-sama kita memperluas pengetahuan
mengenai salah satu inovasi pangan yang sedang trend, yaitu In-Vitro Meat.
3. Pendahuluan/Latar Belakang Dasar/Umum
Daging merupakan pangan hewani yang disukai banyak orang karena rasanya enak dan
memiliki kandungan nutrisi seperti protein yang dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia.
Kandungan protein berperan sebagai zat pembangun atau pembentuk dalam tubuh. Semakin
bertambahnya populasi manusia, berdasarkan isu yang disampaikan oleh Food and Agriculture
Organization (FAO) mendekati tahun 2050 permintaan akan daging terus meningkat hingga
73%. Hal tersebut tidak sebanding dengan perkembangan industri peternakan dalam
memproduksi daging. Keterbatasan terjadi karena lahan yang tersedia untuk beternak semakin
berkurang selain itu, karena pandangan masyarakat yang negatif terhadap industri peternakan
karena dapat menimbulkan penyakit, pencemaran lingkungan dan bau tidak sedap dari
kandang.
Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan memunculkan inovasi memproduksi
daging dengan teknik rekayasa jaringan atau kultur jaringan. Metode produksi daging tersebut
dilakukan menggunakan sel punca hewan yang diambil dari jaringan otot atau embrio untuk
menghasilkan daging tanpa menyakiti atau membunuh hewan. Produksi daging sintetik ini
dianggap lebih efisien, ramah lingkungan, dan sehat karena efisiensi dalam menggunakan lahan
dan air, emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan lebih sedikit, dan komposisi nutrisi pada daging
dapat dimanipulasi. Inovatif dari vitro meat ini diharapkan dapat mengatasi masalah
keterbatasan produksi daging juga dapat diterima oleh masyarakat karena status kehalalan yang
belum dipastikan dan masyarakat kurang menyukai makanan yang tidak alami.
4. Produksi vitro meat
Apakah kalian tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai vitro meat ini? Mari
simak lebih lanjut mengenai cara proses pembuatan dari vitro meat ini. Metode yang dapat
digunakan untuk membuat vitro meat ini adalah teknik organisme sendiri dan teknologi
berdasarkan kerangka.
1) Teknik Organisasi sendiri
Metode ini menggunakan eksplan otot donatur yang dikulturkan dalam medium
nutrisi. Pada tahun 1912, Alexis Carrel berhasil mempertahankan jaringan otot ayam
hidup selama beberapa hari di dalam cawan Petri. Di abad ke-21, peneliti seperti
Benjaminson et al. merealisasikan penggunaan teknik rekayasa jaringan untuk
pertumbuhan daging. Meskipun hasilnya menjanjikan, tantangan tetap ada, terutama
kurangnya sirkulasi darah dalam kultur jaringan yang membatasi viabilitas jangka
panjang. Tujuan adalah menciptakan daging yang memiliki struktur 3D mirip dengan
daging alami, cocok untuk produk seperti steak. Oleh karena itu, langkah-langkah
pembuatan daging ini, yaitu:
a. Pengambilan Sampel Sel: Mengambil sel-sel otot dan lemak dari hewan hidup
melalui biopsi.
b. Pembiakan Sel: Sel-sel ditempatkan dalam media kultur yang kaya nutrisi untuk
mendukung pertumbuhan dan pembelahan.
c. Pembentukan Jaringan: Sel-sel membentuk jaringan otot, sering kali
menggunakan scaffolding untuk membantu struktur tiga dimensi.
d. Diferensiasi Sel: Sel-sel berkembang menjadi serat otot matang dalam kondisi
tertentu di bioreaktor.
e. Panen dan Persiapan: Jaringan otot dipanen dan dapat diproses menjadi
berbagai produk makanan.
