Teliti Produk Pangan Halal dan Haram di Indonesia
Teliti Produk Pangan Halal dan Haram di Indonesia
Michelle Angelina – 2501969574 // Sherinia Lie Venna – 2540127036 // Violetta Yunior San – 2501995061
Indonesia merupakan negara yang sangat beragam baik dalam bidang agama, etnis, suku, bahasa, bahkan makanan tradisional. Terdapat enam agama yang diakui di Indonesia berdasarkan kitab suci dan perayaan hari besar atau upacara keagamaan yang dilakukan. Keenam agama tersebut adalah Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Akan tetapi, beberapa kelompok masyarakat masih menganut aliran kepercayaan tertentu. Mayoritas masyarakat di Indonesia menganut agama Islam yang ditunjukan melalui data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dimana jumlah penduduk muslim mencapai 86,9% dari keseluruhan penduduk. Kehalalan suatu produk tentunya penting bagi para umat muslim. Halal tidak hanya berlaku pada produk pangan. makanan atau minuman, tetapi juga pada obat-obatan dan produk kebutuhan sehari-hari. Produk-produk buatan lokal memiliki logo Halal yang bersertifikasi dan diakui oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Akan tetapi, masih terdapat kesalahpahaman tentang kehalalan suatu produk baik dari bahan-bahan yang digunakan hingga proses produksi yang digunakan. Hal ini membuat masyarakat ragu untuk memiliki produk-produk tertentu yang belum memiliki logo Halal MUI (Bayu, 2022).
Dalam ajaran Islam, halal (حلال) berarti sesuai dengan hukum yang diajarkan dalam agama Islam. Kata halal sering dikaitkan dengan produk makanan, lebih tepatnya meliputi seluruh perbuatan yang sesuai dengan hukum Islam. Makanan halal merupakan sebutan untuk segala jenis makanan yang diperbolehkan untuk dimakan sesuai ajaran Islam. Kebalikan dari halal adalah haram, yang artinya tindakan yang melawan ajaran hukum Islam dan dilarang untuk dilakukan. Umat Muslim menjadikan Quran sebagai petunjuk untuk mengetahui makanan dan minuman halal apa saja yang dapat dikonsumsi.
Sejumlah persyaratan untuk makanan dan minuman yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran hukum Islam di dalam Quran, antara lain:
- Mengandung hewan mati yang tidak disembelih.
- Daging babi
- Darah
- Alkohol/mabuk
- Daging yang disembelih untuk berhala
- Semua karnivora bergigi seperti singa dan harimau
- Semua makhluk bersayap yang memiliki cakar, misalnya burung pemangsa, elang, nasar, elang, dan sebagainya
- Keledai peliharaan, tikus, kalajengking, ular, katak
- Hewan apa saja yang telah mati (kecuali ikan dan makhluk laut) sebelum disembelih secara Islami
- Racun, bahan-bahan berbahaya, atau unsur-unsur yang tidak higienis.
Selain itu, terdapat metode penyembelihan daging untuk dikonsumsi yang sesuai dengan hukum Islam dan dianggap paling manusiawi dikenal dengan istilah Zabibah.
Mayoritas populasi penduduk Indonesia saat ini adalah kaum muslim (87,18%). Sehingga, penting bagi pemerintah untuk meregulasi produsen industri pangan terkait jaminan prosedur halal produksi pangan untuk kebutuhan penduduk Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengatur regulasi makanan halal di Indonesia. Undang-undang tersebut mengatur semua aspek produk halal, termasuk penyedia jaminan produk halal, lembaga inspeksi halal, bahan dan proses produk halal, sanksi atas pelanggaran produk halal, dan banyak lagi. Proses pembuatan produk halal yang meliputi penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk harus menjamin kehalalan produk. Lokasi, tempat, proses pembuatan dan penjualan produk halal harus dipisahkan dari produk non-halal. (Wajdi, Hum, & Susanti, 2021)
Sertifikasi terhadap produk pangan halal di Indonesia bermula sejak akhir tahun 1976 oleh Kementrian Kesehatan lewat Surat Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 280/Men.Kes/Per/XI/76. Aturan ini menghimbau para produsen makanan untuk memberikan tanda peringatan pada makanan yang menggunakan babi dan turunannya pada wadah atau kemasan produk. Tanda peringatan ini berupa kotak persegi merah yang mencantumkan tulisan “MENGANDUNG BABI” dengan gambar babi yang diberi warna merah. Pada tahun 1985, terjadi pergantian pada tanda peringatan menjadi label bertuliskan “HALAL” berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No.42/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68 Tahun 1985. Di masa ini, Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes mengawasi para produsen makanan terkait komposisi bahan dan cara pengolahan produk sebelum diizinkan untuk menggunakan label halal.
