Serangga Sebagai Sumber Alternatif yang Baru
Oleh: Insyira Zeafitri (2440094125), Evie Wilona Onasie (2440034731), Jessica Hendy Putri (2440063523), Jane Puteri (2440014055), Jessica Anggraini (2440027770), & Bryan Laywith (2440010580)
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya, kebutuhan protein, baik protein hewani maupun nabati juga semakin meningkat. Pada umumnya, daging yang berasal dari hewan ternak dan produk dairy merupakan sumber protein yang sering dikonsumsi oleh masyarakat. Akan tetapi, pertumbuhan penduduk yang pesat yang disertai dengan rendahnya ketersediaan sumber protein berupa hewan ternak ataupun produk dairy menyebabkan diperlukannya sumber protein alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein. Selain itu, budidaya hewan ternak dapat memberikan dampak yang buruk terhadap keberlangsungan lingkungan. Hal ini disebabkan karena limbah yang dihasilkan dari budidaya hewan ternak, khususnya ruminansia mengandung gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O) (Handriyono et al., 2019). Gas tersebut memiliki kontribusi yang besar terhadap peningkatan akumulasi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global. Dalam hal ini, aktivitas peternakan menyumbang sekitar 18% gas rumah kaca dimana jumlah ini jauh lebih besar dari gas rumah kaca yang dihasilkan dari transportasi di dunia, yakni sebesar 13,5% (Chandramanik et al., 2016). Oleh karena itu, mencari sumber protein alternatif selain hewan ternak dan produk dairy merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Salah satu bahan yang berpotensial untuk dijadikan sebagai sumber protein alternatif adalah serangga.
Serangga merupakan kategori hewan terbesar di planet ini, terhitung lebih dari 70% dari semua spesies hewan. Serangga memiliki peran yang menguntungkan dan merugikan dalam kehidupan manusia. Seperti yang diketahui, serangga dapat berubah menjadi hama yang dapat merusak berbagai tanaman. Serangga, di sisi lain, telah divalidasi sebagai sumber protein alternatif pada manusia dalam beberapa penelitian. Serangga memiliki nilai gizi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi manusia. Jangkrik, kecoa, ulet, belalang, dan berbagai serangga lainnya adalah beberapa serangga yang paling sering dimakan (Nuraeni & Anggraeni, 2020).
Jangkrik dapat diolah menjadi tepung jangkrik. Tepung jangkrik mengandung protein sebesar 55,96%, dimana kandungan proteinnya tiga kali lebih tinggi dibanding dengan daging ayam, sapi, dan udang. Selain itu, jangkrik mengandung protein omega 3, omega 6, dan omega 9. Tidak hanya itu, jangkrik juga dapat berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. Kandungan asam amino pada jangkrik dapat menghasilkan kolagen yang berfungsi sebagai elastisitas untuk sel kulit dan kornea mata (Bayu Giescha et al., 2014).
Menurut laporan Healthline, susu kecoa merupakan zat kaya protein yang diproduksi oleh jenis kecoa tertentu, yaitu Diploptera punctata. Susu kecoa dianggap sebagai sumber protein yang lengkap dikarenakan mengandung sembilan asam amino esensial. Suatu ilmuwan melakukan analisis pada susu kecoa dan menemukan fakta bahwa susu kecoa mengandung gizi yang cukup banyak, yaitu 45% protein, 25% karbohidrat, 16-22% lemak, dan 5% asam amino. Susu kecoa juga merupakan produk non dairy atau bebas dari laktosa sehingga cocok untuk orang dengan intoleransi laktosa atau alergi terhadap susu sapi.
Entomilk merupakan produk yang dihasilkan dari lalat hitam, atau dengan kata lain susu lalat. Susu lalat ini tidak memiliki kandungan laktosa layaknya pada susu mamalia, tetapi memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan susu sapi (Shelomi, 2020). Entomilk ini diperoleh dari peleburan larva-larva lalat tropis, biasa disebut dengan lalat prajurit hitam atau Black Soldier Fly. Susu ini memiliki kandungan protein dan lemak yang sama dengan daging sapi, bahkan kandungan zinc, kalsium, dan zat besi yang melebihi daging sapi. Entomilk ini juga tidak mengandung sama sekali karbohidrat. Pada Afrika Selatan, entomilk diinovasikan sebagai bahan dasar pembuatan es krim (Pangaribuan, 2020).
Ulat sagu merupakan salah satu makanan khas dari pulau Papua. Kandungan nutrisi yang terdapat pada ulat sagu adalah 10.39 g protein dan 17.17 g minyak/ 100 g. Ulat sagu memenuhi 40% dari asam amino esensial yang dianjurkan oleh FAO/WHO. Asam lemak utama yang terdapat pada ulat sagu adalah asam palmitat (42%), asam oleat (45%), dan asam linoleat (3%). Meskipun vitamin E harusnya hanya terdapat pada organisme yang melakukan fotosintesis, 1 gram minyak ulat sagu mengandung 51 µg, yang utamanya terdiri tocoferol (92%) (Köhler et al., 2020).
Referensi:
- Bayu Giescha, Sjofjan, O., & Djunaidi, I. H. (2014). Efek Penggunaan Tepung Jangkrik (Gryllus mitratus burm) dalam Pakan Terhadap Penampilan Produksi Ayam Pedagin.
- Chandramanik, G. F., Huboyo, H. S., & Oktiawan, W. (2016). Analisis Pengaruh Penambahan Molase Dan Urin Sapi Dalam Pembuatan Pupuk Cair Isi Rumen Limbah Rumah Pemotongan Hewan Terhadap Timbulan Gas Rumah Kaca (CO2, CH4, Dan N2O). Jurnal Teknik Lingkungan, 5(4), 1-9
- Handriyono, R. E., Sutanto, J. E., & Putra, G. R. G. (2019). Studi Beban Emisi Gas Metan (Ch4) Dari Kegiatan Peternakan Di Desa Galengdowo Jombang. Jurnal Pengabdian Masyarakat IPTEKS, 5(2), 119-123.
- Nuraeni, Y., & Anggraeni, I. (2020). Potensi Serangga Hutan Sebagai Bahan Pangan Alternatif. Jurnal Galam, 1(1), 49-60.
- Pangaribuan, D. (2020, Januari 22). Start-up Afrika Selatan Produksi Es Krim dari Lalat? mainmain.id. https://www.mainmain.id/r/4955/start-up-afrika-selatan-produksi-es-krim-dari-lalat