2) Teknologi Berbasis Kerangka
Teknologi berbasis kerangka dalam produksi daging in-vitro menggunakan sel-
sel seperti sel embrionik atau sel satelit otot dewasa yang dikembangkan pada struktur
pendukung yang disebut kerangka (scaffolding). Kerangka ini membantu sel tumbuh
dan berkembang menjadi jaringan daging yang lebih kompleks. Dua proposal penting
dalam teknologi ini adalah dari Vladimir Mironov, yang menggunakan bola kolagen,
dan Willem Van Eelen, yang menggunakan jaringan kolagen yang dapat diganti. Jenis-
jenis sel yang digunakan sebagai komponen utama daging in-vitro adalah fiber otot
rangka yang berasal dari proliferasi dan diferensiasi mioblas atau situs satelit. Beberapa
jenis sel yang bisa digunakan:
a. Sel Embrionik: Memiliki potensi regeneratif yang sangat tinggi, tetapi dapat
mengalami masalah seperti mutasi genetik dan kesulitan dalam kontrol
diferensiasi.
b. Satelit Otot: Dipandang sebagai pilihan terbaik untuk produksi daging karena
efisiensinya dalam regenerasi otot.
c. Stem Dewasa: Dapat berdiferensiasi menjadi jenis sel tertentu, tetapi memiliki
risiko transformasi menjadi sel kanker.
Pada akhirnya, terdapat perbedaan langkah-langkah pembuatan antara teknik
organisasi sendiri dengan menggunakan teknologi berbasis kerangka. Berikut adalah
cara pembuatan vitro meat jika menggunakan teknologi basis kerangka.
a. Pengambilan Sel: Sel-sel otot dan lemak diambil dari hewan hidup melalui
biopsi.
b. Pembiakan Sel: Sel-sel ditempatkan dalam media kultur yang kaya nutrisi dan
dibiakkan dalam bioreaktor untuk mendukung pertumbuhan.
c. Penggunaan Scaffolding: Sel-sel yang telah dibesarkan ditempatkan pada
struktur kerangka (scaffold) yang dirancang khusus untuk membantu
pembentukan jaringan tiga dimensi yang menyerupai daging asli.
d. Diferensiasi Sel: Sel-sel mengalami diferensiasi menjadi serat otot matang di
bawah kondisi kultur tertentu.
e. Panen dan Pemrosesan: Jaringan otot dipanen dan diproses menjadi
5. Keunggulan & Kutipan
Bukankah lebih baik kita beralih ke daging kultur apabila kita dapat menghindari risiko
penyakit menular? Memilih daging kultur atau vitro meat memang dapat mengurangi risiko
terpapar penyakit menular. Daging kultur dianggap memiliki kelebihan dalam persoalan
kebersihan. Ini dikarenakan daging kultur tidak diproduksi dari hewan ternak konvensional
yang membuat daging kultur unggul dari segi kesehatan. Hal-hal seperti penyakit maupun
kontaminasi bakteri yang berbahaya dapat dicegah oleh para ilmuwan sehingga produsen
daging dapat dijaga kualitas dan kesehatannya. Selain itu, beberapa ilmuwan mengatakan
bahwa pembuatan vitro meat dapat di kontrol komposisi nutrisinya, adanya penambahan bahan
yang dapat meningkatkan kesehatan, mengurangi komponen-komponen yang berbahaya, dan
senyawa bioaktif yang disesuaikan sehingga vitro meat dapat berpotensi menjadi makanan
fungsional. Berdasarkan studi artikel Chotelersak et al. (2024), daging kultur dapat
dimanfaatkan untuk para individual yang memiliki restriksi diet atau masalah kesehatan.
Daging kultur yang digunakan sebagai terapi diet dapat diubah komposisi nutrisinya
berdasarkaan kebutuhan individu.
6. Tantangan dan kontroversi
Salah satu tantangan utama dalam pengembangan daging kultur adalah biaya produksi
yang sangat tinggi. Media kultur seperti fetal bovine serum (FBS), yang berasal dari darah anak
sapi, merupakan komponen utama yang tidak hanya mahal tetapi juga bertentangan dengan
prinsip keberlanjutan dan etika vegan. Meskipun ada upaya mengganti FBS dengan media
sintetik atau berbasis tumbuhan, pengembangannya masih terbatas dan memerlukan investasi
besar dalam penelitian. Selain itu, menciptakan tekstur, rasa, dan kandungan nutrisi yang
serupa dengan daging alami juga merupakan tantangan teknologi yang kompleks. Proses
produksi daging kultur memerlukan lingkungan laboratorium terkendali dengan kebutuhan
energi yang tinggi, yang dapat mengurangi klaim bahwa teknologi ini lebih ramah lingkungan
dibandingkan peternakan tradisional, terutama jika sumber energi tidak berasal dari sumber
terbarukan.