Gambar 1. Label / Logo Halal dari Beberapa Negara (Roswiem, 2015)
Di tahun 1988, seorang peneliti dari Universitas Brawijaya menyatakan bahwa terdapat indikasi kandungan haram pada sejumlah produk makanan dan minuman yang beredar di pasaran. Bahan pangan seperti shortening, lard, dan gelatin yang merupakan produk turunan babi ditemukan pada sejumlah produk pangan di pasaran. Hal ini memicu terjadinya penurunan daya beli di masyarakat dan berpengaruh terhadap omset penjualan produk. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat akan jaminan produk halal, dibentuk suatu lembaga yang bertugas mengawasi peredaran dan sertifikasi produk halal di pasaran, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) di tahun 1989. Mulanya, prosedur sertifikasi halal hanya dilakukan secara sepihak dari laporan perusahaan terkait komposisi bahan yang digunakan apakah halal atau non-halal. Sayangnya, kebijakan ini dinilai tidak menjamin konsumen terhadap kehalalan produk, sehingga di tahun 1996 terjadi perubahan prosedur dimana perusahaan akan mendapatkan izin label halal melewati pengawasan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM), kemudian penerbitan sertifikasi halal dilakukan oleh MUI. Dirjen POM beralih nama menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di tahun 2000, dimana lembaga ini bertugas untuk melakukan pengawasan dan memberikan sertifikasi halal kepada produsen terkait. Pemerintah terus berupaya dalam meningkatkan jaminan produk halal dengan mengupayakan label pangan lewat Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001. Majelis Ulama Indonesia (MUI) ditunjuk sebagai lembaga yang bertugas dalam pemeriksaan, pemrosesan, dan penetapan Sertifikasi Halal, serta bekerja sama dengan BPOM terkait pemasangan logo halal pada kemasan. (Faridah, 2019)
Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa pada umumnya segala jenis makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan adalah halal, kecuali makanan yang memang telah Allah sebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 3, yang berbunyi
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3)
Sehingga kita dapati bahwa kriteria makanan halal dalam pandangan islam adalah makanan yang tidak mengandung babi dan segala sesuatu yang berasal dari babi, makanan yang berasal dari hewan yang halal dan sudah disembelih sesuai dengan syariat islam, makanan tidak mengandung bahan-bahan lain yang diharamkan, dan juga tempat penyimpanan, pengolahan makanan tidak boleh dicampur dengan barang yang haram, dan kriteria lainnya (Supriyadi & Asih, 2020).
Pada zaman kini, banyak sekali makanan-makanan yang diproduksi dengan bantuan teknologi dan industry. Dan hal ini tentunya menyebutkan kekhawatiran bagi umat muslim karena tidak yakin akan kriteria kehalalannya dari produk yang akan diperoleh dan dikonsumsi. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah produk yang beredar sudah terjamin kehalalannya terutama jika produk di produksi pada pabrik besar secara masal, kemudian kurangnya informasi akan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk, brand makanan yang berasal dari luar negeri yang masih belum diverifikasi kehalalannya dan berbagai jenis produk yang ditemukan bahan-bahan makanan yang memang harusnya tidak boleh digunakan dalam industry ini (Supriyadi & Asih, 2020).
Berkembangnya teknologi saat ini memudahkan kita untuk melakukan berbagai hal hanya melalui smartphone dan internet. Perkembangkan ini juga membantu para umat muslim untuk mencari produk halal atau memeriksa kehalalan suatu produk. Terdapat beberapa aplikasi yang dapat digunakan untuk membantu masyarakat dalam mencari makanan atau minuman halal yang menjamin kehalalannya, seperti aplikasi Halal Advisor, Zabihah, Scan Halal, dan lain-lain. Aplikasi-aplikasi ini sangat membantu dalam mencari tempat makan atau restoran-restoran yang halal. Akan tetapi, kebanyakan dari aplikasi ini terbatas pada negara-negara tertentu karena dikhususkan bagi masyarakat dan turis. Masyarakat muslim di Indonesia dapat menggunakan aplikasi yang telah disediakan oleh MUI, yakni aplikasi Halal MUI atau menggunakan website halalmui.org untuk mencari restoran halal dan memeriksa sertifikat halal yang memiliki logo halal MUI (Hardian, 2020).
Daftar Pusaka :
Bayu, Dimas. 2022. Sebanyak 86,9% Penduduk Indonesia Beragama Islam. Diakses pada 18 Mei 2022, dari https://dataindonesia.id/ragam/detail/sebanyak-869-penduduk-indonesia-beragama-islam
Faridah, H. D. (2019). Halal certification in Indonesia; history, development, and implementation. Journal of Halal Product and Research (JPHR), 2(2), 68-78. doi: https://doi.org/10.20473/jhpr.vol.2-issue.2.68-78
Hardian, Nur Lutfiana. 2020. 9 Aplikasi Pencarian Makanan Halal Cocok untuk Traveler. Diakses pada 18 Mei 2022, dari https://www.brilio.net/gadget/9-aplikasi-pencarian-makanan-halal-cocok-untuk-traveler-2001095.html
Roswiem, A. P. (2015). Buku Saku Produk Halal Makanan dan Minuman. Jakarta: Republika Penerbit.
Supriyadi, E. I., & Asih, D. B. (2020). Regulasi Kebijakan Produk Makanan Halal di Indonesia. Jurnal Sosial dan Humaniora Universitas Muhammadiyah Bandung 2(1), 18-28.
Wajdi, F., Hum, M., & Susanti, D. (2021). Kebijakan Hukum Produk Halal di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.