Kontroversi juga muncul terkait penerimaan sosial dan aspek regulasi. Secara agama,
kehalalan daging kultur masih menjadi perdebatan, terutama jika bahan awal atau proses
produksinya tidak sesuai dengan hukum agama tertentu, seperti Islam atau Yahudi. Dalam
budaya tertentu, seperti masyarakat yang menghargai tradisi dan keaslian makanan, daging
kultur dianggap kurang otentik dan tidak alami. Stigma ini diperparah oleh kurangnya
pemahaman publik terhadap teknologi yang digunakan, yang sering kali dianggap sebagai
proses “buatan laboratorium” yang asing. Dari sisi regulasi, standar keamanan pangan dan
pelabelan belum seragam secara global. Banyak negara masih berada dalam tahap awal untuk
menyusun kebijakan yang mendukung pemasaran daging kultur, yang pada akhirnya
memperlambat penerimaan pasar secara luas. Semua tantangan ini memerlukan pendekatan
terpadu yang melibatkan penelitian, edukasi publik, dan harmonisasi regulasi untuk
memastikan bahwa produk ini dapat diterima dan memberikan manfaat yang nyata bagi
masyarakat.
7. Kesimpulan
Vitro meat menawarkan potensi besar dalam memenuhi kebutuhan daging global yang
terus meningkat, dengan keuntungan dalam efisiensi sumber daya, keberlanjutan, dan
kesehatan. Meskipun teknologi ini menjanjikan, tantangan besar seperti biaya produksi yang
tinggi, kontroversi sosial, dan ketidakpastian regulasi masih menghalangi penerimaan luasnya.
Namun, dengan terus berkembangnya penelitian dan edukasi masyarakat, vitro meat bisa
menjadi solusi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk industri pangan di masa
depan.
8. Referensi
Bryant, C. J. (2020). Culture, meat, and cultured meat. Journal of Animal Science, 98(8).
https://doi.org/10.1093/jas/skaa172
Chotelersak, K., Teerawongsuwan, S., Suwan, N., Saipin, N., Jaisin, Y., Suriyut, J., Boonprom,
P., Dorn-in, S., & Rungsiwiwut, R. (2024). In vitro cultured meat: Nutritional aspects
for the health and safety of future foods. Trends in Sciences, 22(2), 1–14.
https://doi.org/10.48048/tis.2025.9060
Chriki, S., & Hocquette, J.-F. (2020). The myth of cultured meat: A review. Frontiers in
Nutrition, 7(7). https://doi.org/10.3389/fnut.2020.00007
Langitsari, I. (2023). Kontroversi daging sintetik: antara kemajuan teknologi dan isu kehalalan.
Jurnal Yaqhzan, 9(1), 73-82.
http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/yaqzhan/index
Rahmawati, R. N. (2023). Analisis kesejahteraan hewan dan status halal daging kultur
laboratorium dalam perspektif iptek dan hukum islam. Kaunia : Integration and
Interconnection of Islam and Science Journal, 19(1), 29-34. http://ejournal.uin-
suka.ac.id/saintek/kaunia
Sharma, S., Thind, S. S., & Kaur, A. (2015). In vitro meat production system: why and how?
Journal of Food Science and Technology, 52(12), 7599–7607.
https://doi.org/10.1007/s13197-015-1972-3
Umboh, E. O., Sitoayu, L., Tambunan, M., & Fitri, Y. P. (2023). Persepsi masyarakat mengenai
in-vitro meat atau daging buatan terhadap kesehatan sebagai solusi sumber makanan di
masa depan. Nutrire Diaita, 15(1), 1–9.